‘Jika AS tidak patuhi perjanjian internasional, mengapa Indonesia harus mematuhinya’ – Kebijakan ekspansi energi fosil Trump, akankah diikuti Indonesia?

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Navin Singh Khadka
- Peranan, Koresponden Lingkungan BBC World Service
Saat KTT Iklim PBB di Uni Emirat Arab pada 2023 berakhir dengan seruan untuk “beralih dari bahan bakar fosil”, langkah itu dipuji sebagai tonggak sejarah dalam aksi iklim global.
Namun, setahun sesudahnya, komitmen global tersebut kehilangan momentum karena transisi energi bersih melambat dan pembakaran bahan bakar fosil terus meningkat.
Dan sekarang ada darurat energi nasional yang dideklarasikan Presiden AS Donald Trump, yang merangkul bahan bakar fosil dan meninggalkan kebijakan energi bersih.
Perubahan paradigma ini mulai memengaruhi negara-negara lain dan perusahaan energi.
Menanggapi pernyataan “drill, baby, drill”, dalam bahasa Indonesia berarti “bor, sayang, bor”—merujuk pada pengeboran energi fosil—Trump dan keluarnya AS dari perjanjian iklim Paris, Indonesia mengisyaratkan mungkin akan mengikuti jejak AS.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Indonesia termasuk dalam 10 negara penghasil emisi karbon teratas.

Sumber gambar, Getty Images
‘Jika AS tidak ikut, mengapa kita harus?’
“Jika Amerika Serikat tidak mau mematuhi perjanjian internasional, mengapa negara seperti Indonesia harus mematuhinya?” tanya Hashim Djojohadikusumo, utusan khusus untuk perubahan iklim dan energi Indonesia, sekaligus adik Presiden Prabowo Subianto.
“Indonesia menghasilkan tiga ton karbon, sementara AS menghasilkan 13 ton, namun kami yang disuruh menutup pembangkit listrik kami dan mengurangi pembangkit listrik tenaga uap kami (yang umumnya menggunakan bahan bakar fosil). Jadi, di mana rasa keadilannya?” kata Hasyim di Forum Berkelanjutan ESG 2025 di Jakarta pada 31 Januari silam.
Asia Tenggara sudah menjadi produsen dan konsumen batu bara utama, dan para ahli khawatir bahwa transisi energi mungkin tertunda lebih jauh.

Sumber gambar, Getty Images
“Jika produsen minyak terbesar di dunia, alih-alih mengambil tindakan berani untuk menghentikan bahan bakar fosil, justru meningkatkan produksinya, negara-negara penghasil bahan bakar fosil lainnya akan memiliki alasan mudah untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil mereka sendiri, yang sudah dilakukan oleh negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia,” kata Nithi Nesadurai, direktur di Climate Action Network Asia Tenggara.
“Ini akan memicu dampak perubahan iklim dan kenaikan suhu yang dahsyat.”

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Di Eropa, raksasa energi, Equinor, baru saja mengumumkan bahwa mereka mengurangi setengah investasi energi terbarukan sementara meningkatkan produksi minyak dan gas sebesar 10%.
Langkah serupa diperkirakan akan dilakukan oleh raksasa minyak BP dalam waktu dekat.
“Ketika saya mendengar ‘bor, sayang, bor’, saya melihatnya sebagai sentimen positif bagi bisnis minyak dan gas,” kata kepala eksekutif Equinor, Anders Opedal.
Dia menambahkan perusahaan akan selalu memutuskan program pengeboran berdasarkan sinyal harga.

Sumber gambar, Getty Images
Kini, ada kekhawatiran bahwa proyek tersebut mungkin akan terbengkalai bahkan ketika energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin sudah jauh lebih murah.
“Tentu saja ada kemungkinan bahwa penghentian beberapa pembangkit listrik batu bara kita akan tertunda lebih lanjut, tetapi ini menimbulkan biaya yang signifikan, dan risiko besar bagi ekonomi Afrika Selatan,” kata Wikus Kruger, direktur Power Futures Lab di Universitas Cape Town.
Dia mengatakan pengumuman Trump dapat mempermudah negara-negara Afrika lainnya, khususnya di sub-Sahara Afrika, yang ingin, dan memiliki sumber daya, untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas alam.

