KUBET – Adolf Hitler dan Nazi – Apakah nazisme gerakan sayap kiri atau sayap kanan?

Adolf Hitler dan Nazi – Apakah nazisme gerakan sayap kiri atau sayap kanan?

Adolf Hitler, Nazi

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Diktator Jerman Adolf Hitler memberikan salam Nazi.

Nazisme adalah ideologi politik yang berakar pada gerakan rasial di Jerman di bawah komando Adolf Hitler pada awal abad ke-19. Apakah nazisme gerakan sayap kiri yang lekat dengan sosialisme marxis atau sayap kanan dengan liberalisme kapitalisnya?

Gestur miliarder Elon Musk saat pelantikan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menuai kontroversi karena mirip dengan hormat Nazi, kendati ia kemudian membantahnya.

Beberapa hari kemudian, Musk berbicang—disiarkan daring melalui X—dengan Alice Weidel, pemimpin partai sayap kanan Jerman.

Dalam percakapan itu, Weidel, kandidat dari partai sayap kanan Jerman AfD, menyebut Adolf Hitler itu bukan penganut “sayap kanan”, melainkan seorang “sosialis, komunis”.

Perdebatan tentang apakah gerakan Nazi Jerman—pemerintahannya membunuh jutaan orang dan menyebabkan Perang Dunia II—memiliki asal usul yang sama dengan marxisme telah viral di media sosial dari waktu ke waktu.

Namun, para sejarawan yang diwawancarai BBC News Brasil melihat diskusi daring itu dipicu oleh apa yang mereka sebut “kebingungan konsep”.

Elon Musk melakukan gestur yang mirip dengan hormat Nazi.
Keterangan gambar, Elon Musk melakukan gestur yang mirip dengan hormat Nazi.

Menurut mereka nazisme itu jauh dari pemikiran tentang gerakan sayap kiri maupun kanan.

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Nazisme lebih menampilkan dirinya sebagai “jalan ketiga”.

“Baik nazisme Jerman maupun fasisme Italia muncul setelah Perang Dunia I,” kata Denise Rollemberg, profesor sejarah kontemporer dari Universitas Federal Fluminense (UFF).

Dia mengatakan, kedua idealisme itu melawan sosialisme marxis yang populer di Rusia dalam Revolusi Oktober 1917 dan melawan kapitalisme liberal saat itu.

“Itulah sebabnya terjadi kebingungan konsep ini,” ujarnya.

Akan tetapi, menurut Rollemberg, ini bukan berarti nazisme berhaluan kiri saat gerakan ini kritis ke kapitalisme.

“Sama dengan yang dilontarkan sosialisme marxis, Nazisme ingin menciptakan jenis sosialisme baru, tetapi bersifat nasionalis untuk Jerman. Tanpa perspektif menyatukan revolusi di seluruh dunia, yang dimiliki marxisme,” jelasnya.

Menurut Rollemberg, gerakan politik Nazi saat itu meramalkan terjadinya “revolusi sosial bagi orang Jerman”.

Pandangan ini tidak seperti partai sayap kanan saat itu “berasal dari budaya politik abad ke-19 yang sepenuhnya melakukan pengecualian dan tidak ada dialog dengan massa”.

Meski begitu, katanya, akan sulit mengklasifikasikan gerakan nazisme dalam spektrum politik saat ini.

“Mereka [nazisme] menolak apa yang menjadi hak tradisional saat itu dan juga sayap kiri yang sedang berkembang. Mereka berusaha menampilkan diri sebagai jalan ketiga,” katanya.

Nasionalisme

Para demonstran anti-fasis dan nazi berkumpul di London, Inggris.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Para demonstran anti-fasis dan nazi berkumpul di London, Inggris.

Gagasan “revolusi sosial Jerman” memunculkan Partai Sosialis Nasional Jerman pada 1919.

