Setelah pembatasan elpiji 3kg berjalan amburadul, Bahlil bakal tertibkan penyaluran solar bersubsidi – ‘Kami nelayan kekurangan solar, dikuras pemain nakal’

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Pemerintah berencana menertibkan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi agar tepat sasaran kepada mereka yang berhak. Pengamat energi mengingatkan selama ada opsi harga yang lebih murah di pasaran, maka potensi penyalahgunaan solar akan selalu ada.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengutarakan gagasan ini dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta pada Senin (10/02).
“Kami akan menerbitkan pengaturan untuk pengetatan batas maksimal volume penyaluran BBM agar lebih tepat sasaran,” tutur Erika Retnowati, Kepala BPH Migas.
Dalam paparannya, Erika mengatakan saat ini aturan volume solar adalah 60 liter per hari untuk kendaraan roda empat, 80 liter untuk kendaraan roda enam, dan 200 liter untuk kendaraan dengan roda di atas enam.
Berdasarkan kajian BPH Migas dan tim dari Universitas Gadjah Mada, Erika mengatakan jumlah itu “terlalu banyak karena melebihi kapasitas tangkinya, sehingga berpotensi untuk disalahgunakan.”
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan

Sumber gambar, Getty Images
BPH Migas, sambung Erika, juga akan meningkatkan pengawasan di titik-titik penyerahan solar bersubsidi seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB) dan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBB).
SPBB merupakan fasilitas Pertamina untuk kapal-kapal nelayan, adapun TBBB umumnya berlokasi dekat pelabuhan atau kilang minyak.
Penjelasan BPH Migas itu menyusul pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang berencana menertibkan solar bersubsidi.
Pernyataan Ketua Umum Golkar itu diungkapkan saat rapat kerja nasional Golkar pada Sabtu (08/02).
“Habis ini saya tertibkan lagi […] BBM solar. Solar subsidi dipakai untuk industri. Saya tahu ini pemainnya pasti akan ribut lagi. Tapi enggak apa-apa […] ini untuk perbaikan rakyat,” ujar Bahlil seperti dikutip Tribunnews.com.
Saat ini, harga BBM solar bersubsidi di pasaran adalah Rp 6.800 per liter meski harga aslinya di atas Rp 11.000 per liter.
Adanya dua harga berbeda ini membuat praktik-praktik penyelewengan bahan bakar diesel ini tidak terhindarkan, menurut pengamat energi.
Selain itu, belum ada kriteria yang jelas dan terperinci mengenai siapa saja yang berhak menerima solar bersubsidi dalam aturan tata niaga BBM di Indonesia.
Siapa yang seharusnya menerima solar bersubsidi?

Sumber gambar, Nur Ithrotul Fadhila
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014 menyebutkan penerima solar bersubsidi adalah pengusaha Usaha Mikro dan Kecil (UMK), petani, nelayan, transportasi umum, pelayanan umum, dan pengguna kendaraan pribadi.
Akan tetapi, pengamat mengatakan pengendaliannya sangat sulit diterapkan di lapangan.
“Pada dasarnya penerima solar subsidi adalah untuk usaha mikro atau kecil, petani, nelayan, pribadi dan berbagai pelayanan umum,” ujar Putra Adhiguna, analis energi dan managing director Energy Shift Institute, kepada BBC News Indonesia pada Senin (10/02).
“Namun kejelasan [mengenai] penerima dan pengendaliannya sangat sulit diterapkan di lapangan. Batasan pengguna untuk angkutan barang perkebunan dan tambang pun tidak mudah.”
Dalam rapat dengan DPR, Kepala BPH Migas Erika mengatakan kriteria pengguna solar bersubsidi dalam Perpres No. 191 Tahun 2014 “masih terlalu umum”.
“Dalam usulan revisi, sudah kami rinci lebih detail,” tutur Erika.
Salah satu usulan revisi BPH Migas adalah pembatasan pembelian solar berdasarkan jenis kendaraan. Hal ini memang belum disebutkan secara detail dalam Perpres No. 191 Tahun 2014.

