Pemerasan warga China di Bandara Soetta diharapkan ‘membuka bobroknya birokrasi imigrasi’ — ‘Birokrasi kita ini korup’

Sumber gambar, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
- Penulis, Viriya Singgih
- Peranan, BBC News Indonesia
Pemerasan terhadap lebih dari 60 warga China oleh petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta selama setahun terakhir disebut pengamat hanya “puncak gunung es”. Kultur birokrasi Indonesia yang “korup” dinilai sebagai akar masalahnya.
Pada Sabtu dini hari (1/2), di akun X-nya, pegiat antikorupsi Emerson Yuntho mengunggah surat yang diduga dari Kedutaan Besar China di Indonesia untuk pemerintah Indonesia bertanggal 21 Januari 2025.
Surat itu membahas 44 kasus pemerasan yang dilakukan petugas kantor imigrasi Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, terhadap lebih dari 60 warga China dalam periode Februari 2024 hingga Januari 2025.
Dengan bantuan direktorat konsuler Kementerian Luar Negeri RI, Kedutaan Besar China disebut berhasil menyelesaikan 44 kasus tersebut dan mengembalikan uang sejumlah total Rp32,75 juta kepada orang-orang China yang jadi korban.
“Dalam rangka memberantas masalah pemerasan di bandara, Kedutaan Besar [China] berharap agar tulisan ‘Dilarang memberi tip’, ‘Silakan lapor jika terjadi pemerasan’ dalam bahasa Mandarin, Indonesia, dan Inggris dapat dipasang di tempat pemeriksaan imigrasi,” seperti tertulis di surat tersebut.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Larangan memberi tip dapat dikeluarkan kepada agen-agen perjalanan China sehingga mereka tidak akan menyarankan wisatawan China untuk menyuap petugas imigrasi.”
Kasus pemerasan warga China ini segera jadi bahan perbincangan publik.
BBC News Indonesia mencoba mengecek keabsahan surat itu pada He Fan, media officer Kedutaan Besar China di Indonesia. Namun, ia menolak berkomentar.
Meski begitu, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto membenarkan isi surat tersebut.
Agus berterima kasih atas informasi yang disampaikan Kedutaan Besar China, termasuk nama-nama petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta di surat yang disebut terlibat dalam pemerasan warga China.

Sumber gambar, Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Berdasarkan salinan surat (diduga dari) Kedutaan Besar China yang diperoleh BBC News Indonesia, ada lebih dari 30 nama petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta yang tercatat menerima kiriman uang pungutan liar dari warga China via transfer bank.
Angka yang dikirim beragam, dari yang paling kecil Rp50.000 sekali transfer hingga paling besar Rp3 juta.
Beberapa orang menerima kiriman uang lebih dari satu kali. Salah satu di antaranya bahkan menjadi tujuan transfer pungli hingga lima kali, dan menerima uang dengan nilai total sekitar Rp6,5 juta.
“Untuk menjaga integritas dan pelayanan, kami langsung menarik dan memeriksa petugas yang diduga terlibat. Tindakan tegas juga akan kami lakukan jika mereka terbukti melakukan kesalahan,” kata Menteri Agus. “Kami ganti.”
“Saat ini mereka sedang dalam proses pemeriksaan internal.”
Terkait kasus ini, Rolliansyah Soemirat, juru bicara Kementerian Luar Negeri, tidak berkomentar banyak.
Ia bilang pihaknya terus memfasilitasi komunikasi antara seluruh lembaga atau instansi terkait di Indonesia dan Kedutaan Besar China.

Sumber gambar, Bagus Ahmad Rizaldi/Antara Foto

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Bukan kasus baru
Pegiat antikorupsi Emerson Yuntho mengatakan ia tidak bermaksud mendiskreditkan institusi tertentu dengan mengunggah surat yang diduga dari Kedutaan Besar China itu di akun X-nya.
Ia hanya ingin mendorong pemerintah mengambil langkah tegas untuk menangani kasus pungutan liar di kantor-kantor imigrasi, yang menurutnya telah begitu sering terjadi dan seakan dinormalkan.
“Ada yang bilang, ‘No viral, no justice,’ atau, ‘No viral, no progress,'” kata Emerson, mantan peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kasus pungutan liar yang kini ramai dibicarakan publik, imbuhnya, baru melibatkan warga negara China di satu bandara.
“Belum lagi di bandara lain yang besar-besar, misalnya di Medan, Surabaya, Bali,” kata Emerson.