Kata “sosialis” dalam nama itu menjadi salah satu argumen utama perdebatan di dunia maya bagi mereka yang meyakini Nazisme adalah gerakan sayap kiri.

Tetapi para sejarawan tidak setuju dengan pandangan itu.

“Ini menunjukkan kebodohan yang besar tentang sejarah dan bagaimana berbagai hal terjadi,” kata Izidoro Blikstein, profesor linguistik dan semiotika di USP dan spesialis dalam analisis wacana Nazi dan totaliter, kepada BBC News Brasil.

Yang mendasar di sini sebenarnya adalah istilah “nasional”, bukan “sosialis”, menurut Blikstein.

“Ini adalah garis kekuatan mendasar di nazisme—pembelaan terhadap apa yang bersifat nasional dan ‘milik orang Jerman’. Di sinilah teori Aryaisme muncul,” jelasnya.

Menurut Blikstein, para ahli teori Nazi mencari landasan teoritis dan filosofis untuk mempertahankan gagasan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari “bangsa Arya”, yang disebut sebagai salah satu suku asli Eropa.

Baca juga:

“Para pemikir di Eropa saat itu memiliki ‘mimpi tentang ras murni’. Semakin dekat dengan suku Arya, semakin murni ras itu.”

“Dan para ahli ini percaya kelompok [rakyat] Jerman adalah yang paling dekat.”

“Dari situlah muncul tesis bahwa untuk bisa bahagia, maka mereka harus membela ras Arya, menjauhi subversi dan dekadensi. [Mereka mengeklaim bahwa] ras murni dapat menyelamatkan umat manusia.”

Gagasan membela rakyat Jerman ini memperoleh popularitas, di saat hilangnya wilayah, resesi mendalam, dan inflasi tinggi setelah Perang Dunia I—dan menjadi pusat gerakan Nazi.

“Itu perlu untuk memulihkan moral orang miskin, yang tidak punya uang dan ‘dibantai oleh kaum kapitalis’,” jelas Blikstein.

Dalam konteks ini, katanya, nazisme menjual gagasan “membangun kembali kebanggaan bangsa Arya”.

“Premisnya adalah melenyapkan orang-orang non-Arya. Dan teori ini diterapkan hingga mencapai konsekuensi akhirnya.”

‘Marxis dan kapitalis’

Bahkan ketika menyebarkan gagasan, nazisme merencanakan revolusi sosial di Jerman—yang mencakup, misalnya, intervensi negara yang lebih besar dalam perekonomian—Partai Nazi berupaya memperjelas penentangannya atas marxisme.

“Kampanye-kampanye Hitler sangat anti-marxis,” kata antropolog Adriana Dias dari Unicamp, yang mempelajari gerakan neo-nazi, kepada BBC Brasil.

“Nazisme dan fasisme memandang tidak ada perjuangan kelas—seperti yang diadvokasi sosialisme—melainkan perjuangan mendukung di batasan bahasa dan ras.

“Sekolah-sekolah sosialis nasional yang tersebar di seluruh Jerman mengajarkan kepada kaum muda bahwa orang Yahudi adalah pencipta marxisme dan, selain menjadi anti-marxis, mereka juga harus menjadi anti-semit,” kata Adriana.

Diktator Nazi Jerman Adolf Hitler berpidato di Reichstag.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Diktator Nazi Jerman Adolf Hitler berpidato di Reichstag.

Bangsa Yahudi, pada kenyataannya, menjadi fokus penganiayaan rezim Nazi karena mereka mewakili sosialisme dan kapitalisme liberal, meskipun hal ini mungkin tampak antagonis saat ini.

“Di satu sisi, ada simbolisme orang Yahudi sebagai perwakilan dari sosialisme revolusioner—karena Marx berasal dari keluarga Yahudi yang berpindah agama menjadi Protestan, seperti yang dilakukan banyak Bolshevik,” kata sejarawan Denise Rollemberg.

