‘Saya suka Pram karena lambangkan perlawanan’ – Pramoedya Ananta Toer di mata Gen Z, Gen Milenial dan Gen X

Sumber gambar, H.C. Beynon/Creative Commons
Sosok Pramoedya Ananta Toer melalui karya-karyanya bagi sebagian orang lebih dari sebuah bacaan. BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah pembaca lintas generasi soal relevansi dan pengaruh karya Pramoedya terhadap hidup mereka.
Tanggal 6 Februari 2025, Indonesia dan bahkan dunia merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer.
Sastrawan yang selama hidupnya menulis lebih dari 50 karya yang sudah dialihbahasakan ke puluhan bahasa dunia.
Sempat jadi tahanan politik di Pulau Buru oleh Orde Baru pada dekade 60-an lantaran kedekatannya dengan Lekra—sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI), namanya masyhur di kemudian hari.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Karya-karyanya yang sebagian besar berisi ide perlawanan terhadap kolonialisme didiskusikan komunitas sastra dunia—sampai sekarang.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Sempat pula namanya disebut-sebut sebagai calon penerima Nobel Sastra, meski belakangan harapan itu pupus.
Karya-karyanya seperti Tetralogi Pulau Buru terus dibicarakan, dan salah satu judulnya, yakni Bumi Manusi diadaptasi ke film pada 2019.
Baca juga:

Sumber gambar, JOHN MACDOUGALL/AFP
Bagi sebagian orang karya-karya Pram tak hanya sekadar bacaan di waktu lowong, tapi memberikan pesan penting buat kehidupan mereka.
Berikut kisah-kisah penikmat Pram dari lintas generasi, mulai Gen X, Gen Milenial serta Gen X, yang merasakan relevansi karya-karyanya dalam hidup mereka.
Chris Wibisana, pembaca dan penulis dari Generasi Z ingat betul perselisihan dengan gurunya SMA-nya bertahun-tahun lalu.
Saat itu gurunya marah lantaran Chris menolak mencium tangannya—melawan sebuah kebiasaan yang dilakukan kawan-kawan sebaya.
Chris yang kini dikenal sebagai penulis dengan peminatan sejarah dan sastra ini, hanya sudi menjabat dengan kepala tegak tanpa perlu mencium tangan.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Dwiki Marta
Momen itu membuatnya teringat kisah Minke dalam kisah Tetralogi Pulau Buru, yang harus merangkak setiap kali menemui sang ayahnya yang merupakan seorang bupati di sebuah masyarakat feodal awal abad ke-20.
Baca juga:
“Minke itu begitu sengsaranya dia merangkak-rangkak untuk bertemu bapaknya sendiri,” kata Chris yang kini berusia 21 tahun, dan sudah membaca karya Pram sejak duduk di kursi SMP.
“Mencium tangan orang yang belum tentu kita agungkan, yang belum tentu kita setujui pribadinya, dan belum tentu kita menghormati pada dia, saya rasa itu enggak cocok dengan kepribadian saya,” katanya kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sumber gambar, Agus Lolong/AFP
Ia pun berdebat dengan sang guru, dan mengeklaim tak pernah mau minta maaf dengan sang guru mengenai sikapnya itu.
“Ketika berurusan dengan bagaimana saya mempertahankan harga diri, mempertahankan jati diri saya, berani mempertanggungjawabkan pendapat saya pribadi, berani untuk bisa tidak ikutan-ikutan orang lain, mempunyai kekuatan untuk menghadapi orang-orang yang tidak layak untuk saya hormati, Pramoedya ada di sana,” kata Chris.
Sosok Saaman dalam ‘Keluarga Gerilya’ mengilhami
“Aman tetap Aman, sampai bedjat bumi dia tetap Saaman jang memilih djalannja sendiri.”
Kutipan ini merupakan salah satu kalimat yang selalu Chris ingat dari Keluarga Gerilya, novel Pram yang ia klaim sudah baca ulang sampai enam kali.
“Bagi saya itu makna yang sangat dahsyat karena Saaman dalam detik-detik terakhirnya dia tidak meminta pengampunan.”
“Dia tidak mau bertekuk lutut pada penjajahnya.”
Baca juga:
- Seni tradisional Sandur yang distigma PKI, tapi dirindukan dan diperjuangkan – ‘Melihat Sandur, ya melihat diri kita’
- Tarian Genjer-Genjer kembali ditampilkan – ‘Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya’
- G30S: Tragedi 65 dalam lagu, film dan ‘berbagi ingatan’ lewat media sosial – Cara baru ‘perlawanan untuk pengungkapan kebenaran’
“Tapi dia mendatangi kayu sula, tiang tempat dia ditembak dengan gagah berani,” kata Chris ketika di kampusnya tempat dia menempuh studi, Universitas Indonesia, Depok.
Chris adalah penulis dari generasi Z, yang baru lulus dari kampus Februari 2025 ini.
Sampai saat ini setidaknya beberapa tulisannya mengenai hidup Pramoedya diterbitkan di media.