Sumber gambar, Getty Images
Di Amerika Latin, Argentina, yang telah keluar dari pertemuan iklim COP29 di Baku November lalu, tampaknya mengikuti jejak presiden AS.
“Sekarang kami memperkirakan produksi minyak dan gas kami akan meningkat,” kata Enrique Viale, presiden Asosiasi Pengacara Lingkungan Argentina.
“Presiden Milei telah mengisyaratkan bahwa dia bermaksud untuk menarik diri dari Perjanjian Paris dan mengatakan bahwa environmentalisme adalah bagian dari woke agenda.”
Istilah “woke” mulai populer sejak beberapa tahun silam untuk menggambarkan kesadaran yang lebih luas terhadap kesenjangan sosial.
Para ilmuwan mengatakan tidak boleh ada ekstraksi bahan bakar fosil baru dan perlu ada pengurangan emisi karbon yang cepat jika dunia ingin membatasi pemanasan hingga 1,5 Celsius dibandingkan dengan periode pra-industri.
‘Energi Amerika di seluruh dunia’
Trump tidak hanya mengatakan “bor, sayang, bor” tetapi dia juga melanjutkan dengan mengatakan: “Kami akan mengekspor energi Amerika ke seluruh dunia.”
Dan calon pembeli energi Amerika di luar negeri, khususnya gas, sudah mengantre.
Beberapa hari setelah pengumuman keadaan darurat energi Trump, importir gas terbesar kedua dan ketiga dunia—Korea Selatan dan Jepang—masing-masing mengatakan akan mengimpor lebih banyak energi Amerika.
Demikian pula halnya dengan penghasil emisi karbon terbesar ketiga di dunia, India, meskipun negara ini juga telah mengumumkan target energi nuklir yang ambisius dalam anggaran fiskal tahunannya yang baru diumumkan.
“Tentu ada ancaman bahwa jika AS berusaha untuk membanjiri pasar dengan bahan bakar fosil murah, atau memaksa negara-negara untuk membeli lebih banyak bahan bakar fosilnya, atau keduanya, transisi energi global mungkin akan melambat,” kata Lorne Stockman, direktur penelitian di Oil Change International, organisasi penelitian dan advokasi untuk transisi ke energi bersih.
Energi terbarukan sebagai penyelamat?
Investasi transisi energi global telah melampaui US$2 triliun (setara Rp 30 kuadriliun) untuk pertama kalinya dan meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2020, menurut laporan Energy Transition Investment Trends yang diterbitkan oleh BloombergNEF pada Januari lalu.
Namun, disebutkan, pertumbuhannya melambat menjadi hanya 10,7% pada 2024, dari sebelumnya sekitar 24-29% pada periode 2021-2023.

Sumber gambar, Getty Images
Sebuah laporan Forum Ekonomi Dunia 2024 mengatakan “volatilitas ekonomi, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan perubahan teknologi semuanya berdampak, mempersulit kecepatan dan lintasan transisi.”
PBB mengatakan tidak ada satu pun dari negara-negara G20—yang merupakan ekonomi utama dan penghasil emisi karbon terbesar—yang mengurangi emisi pada kecepatan untuk memenuhi target nol bersih mereka.
‘Bank-bank mendukung bahan bakar kotor’
Di tengah semua ini dan hanya beberapa hari sebelum pengumuman ekspansi bahan bakar fosil Trump, bank-bank besar AS keluar dari Net Zero Banking Alliance pada Desember silam.
Net Zero Banking Alliance adalah kelompok bank terkemuka yang berkomitmen untuk menyelaraskan kegiatan pinjaman, investasi, dan pasar modal mereka dengan emisi gas rumah kaca nol bersih pada tahun 2050.
Bahkan sebelum Trump, emisi global tumbuh hampir 1% tahun lalu dan konsentrasi CO2 di atmosfer telah mencapai tingkat tertinggi.
Dan 2024 juga merupakan tahun kalender pertama yang mencatat suhu rata-rata global telah melampaui 1,5C dibandingkan dengan periode pra-industri.

Sumber gambar, Getty Images
Di tengah semua ini, apakah negara-negara penghasil emisi besar memiliki insentif untuk tidak mengikuti kebijakan pro-bahan bakar fosil Trump?
“Ekonomi pasokan energi merupakan pendorong utama dekarbonisasi,” kata David Brown, direktur praktik transisi energi di Wood Mackenzie, sebuah lembaga kajian energi global.
“Basis sumber daya energi AS mendukung peran produksi gas alam dan cairan. Sebaliknya, negara-negara yang bergantung pada impor seperti China, India, dan Asia Tenggara memiliki insentif ekonomi yang dramatis untuk melakukan dekarbonisasi sumber energi.”