Sumber gambar, Getty Images
Selain solar bersubsidi, Erika juga menyoroti lambannya revisi Perpres No. 191 dalam konteks BBM bersubsidi lainnya seperti Pertalite yang lebih umum digunakan masyarakat dan seringkali salah sasaran.
“Aturan ini belum mengatur konsumen pengguna [Pertalite] sehingga kemudian Pertalite itu masih bebas digunakan oleh siapa saja,” ujar Erika.
“Ini sudah kami usulkan sejak tahun 2022, tetapi memang sampai sekarang [revisi] ini belum diterbitkan.”
Putra dari Energy Shift Institute mengatakan lambannya revisi Perpres ini mengindikasikan “tantangan politik” dalam keseriusan pemerintah.
Strategi apa pun, menurut dia, tidak akan efektif “apabila tidak didukung aturan main yang jelas”.
Terpisah, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari mengatakan, pihaknya sebagai operator mengikuti regulasi yang ditetapkan pemerintah untuk upaya subsidi tepat.
“Serta memastikan distribusi dan transaksi tercatat secara digital, di lapangan diterapkan QR Code untuk pembelian solar bersubsidi di SPBU,” ujar Heppy ketika dihubungi pada Senin (10/02).
“Adanya sistem pencatatan secara digital memudahkan dilakukan penelusuran jika ada kecurangan di lapangan, misalnya pembelian dengan volume tidak wajar, pembelian berulang, tidak wajar, dan lain-lain.”
Mengapa pemerintah melontarkan wacana solar bersubsidi?
BPH Migas dalam rapat kerja DPR pada Senin (10/02) mengatakan pihaknya menerima 356 aduan penyalahgunaan BBM bersubsidi selama tahun 2024. Jumlah ini naik dari 183 aduan yang diterima pada tahun 2023.
“Kami melakukan penggerebekan bersama-sama dengan Polri ke sebuah tempat penimbunan [solar subsidi] di Muara Enim, Sumatra Selatan pada tahun 2022. Kurang lebih ada 108 KL yang kita temukan,” ujar Erika.
“Tahun lalu, penggerebekan yang sama terjadi di Maturari, Bitung, Sulawesi Utara oleh sebuah perusahaan dengan barang bukti BBM solar subsidi sebanyak 17 KL.”
Pada Sabtu (08/02) di rakernas Golkar, Menteri ESDM Bahlil mengatakan solar bersubsidi selama ini sering disalahgunakan.
Usulan penertiban solar bersubsidi ini dilontarkan ke publik menyusul kontroversi pelarangan penjualan gas LPG tiga kilogram di tingkat pengecer pekan lalu.
Larangan ini kemudian dianulir setelah memunculkan polemik di masyarakat.
Putra Adhiguna dari Energy Shift Institute menyoroti posisi Menteri ESDM yang ditempati figur partai.
“Kita akan lihat apakah pembatasan BBM subsidi bisa lebih didorong dalam situasi ini,” ujar Putra.
Di sisi lain, Putra mengatakan “pengguna akhir dari solar bersubsidi dari perkebunan dan pertambangan besar relatif lebih terkonsentrasi” apabila dibandingkan dengan distribusi LPG dan Pertalite.
“Titik-titik yang perlu pemerintah awasi lebih ketat seharusnya bisa diidentifikasi lebih baik,” imbuhnya.
Wacana pengaturan, atau terkadang disebut pembatasan, BBM bersubsidi sebetulnya bukan pertama kali ini dilontarkan pemerintah. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gagasan ini secara berkala dilontarkan oleh pemerintahan.
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai pemilihan kata “pengaturan” dan “pembatasan” lebih moderat dari sisi politis.
“Agak sulit bagi pemerintah ketika berhadapan dengan publik dan DPR kalau isunya katakanlah penyesuaian harga,” ujar Komaidi ketika dihubungi pada Senin (10/02).
“Temanya cukup realistis dan logis: bahwa yang tidak berhak enggak dapat [BBM bersubsidi]. Tapi kalau kenaikan [harga], kan, kena semuanya. Meskipun secara relatif, [pengaturan BBM bersubsidi] tidak begitu efektif.”
Apakah rencana pengaturan solar bersubsidi akan efektif?