Sumber gambar, Weda/AFP
Nama Saaman yang disebut Chris merujuk pada tokoh utama novel tersebut.
Anak sulung sebuah keluarga, yang terlibat dalam pembunuhan tentara Belanda. Ia ditangkap dan dipenjara.
Saaman sempat hendak dibebaskan oleh pimpinan penjara yang kagum dengan pendiriannya, namun ia menolak. Hidup Saaman diakhiri tembakan senjata.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Bagi Chris tokoh seperti Samaan, dan tokoh karangan Pram di novel lain, seperti Minke di novel Tetralogi Pulau Buru ini yang memengaruhi dirinya untuk bersikap kritis dalam melihat sebuah isu.
April 2024, Chris jadi bulan-bulanan warganet.
Ia menyuarakan isu pribadinya di akun media sosial X mengenai sebuah hal yang terjadi di 2021.
Kisah pada cuitan itu adalah kegagalannya mendapatkan keringanan membayar biaya operasional pendidikan tinggi.

Sumber gambar, Weda/AFP
Pada cuitan itu, ia mencantumkan tangkapan layar pesan singkat dirinya dengan anggota badan advokasi kesejahteraan mahasiswa—divisi di bawah struktur badan eksekutif mahasiswa.
Percakapannya tersebut mengungkap keinginan Chris agar dibantu untuk dapat keringanan membayar biaya operasional.
Ia juga mencuitkan keinginan dirinya mengajukan keringanan biaya lantaran ayahnya hanya mendapatkan gaji Rp8 juta, sementara biaya kampus yang dikenakan kepadanya mencapai Rp10 juta.
Baca juga:
- G30S, Thaib Adamy, dan pembunuhan massal 1965 di Aceh: ‘Tembak dan kuburkan saya, supaya anak-anak bisa berziarah’
- Kesaksian ‘Algojo 1965’ di Aceh, lubang pembantaian, dan korban yang dilupakan — ‘Saya masih simpan parang untuk potong leher’
- Jejak kekerasan 1965 di Aceh Tengah dan ikhtiar penyembuhan – ‘Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon’
Cuitan itu mengundang reaksi warganet.
Ada yang menilai percakapan antara dirinya dengan anggota badan advokasi mahasiswa tidak pantas, karena terkesan seperti memerintah, bukannya minta tolong.
Cuitan lain mengomentari Chris yang dinilai tak tepat mengkritik badan advokasi mahasiswa yang sudah mencoba membantunya memperoleh keringanan.