Sumber gambar, Agung Pambudhy/Detik
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, sepakat bahwa kasus pungutan liar yang dilakukan petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta hanyalah “puncak gunung es”.
Karena itu, Trubus mendorong pemerintah melakukan investigasi menyeluruh bila ingin memberantas praktik pungli di kantor imigrasi berbagai bandara di seluruh Indonesia.
“Kasus ini seharusnya jadi pintu masuk untuk membuka bobroknya birokrasi kantor imigrasi yang melibatkan warga negara asing,” kata Trubus.
Sebelumnya, pada pertengahan Januari 2025, beredar video warga negara China menyelipkan uang Rp500.000 di paspornya yang diduga sebagai pelicin agar ia bisa melalui jalur hijau imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta.
Dengan melalui jalur itu, barang bawaannya tak perlu melalui pemeriksaan fisik.
Setelah video ini viral, warga China tersebut membuat video permintaan maaf dan mengatakan uang Rp500.000 itu sebenarnya untuk membayar visanya di Indonesia.
Pihak imigrasi lalu menangkap dan mendeportasi warga China tersebut bersama seorang rekannya yang juga muncul dalam video.

Sumber gambar, Akun TikTok @stellaroptics888
Setelah surat Kedutaan Besar China beredar di media sosial, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto tetap bersikeras bahwa konten suap Rp500.000 ini hanyalah “hoaks”.
Namun, Agus membenarkan isi surat itu bahwa ada setidaknya 44 kasus pungli yang dilakukan petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta pada periode Februari 2024 hingga Januari 2025.
Selain itu, pada November 2023, Kejaksaan Tinggi Bali menahan lima petugas imigrasi Bandara I Gusti Ngurah Rai, yang diduga menjual layanan prioritas keimigrasian atau fast track kepada warga negara asing atau WNA.
Padahal, layanan fast track seharusnya gratis dan hanya diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu, termasuk orang lanjut usia, anak-anak, ibu hamil, dan pekerja migran.
Pungli yang ditarik petugas imigrasi terhadap para WNA itu berkisar dari Rp100.000 hingga Rp250.000. Dari sana, petugas imigrasi disebut bisa meraup Rp100 juta hingga Rp200 juta per bulan.

Sumber gambar, SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 12,7 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia pada Januari-November 2024, dan nyaris sembilan juta di antaranya atau 71,1% masuk lewat bandara.
Pada periode tersebut, bandara yang jadi pintu masuk utama para wisatawan asing adalah I Gusti Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta, masing-masing dengan angka total 5,8 juta dan 2,3 juta orang.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengatakan pihaknya akan memperkuat sistem imigrasi berbasis digital agar segala proses yang ada jadi lebih transparan dan efisien.
“[Pemerintah berusaha] memperkecil peluang pertemuan antara petugas dan pengguna jasa imigrasi dengan memperkuat dan melengkapi teknologi digital pada tempat-tempat pelayanan keimigrasian,” kata Agus pada BBC News Indonesia.
“Kita juga sudah pasang imbauan untuk tidak memberi tip kepada petugas dengan bahasa Inggris, China, dan Arab.”
Namun, pengamat merasa itu saja tidak cukup.
Pegiat antikorupsi Emerson Yuntho menegaskan harus ada hukuman keras yang dapat memberi efek jera pada para petugas imigrasi yang kedapatan menarik pungutan liar dari warga negara asing di bandara.
Para pelaku, imbuhnya, harus dicopot dari jabatannya dan dipenjara, tak hanya sekadar dimutasi.
“Aku sih menduga para petugas ini cuma akan digeser sementara. Kemudian kalau kondisinya sudah reda, dia akan balik lagi,” kata Emerson.
“Harusnya didorong ke proses hukum agar memberikan efek jera.”
Selain itu, Emerson bilang pemerintah harus memperkuat pengawasan kantor-kantor imigrasi, utamanya yang telah berstatus “Zona Integritas” atau “Wilayah Bebas dari Korupsi”.
Ia memberi contoh kantor imigrasi Mataram di Nusa Tenggara Barat, yang pada Maret 2019 mendeklarasikan diri sebagai “Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi”.
Hanya dua bulan setelah deklarasi itu, kepala kantor imigrasi Mataram, Kurniadie, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap.
“Di banyak tempat dibikin namanya ‘Zona Integritas’, ‘Wilayah Bebas dari Korupsi’, cuma praktiknya enggak mencerminkan itu. Banyak pembiaran-pembiaran,” ujar Emerson.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengatakan perlu ada sistem pengawasan yang melibatkan publik.
Dengan begitu, katanya, publik bisa ikut mengamati dan membantu mencegah terjadinya pungli oleh petugas imigrasi.

