Komunitas berbagi Joli Jolan, inisiatif ‘perlawanan’ terhadap konsumerisme dan kondisi perkotaan di Solo

Komunitas berbagi Joli Jolan, inisiatif ‘perlawanan’ terhadap konsumerisme dan kondisi perkotaan di Solo

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Puluhan orang menunggu dengan sabar di depan pintu pagar sebuah rumah yang berlokasi di Laweyan, Solo, Jawa Tengah, pada akhir November silam.

Menik Mutinah, perempuan berusia 57 tahun asal di Simo, Boyolali—yang berjarak hampir satu jam perjalanan ke Solo—adalah salah satu dari mereka yang menanti dengan sabar.

Ia rela jauh-jauh berangkat dari Simo yang berjarak sekitar 29 kilometer dengan naik angkutan umum untuk menyambangi rumah yang menjadi markas Ruang Solidaritas Joli Jolan.

Nama Joli Jolan diambil dari bahasa Jawa, yakni ijol-ijolan atau tukar menukar.

Saban Sabtu, komunitas itu menyulap pelataran rumah itu menyerupai galeri yang dipenuhi dengan barang-barang bekas, mulai dari pakaian, sepatu, sandal, mainan hingga buku.

Ini adalah pertama kalinya Menik menyambangi markas komunitas yang bergerak di bidang sosial untuk berbagi pakaian bekas dan barang-barang bekas secara cuma-cuma itu setelah mendapat informasi dari temannya.

Rencana untuk berangkat ke Solo naik bus dari Simo telah direncanakan sejak beberapa waktu lalu, namun rencana itu baru terlaksana Sabtu (23/11).

Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya salah satu relawan Joli Jolan membuka pintu pagar itu tepat pada pukul 10.00 WIB.

Dengan sigap, Menik dan pengunjung lainnya langsung berlari memilih pakaian bekas yang dipajang di sejumlah gantungan baju.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Menik rela jauh-jauh berangkat dari Simo di Boyolali yang berjarak sekitar 29 kilometer dari Solo dengan naik angkutan umum untuk menyambangi rumah yang menjadi markas Ruang Solidaritas Joli Jolan.

Di pelataran markas Joli Jolan yang disulap bak pasar itu, tak hanya ada pakaian bekas seperti baju, celana dan jaket, tapi juga mainan, sandal dan sepatu, hingga buku-buku bacaan bekas.

Menik kemudian melihat dari dekat baju-baju bekas yang dipajang di gantungan yang mirip etalase itu. Satu per satu baju diperiksa dengan teliti.

Setelah hampir satu jam memilah baju bekas, dia akhirnya mendapatkan tiga potong pakaian. Ia tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk tiga potong baju bekas itu.

“Tadi ngambil kaus, rok, baju koko. Nanti kalau manfaat untuk saya, Kalau enggak, seandainya saudara yang mau ya dikasihkan,” ujar Menik usai berkunjung ke Ruang Solidaritas Joli Jolan di Solo, Sabtu (23/11).

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Setelah hampir satu jam memilah baju bekas, Menik akhirnya mendapatkan tiga potong pakaian.

Menik tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun sebab baju-baju bekas itu tersedia dengan cuma-cuma. Ia hanya perlu mendaftarkan dirinya sebagai anggota komunitas Joli Jolan.

Bagi Menik, keberadaan komunitas Joli Jolan yang membagikan baju bekas layak pakai secara gratis kepada warga yang tak mampu ini patut diapresiasi.

“Saya ikut bersyukur juga ternyata di saat seperti ini masih ada yang peduli dengan sekitarnya yang membutuhkan,” ujar Menik.

“Tapi untuk donasi, saya sendiri belum mampu karena saya masih membutuhkan,” ucapnya.

Berbeda dengan Menik, Dyah Pujiastuti telah berulang kali menyambangi Ruang Solidaritas Joli Jolan.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Pengunjung tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk mendapat barang-barang bekas di Ruang Solidaritas Joli Jolan, yang mereka perlukan hanya mendaftarkan dirinya sebagai anggota komunitas Joli Jolan.

Kali ini, sebelum mengambil pakaian bekas yang dipajang di galeri Joli Jolan, Dyah sempat merogoh kocek untuk memberikan donasi kepada komunitas tersebut.

“Tadi donasi Rp5.000,” sebutnya.

Warga Solo ini masih ingat pertama kali dia mendatangi Joli Jolan adalah ketika pandemi Covid-19 melanda.

Menurutnya, Joli Jolan sangat membantu memenuhi kebutuhan sandang meski hanya pakaian bekas. Bahkan, kini Dyah sudah jarang berbelanja pakaian baru, baik di toko, pusat perbelanjaan maupun secara belanja online.

“Jarang, jarang sekali beli [baju baru]. Beli baru juga mahal kok. Ini beli di sini [Joli Jolan] malah branded (barang bermerek),” kata dia sambil menunjukkan bajunya yang bermotif kotak-kotak putih hitam.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Sementara itu, Dita mendatangi Ruang Solidaritas Joli Jolan bukan untuk mengambil barang bekas, namun untuk mendonasikan sejumlah pakaian bekas miliknya yang sudah tak lagi dipakai.