Sumber gambar, Weda/AFP
“600 orang mengatakan saya salah. 600 orang mengatakan saya itu tidak tahu berterima kasih,” kata Chris mengacu pada jumlah balasan cuitannya.
Chris menilai cuitannya tersebut tidak salah, dan ia tak merasa harus mengubah pendiriannya meski sudah menimbulkan keributan di media sosial.
Baca juga:
“Saya punya keyakinan bahwa saya benar. Seperti Pram dia meyakini bahwa dia benar,” kata Chris.
Di masa lalu, saat masih SMA, Chris juga bercerita perihal dirinya yang menolak mencium tangan guru saat bersalaman.
‘Pram mengajarkan kita tak mudah goyah’
Ia mengatakan momen itu mengingatkannya pada karakter Minke pada Tetralogi Pulau Buru yang kerap harus merangkak saat menemui sang ayah, yang merupakan seorang bupati.
“Saya enggak mau. Sampai berantem, adu mulut, dilerai oleh guru sosiologi,” kata Chris.
Ia menilai hanya pada sosok tertentu yang benar-benar ia hormati, gestur khusus, seperti cium tangan bisa ia berikan.
Maka untuk orang lain, seperti gurunya tersebut sikap hormat cukup dengan salam tanpa perlu mencium tangan.
“Kalau orang lain menuntut lebih, dia berhadapan dengan harga diri saya,” tambahnya.

Sumber gambar, KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO
Chris terkesan dengan tokoh-tokoh yang muncul dalam novel Pram, seperti Saaman dalam Keluarga Gerilya dan juga Minke di Tetralogi Pulau Buru, yang ia nilai memiliki kesamaan, yakni soal mempertahankan argumen.
Nilai ini yang menurut Chris membuat karya-karya Pram tetap relevan bagi para pembaca di generasi Z.
“Di satu sisi gen Z punya keberanian untuk menyampaikan maksud mereka,” kata Chris.
“Di sisi lain mereka tidak tahan untuk mempertanggungjawabkan akibat dari omongan mereka. Seringkali mereka itu breakdown,” tambahnya.
Menurut Chris, Pram mengajarkan untuk tak mudah goyah dalam berargumen “dan itulah arti individualitas. Seorang yang mempunyai kemampuan untuk mempertahankan pendapatnya sendiri”.
Kukuh Adi, seorang manajer band merasakan bagaimana karya-karya Pramoedya terus melatari hidupnya hingga kini.
Baik dari masa kuliah ketika buku-buku Pram sering didiskusikan Kukuh dan teman-temanya di organisasi ekstra kampus, hingga kini ia berusia 38 tahun mengasuh sebuah band dengan personel yang juga merupakan pembaca karya Pram.
Bagi Kukuh, Bumi Manusia masih menjadi favoritnya sampai sekarang. Buku yang ia rela baca ulang.
“Saya sukanya karena kayak melambangkan perlawanan,” kata Kukuh.
Namun, satu momen dalam hidup Kukuh yang terus membekas adalah ketika ia mengunjungi rumah Pram di Blora pada 2007.

Sumber gambar, Dokumen pribadi Kukuh Adi
Seperti Pram, Kukuh sama-sama berasal dari Blora.
Rumah Kukuh kira-kira terpaut tiga kilometer dari rumah Pram.
Kala berkunjung ia bertemu dengan adik Pram, Soesilo Toer, yang juga seorang penulis.
Baca juga:
Kukuh meminta tanda tangan pada buku miliknya, yang ditulis Soesilo mengenai Pram.
“Hidup harus berani (Pram),” tulis Soesilo, mengutip pesan Pram kepada Kukuh.
Pesan soal keberanian ini yang bagi Kukuh ingin ia coba kenalkan kelak kepada ketiga orang anaknya yang kini masih kecil.

Sumber gambar, Dokumen pribadi Kukuh Adi
“Suatu saat saya pengen mewajibkan membacanya,” kata Kukuh.
Alasan Kukuh ingin memperkenalkan Pram adalah agar anak-anaknya mengenal bahwa kampungnya, yakni Blora, punya sastrawan yang dikenal luas.
Namun, ada juga pesan lain yang penting menurut Kukuh untuk masa depan anak-anaknya.
“Hidup harus berani,” kata Kukuh.