Sumber gambar, Getty Images
BPH Migas menargetkan penyaluran solar subsidi sebanyak 18,8 juta kiloliter (KL) dan sebanyak 31,2 juta KL untuk Pertalite secara tepat sasaran ada tahun 2025.
Di sisi lain, Kepala BPH Migas Erika dalam rapat kerja bersama DPR mengakui pihaknya masih memiliki keterbatasan.
Selain kendala informasi dan teknologi, Erika mengatakan kurangnya personel BPH Migas dan tidak adanya kantor perwakilan lembaga itu di daerah-daerah menjadi kendala.
Putra mengatakan keterbatasan APBN dan banyaknya salah sasaran penerima subsidi BBM membuat hal ini selalu menjadi target bagi pemerintah untuk dipangkas.
“Namun realisasinya terus mengalami kendala. Pemerintah pun kerap maju-mundur dalam melakukan pengaturan tersebut,” ujarnya.
Komaidi dari ReforMiner Institute mengatakan dari pengalaman yang sudah-sudah, gagasan pengaturan BBM bersubsidi biasanya berdampak ke inflasi.
“Kalau harga barang dan jasa naik, biasanya dampaknya ke pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujarnya.
“Jangan-jangan nanti penerimaan pajaknya jauh lebih besar turunnya dibandingkan penghematan [dari pengaturan BBM bersubsidi],” ujarnya.
Apa langkah yang sebaiknya diambil pemerintah?
Putra Adhiguna dari Energy Shift Institute mengatakan meski skema dua harga akan selalu membuka potensi penyelewengan, keinginan pemerintah tetap bisa disikapi secara positif.
“Setidaknya bisa dimulai dengan kejelasan kriteria penerima BBM subsidi, dan pada waktu bersamaan pengetatan dan pendataan, pada level penjual BBM, apapun mekanismenya,” ujar Putra.
Pengamat itu mengatakan pemerintah sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada industri besar yang menyelewengkan penggunaan solar subsidi seperti perkebunan dan pertambangan besar.
“Indonesia memiliki sektor tambang dan perkebunan skala besar, sehingga memiliki resiko besar kebocoran subsidi di dua sektor tersebut,” ujarnya.
Di sisi lain, Putra mengatakan berbagai wacana pembatasan BBM bersubsidi yang sebelumnya dilemparkan cenderung berhenti di tengah jalan.
“Sudah terlampau banyak mekanisme kendali seperti RFID [radio frequency identification] atau penggunaan aplikasi, kemudian tidak terlalu efektif atau bahkan hilang sama sekali,” ujarnya.

Sumber gambar, Getty Images
Putra pun mendesak pengayaan dari sisi mekanisme digital yang disertai transparansi untuk memantau efektivitas pengaturan solar bersubsidi serta menaksir potensi penyimpangannya.
“Mekanisme kendali secara digital, apa pun itu, arus diterapkan dengan komitmen kuat. Memang harus disertai sosialisasi yang baik dan masa penerapan yang bertahap, bukan maju mundur. Hal ini bisa dilakukan beriringan dengan revisi regulasi dan implementasinya untuk mendefinisikan penerima yang berhak,” ujar Putra.
“Secara politis memang tidak mudah, dan ini juga imbas dari keengganan pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM secara bertahap, dan justru cenderung menahan harga sehingga subsidi semakin melonjak,” ujarnya.
Ke depannya, Putra mengatakan solusi terbaik adalah beralih ke subsidi langsung berdasarkan data masyarakat seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk mengurangi resiko penyelewengan dan pasar gelap BBM subsidi.
“Selama masih ada dua harga berbeda di pasar penyelewengan akan terus ada. Perbaikan DTKS pun sangat penting,” ujarnya.
Terakhir, Putra mengatakan pemerintah harus terbiasa dan membiasakan penyesuaian harga BBM untuk menghindari lonjakan-lonjakan kebijakan yang tajam “yang membuat masyarakat kaget dan memukul balik kebijakan tersebut”.
“Politisasi perkara harga energi tidak terhindarkan di semua negara, yang penting Indonesia menunjukkan arah yang jelas, komitmen untuk tuntas dan masa sosialisasi dan penerapan yang bertahap,” ujarnya.
Bagaimana tanggapan masyarakat?

Sumber gambar, Nur Ithrotul Fadhila
Perwakilan nelayan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, berharap rencana pemerintah tidak akan berdampak pada kuota solar bersubsidi yang amat mereka butuhkan.
Sunarto, Ketua Forum Nelayan Utara (Fornel) Jepara, mengaku khawatir apabila ada pembatasan solar bersubsidI. Hal ini tidak lepas dari larangan penjualan LPG secara eceran yang sempat diberlakukan minggu lalu dan berdampak kepada masyarakat.
“Kalau dibatasi jelas nelayan tidak bisa menerima. Jangankan dengan Menteri ESDM, dengan Prabowo sendiri saya siap mendatangi karena itu [solar] memang kebutuhan. Tanpa itu tidak bisa makan dan anak tidak bisa sekolah,” kata Sunarto.
Sunarto mengatakan bahkan tanpa adanya aturan pembatasan pun, solar bersubsidi di daerahnya seringkali langka akibat praktik penimbunan.
“Kuota harusnya masih ada tapi ternyata solarnya tidak ada sedangkan selalu ada pengiriman. Kadang-kadang nelayan kekurangan BBM dengan alasan kuota habis dan lain sebagainya… ternyata sebelumnya sudah dikuras pemain-pemain nakal,” ujarnya.
Pada 19 April 2024, Polres Jepara melakukan penyelidikan terhadap dugaan penimbunan solar bersubsidi di wilayah Kecamatan Donorojo, Jepara.
Wartawan di Jepara, Nur Ithrotul Fadhila, ikut berkontribusi dalam laporan ini.