Sumber gambar, Getty Images
Trubus juga mendorong pemerintah untuk melakukan penyederhanaan birokrasi, sehingga seseorang tidak perlu melalui banyak pintu saat mengurus sesuatu dan menghadapi terpaan pungli.
Dan, karena suap telah begitu “membudaya” di birokrasi Indonesia, Trubus menyarankan agar petugas imigrasi rutin dimutasi setiap beberapa waktu sekali.
“Orang-orang yang ada itu harus setiap saat diganti, agar enggak mengakar di situ,” ujar Trubus.
Dengan begitu, pemerintah diharapkan dapat meminimalkan peluang terjadinya suap, dan tidak hanya bergerak panik setiap kali ada kasus yang viral dan mendapat sorotan publik.
“Sekarang pemerintah jadinya seperti pemadam kebakaran saja,” kata Trubus.
Benarkah suap telah begitu membudaya?
Dalam artikelnya berjudul “Feudal Heritage: Source of Corruption, Collusion, and Nepotism” (1999), Suhartono berargumen bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah bagian dari warisan feodal zaman kerajaan Nusantara.
Di masa Kerajaan Mataram Islam (1575-1755), kata Suhartono, pemberian hadiah atau persembahan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan harus terjadi agar seseorang bisa mencapai tujuan di segala aspek kehidupan.
Kehadiran Belanda di Nusantara, imbuhnya, tidak mengubah itu semua. Mereka justru memanfaatkan dan memperkuat sistem feodal yang ada untuk kepentingannya sendiri.
Budaya feodal dan korup merajalela di Nusantara setelah Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa pada 1830.
Imbasnya, banyak rakyat kelaparan dan mati di saat para bupati yang rajin menarik upeti dan mendapat setumpuk “hak adat” hidup bergelimang harta.
Baca juga:
Agus Dwiyanto dari Universitas Gadjah Mada mengatakan birokrasi di Indonesia era Orde Baru lantas mewarisi sistem nilai yang tumbuh di kerajaan dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial.
“Yang jelas, mentalitas bangsa ini masih bercorak inlander, membungkuk-bungkuk pada atasan, bahkan sampai pada hubungan di luar instansi,” kata Agus dalam artikelnya berjudul “Birokrasi Kita Masih Feodal”, yang terbit di jurnal Prisma Nomor 8 pada Agustus 1991.
Karena itu, ia bilang pegawai instansi pemerintahan banyak mengusung prinsip “asal bapak senang”.
Mereka senantiasa berusaha menjilat dan memuaskan atasannya, termasuk dengan mengirimkan hadiah sebagai “upeti” dan menyetor laporan yang selalu menyenangkan pimpinan.
“Sebab bawahan yang tidak menyenangkan atasan akan segera dibayang-bayangi ancaman mutasi, PHK, dan tidak naik pangkat,” ujar Agus.

Sumber gambar, Francois LOCHON/Gamma-Rapho via Getty Images
Hingga kini, tak pernah ada upaya serius untuk membongkar budaya feodal yang ada, kata ahli hukum tata negara Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
“Itu nyaman sekali buat pejabat, sehingga dilestarikan terus. Itulah makanya dia terpelihara terus sebagai budaya,” ujar Bivitri.
Maka, jangan heran saat melihat petugas imigrasi berbondong-bondong menarik pungli dari warga negara asing di bandara, kata Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah.
“Ini kaitannya dengan kultur birokrasi,” kata Trubus.
“Karena birokrasi kita ini korup.”