Sumber gambar, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay/Wikipedia
“Sangat privilege merasa bersama Pram, berdua sama dia sampai malam”, kata Engel Tanzil menceritakan pengalamannya menggali arsip-arsip Pram beberapa tahun silam.
Perempuan berusia 50 ini adalah pemilik galeri seni ‘Dia.lo.gue’ di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
Pada awal 2018,tiap akhir pekan ia bolak-balik dari rumahnya di Kemang pergi ke Bojong, Bogor, menggunakan kereta, disambung ojek online guna mengunjungi rumah Pram.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Ivan Batara
Hal itu ia lakukan selama sekitar tiga bulan. Rutinitas itu bukan ia lakukan karena iseng belaka. Saat itu ia menyiapkan sebuah pameran mengenai Pram.
Ajakan mengadakan pameran tersebut datang dari rekan Engel, yakni pemain film dan teater, serta pendiri yayasan nirlaba untuk kesenian, Happy Salma.
Baca juga:
- Hantu-hantu ‘Toko Wong’ dan pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Ratusan orang ditembak senapan mesin’
- Pengakuan anak-anak ‘algojo’ pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’
- Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh’
“Yang diharapkan output dari pameran tersebut adalah orang datang pulang dan mengenal si Pram.”
“Dan kenapa dia bisa di penjara? Itu orang juga bertanya,” kata Engel menyebut salah satu fase hidup Pram sebagai tahanan politik di Pulau Buru.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Ayomi Amindoni
Ia ke rumah itu guna memeriksa arsip-arsip milik Pram, serta mewawancarai anggota keluarga.
Bagi Engel pengalaman menyigi arsip pribadi Pram adalah yang paling berbekas.
Salah satunya adalah korespondensi anak-anak dengan Pram, di masa mereka tidak bertemu langsung dengan Pram semasa jadi tahanan.

Sumber gambar, Getty Images
“Setiap anak Pram itu menulis cerita atau menulis surat untuk ayahnya yang sudah lama dia tidak temui dan gak tahu seperti apa rupa ayahnya,” kata Engel.
“Saya kayak masuk ke dalam ruang waktu yang saya stuck di situ selama 4-6 bulan,” tambahnya.
‘Rekonsiliasi Hati’
Pameran digelar pada April 2018, dengan tajuk ‘Namaku Pram: Catatan dan Arsip’.
Tajuk tersebut, diklaim Engel didapat dalam sebuah mimpi, setelah berusaha keras mengganti-ganti tajuk yang tepat untuk pameran tersebut.
Pameran yang digelar dalam waktu sekitar dua pekan menampilkan barang-barang yang menggambarkan keseharian Pram, seperti kaos singlet warna putih, mesin ketik, kartu pos, sampai rokok favorit Pram, yakni Djarum.
Hal tak terduga terjadi saat suatu hari penyelenggaraan pameran.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Ayomi Amindoni
Engel bercerita sebuah malam, ketika galerinya akan tutup ada seorang pengunjung pameran yang tak kunjung keluar dari toilet.
“Ternyata dia nangis enggak berhenti di toilet,” kata Engel.
Tamu itu, kata Engel, seorang pria di atas usia 40 tahun.
Baca juga:
Pria tersebut bercerita bahwa ayahnya juga merupakan seorang tahanan politik.
“Selama ini saya enggak ngerti ayahnya tuh kayak gimana,” kata Engel mengulang pernyataan pria tersebut.
Dengan mengunjungi pameran tersebut, sang pria dapat sedikit gambaran mengenai ayahnya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Ayomi Amindoni
Peristiwa itu membuat Engel merenung akan apa yang ia lakukan selama berbulan-bulan lamanya guna mempersiapkan pameran.
Ia menyebut pameran itu layaknya “rekonsiliasi hati”.
“Kalau ingat suka pengen nangis,” kata Engel, yang matanya sempat mengembang kala menceritakan pengalaman ini.
Ia menyadari bahwa pameran yang ia buat bukan sekadar memperkenalkan sosok sang penulis, tapi punya makna lain.
“Saya rasa pameran Pram waktu itu bukan cuma mengenai Pram tapi tentang kemanusiaan.”