“Disumbangkan karena memang di rumah sudah tidak terpakai daripada sayang di lemari mending buat dikasih di sini dan lebih bermanfaat untuk orang lain,” ujar dia.

Ia menyumbangkan sekitar lima potong pakaian miliknya.

Perempuan berusia 23 tahun itu mengaku ini kali pertama menyambangi Ruang Solidaritas Joli Jolan setelah diberitahu oleh kakaknya.

“Ini tahunya dari kakak, kalau kakak sudah beberapa kali ke sini,” akunya.

Ruang Solidaritas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Dita mendatangi Ruang Solidaritas Joli Jolan untuk mendonasikan sejumlah pakaian bekas miliknya yang sudah tak lagi dipakai.

Meskipun baru pertama kali ke Joli Jolan, ia mengaku senang bisa melihat pakaian-pakaian yang didonasikan di komunitas tersebut bisa diambil dan dipakai orang lain secara cuma-cuma.

Ia pun berencana ke depan akan mencoba untuk mendonasikan kembali pakaian-pakaian bekas yang sudah tidak terpakai di rumahnya.

“Mungkin kalau ada yang bermanfaat untuk orang lain malah lebih bagus dari pada di rumah menganggur tidak terpakai kan sayang juga bajunya,” tutur

“Mungkin [saya] akan melakukan lagi, entah mendonasikan atau melihat-lihat baju dan barang-barangnya di sini,” ucap dia.

Baca juga:

Terinspirasi gerakan Skoros di Yunani

Salah satu inisiator Joli Jolan, Septina Setyaningrum, menceritakan awal mula Joli Jolan dibentuk sebagai wujud keprihatinan tentang dampak konsumerisme.

Mereka kemudian menerapkan hidup secara bersahaja dengan mengelola barang secukupnya, seperti halnya slogan dari komunitas tersebut: “Ambil sesuai kebutuhanmu, sumbangkan sesuai kemampuanmu”.

“Pertama kali kami buka ruang solidaritas Joli Jolan itu murni dari barang-barang kami semuanya. Akhirnya dari tiga inisiator ini kami membentuk jaringan relawan dan barang-barang yang pertama kali kita buka murni dari relawan untuk bisa diadopsi masyarakat,” jelas Septina.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Komunitas Joli Jolan terinspirasi dari gerakan komunitas Skoros di Yunani.

“Jadi memang prinsip kami, hidup mengelola barang secukupnya,” lanjutnya.

Septina kemudian menuturkan bahwa Joli Jolan yang dibentuk sejak 12 Desember 2019 lalu terinspirasi dari gerakan komunitas di Yunani yang bernama Skoros.

Skoros dalam bahasa Yunani itu memiliki arti rayap, kata Septina.

Gerakan komunitas saling berbagi dan membantu sesama itu muncul di Yunani ketika mengalami krisis ekonomi.

“Filosofinya, kalau barang-barang tidak terpakai dan sebagainya itu kan dirayapi. Tapi memang kalau di Skoros, mereka adalah satu gerakan warga bantu warga karena negaranya sedang mengalami krisis,” bebernya.

Baca juga:

Salah satu inisiator, Chrisna Canis Cara, kemudian melontarkan ide ke dua inisiator lain untuk membentuk inisiatif serupa di Solo.

Lambat laun keberadaan Ruang Solidaritas Joli Jolan mendapat respons positif dari masyarakat. Banyak warga Solo dan sekitarnya mulai berdatangan ke markas komunitas tersebut.

Animo warga yang tinggi, membuat Septina berkesimpulan bahwa banyak orang yang membutuhkan ruang solidaritas untuk saling berbagi.

“Kalau jenengan (Anda) melihat, banyak baju-baju, boneka atau mainan itu hanya sarana. Sebenarnya kami di sini intinya berbagi. Berbagi tidak hanya tentang barang tetapi tentang ilmu, kemampuan, pikiran, tenaga dan lain sebagainya,” ujar dia.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Ruang Solidaritas Joli Jolan mendapat respons positif dari masyarakat, seiring makin banyak warga yang mengambil atau menyumbang barang bekasnya di komunitas ini.

‘Perlawanan’ melawan konsumerisme dan

Selain berbagi, kata Septina, tujuan awal Joli Jolan adalah untuk mengurangi tingkat konsumerisme masyarakat yang tinggi.

Apalagi di tengah semakin maraknya gaya hidup belanja online yang membuat masyarakat semakin mudah berbelanja, kerap kali dengan harga lebih murah dengan promosi yang ditawarkan lokapasar.

“Kami prihatin akan tingkat konsumerisme yang terjadi di masyarakat atau anak-anak muda sekarang,” ujar Septina.

“Saya bukan menyalahkan anak-anak muda, tapi orang-orang pada umumnya, ada kemudahan dengan teknologi informasi, ada belanja online dan barang-barangnya sangat murah sekali,” kata dia.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Tujuan awal Joli Jolan adalah untuk mengurangi tingkat konsumerisme masyarakat yang tinggi, menurut salah satu insiatornya Septina Setyaningrum.

Imbas dari membeli barang-barang murah yang tak begitu dibutuhkan ini, membuat barang-barang menumpuk. Implikasinya, menurut Septina, “ada timbunan sampah dan menjadi masalah di perkotaan yang sangat klasik yang tidak terkelola”.

Septina meyakini gerakan yang digagas bersama dengan teman-temannya itu setidaknya dapat mengurangi sampah di perkotaan.

Menurutnya, kemunculan Joli Jolan sebenarnya sebagai satu bentuk perlawanan terhadap kondisi perkotaan di Solo, ketika setiap hari warga dihadapkan dengan masalah sampah, solusi, pencemaran lingkungan.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, “Ini satu bentuk perlawanan, oerlawanan dengan kondisi di perkotaan,” ujar Septina, inisiator Joli Jolan.

“Ketika suatu daerah tidak mampu mengelola secara baik masalah sampah, sebagai warga harus berkontribusi terhadap hal tersebut,” ungkapnya.

Dia mengeklaim dalam satu bulan komunitasnya mengelola rata-rata satu ton barang-barang bekas, baik barang yang masuk maupun yang didistribusikan.

Meskipun barang-barang yang dipajang di Joli Jolan adalah barang bekas, sejak awal Septina mewanti-wanti para donatur agar barang-barang yang disumbangkan dalam kondisi layak dan siap pakai.

Dengan begitu, para relawan tinggal memilah dan memajang pakaian tersebut di gantungan baju.

Selain itu, komunitas Joli Jolan juga membagikan pakaian bekas dan barang-barang bekas ke kampung-kampung.

“Barang yang kami bagikan itu tidak hanya di ruangan ini tetapi barang yang kami bagi itu banyak yang jemput bola.”

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Dalam satu bulan, komunitas Joli Jolan mengelola rata-rata satu ton barang-barang bekas, baik barang yang masuk maupun yang didistribusikan.

“Ada kawasan-kawasan yang tidak pernah terekspos yang teman-teman tidak tahu dan kami kirimkan ke sana tapi kami tidak akan menyebutkan di kampung mana karena itu bagian dari komitmen kami dalam tanda petik untuk tidak menjual kemiskinan karena semua di sini sama,” tambah dia.

Septina mengaku untuk menggerakkan Ruang Solidaritas Joli Jolan seperti saat ini dibantu belasan relawan yang tanpa pamrih membantu gerakan ini.

Setiap Sabtu, mereka berdatangan sejak pagi untuk menata berbagai barang bekas yang siap dipajang, mulai dari baju, jaket, celana, sepatu, sandal, buku, sembako hingga sayur-sayuran.

Tak hanya relawan, beberapa mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret (UNS) dan kampus lainnya terlihat ikut membantu memilih dan memilih barang-barang sumbangan dari donatur.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

“Volunter aktifnya sekitar 15 orang, hanya 15 orang.”

“Mereka kesini itu keinginan volunter sendiri, ketika kebetulan enggak ada volunter yang datang, kami yang ada yang tunggu ruang dan tetap melayani. Tidak ada pemaksaan dan tidak ada aturan ketenagakerjaan,” ujarnya.

Setelah hampir lima tahun dibentuk, komunitas Joli Jolan memperoleh respons yang positif dari masyarakat Solo dan luar daerah.

Septina menyebutkan jumlah pengunjung setiap Sabtu kala komunitas itu melayani warga mencapai ratusan. Mereka telah berdatangan ke rumah yang menjadi markas Joli Jolan itu sebelum pintu pagar dibuka.

“Rata-rata akhir-akhir ini sekitar 200-an pengunjung. Mereka berasal dari Solo dan sekitarnya tapi memang ada pengunjung yang dari luar Jawa dan bahkan dari Melbourne,” kata Septina.

Komunitas Joli Jolan

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Keterangan gambar, Setelah hampir lima tahun dibentuk, komunitas Joli Jolan memperoleh respons yang positif dari masyarakat Solo dan luar daerah.

Pengunjung dari Australia itu, lanjut Septina, bertukar informasi dan memberikan donasi.

Seiring berjalannya waktu, ide gerakan komunitas seperti yang dilakukan Joli Jolan mulai bermunculan di sejumlah daerah, seperti gerakan Ikatan Karang Taruna dan Kelompok Wanita Tani di Dukuh Masan, Bendosari, Kabupaten Sukoharjo dan Komunitas Ijo Lumut di Kampung Cungkup, Kota Salatiga.

Septina mengaku bangga kehadiran Joli Jolan yang melakukan perlawanan terhadap konsumerisme di kalangan masyarakat menjadi inspirasi di daerah.

“Kami tidak ingin besar sendiri. Indikator kesuksesan itu ketika teman-teman yang lain di beberapa daerah juga mendirikan hal yang sama.”

Reportase oleh wartawan di Solo, Fajar Sodiq.

Tinggalkan Balasan