“Di sisi lain, orang-orang Yahudi dikaitkan dengan kapitalisme finansial karena mereka yang berasimilasi [mengadopsi budaya negara lain selain budaya negara agama mereka] dan tinggal di Eropa memiliki tradisi peminjaman uang dan bisnis.”

‘Akurasi ilmiah’

“Akurasi ilmiah” dari pemusnahan orang Yahudi di Jerman, Nazi juga mempersulit dilakukannya perbandingan dengan penganiayaan politik di rezim sosialis Soviet, menurut Izidoro Blikstein.

“Ada banyak genosida di seluruh dunia, tetapi tidak ada yang seperti nazisme, karena ini sepenuhnya didukung teori ilmiah dan linguistik palsu dan dibawa sampai konsekuensi terakhir.”

“Uni Soviet juga memiliki kamp kerja paksa, tetapi tidak ada doktrin untuk membenarkan hal itu,” katanya.

Adolf Hitler, Joseph Goebbels, Nazi

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Adolf Hitler dan Menteri Propaganda Joseph Goebbels (kiri) menerima sorak-sorai dan penghormatan Nazi dari para pengikut mereka di Berlin.

“Tetapi ada kesamaan antara nazisme dan rezim Stalin,” akunya.

“Propaganda dan fakta bahwa keduanya adalah rezim totaliter, yang mengendalikan dan membuat undang-undang atas kehidupan publik dan juga pribadi warga negara.”

Selain orang Yahudi, rezim Nazi juga menganiaya kelompok demokrat liberal, sosialis, gipsi, Saksi-Saksi Yehuwa, dan homoseksual—yang saat ini mengklasifikasi nazisme masuk dalam gerakan sayap kanan ekstrem.

Ini mendekatkan Nazi pada kelompok yang menentang komunitas LGBT, melawan imigran, dan melawan Muslim, misalnya.

“Seluruh tindakan represi, penyensoran, kamp konsentrasi, dan pemusnahan Nazi ini ditujukan kepada siapa pun yang berada di luar apa yang mereka sebut ‘komunitas populer’, orang Jerman”.

“Tetapi orang Jerman yang demokrat liberal dan sosialis juga dikeluarkan karena menentang proyek Nazi dan membahayakan komunitas populer ini,” jelas Denise Rollemberg.

Namun, bagi Blikstein, gagasan tentang ras menjadi peran sentral bagi Nazisme, sehingga—sama seperti upaya revolusi sosial yang tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikannya sebagai “kiri”—sulit untuk mendefinisikannya sebagai sayap “kanan” yang kita kenal saat ini.

“Menyederhanakan bahwa Hitler adalah politisi sayap kanan meremehkan nazisme. Itu lebih dari kanan atau kiri. Itu adalah doktrin yang dirancang untuk membela suatu ras, meskipun konsep itu diperdebatkan dan tidak ilmiah,” katanya.

‘Krisis referensi’

Pandangan tentang proyek dan rezim Nazi, menurut para ahli, menciptakan kebingungan.

Nazisme melihat harus ada kesetaraan sosial dan distribusi pendapatan, tetapi di sisi lain, para imigran, Yahudi, lawan politik, dan bahkan anak-anak orang Jerman yang “tidak berbakat” akan dikeluarkan karena dianggap “kurang murni”.

Kemudian dalam pemikirian nazisme, negara berjanji akan banyak campur tangan dalam ekonomi untuk kepentingan warga negara, tetapi perusahaan swasta mendapat keuntungan terbesar dari mesin pemusnahan dan perang Nazi.

Gerakan itu juga mengaku membela para pekerja, tetapi serikat pekerja dihapuskan, begitu juga dengan hak untuk mogok.

Foto kaus bergambar Adolf Hitler telanjang di pantai yang dijual di pasar jalanan untuk wisatawan di Bangkok.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Foto kaus bergambar Adolf Hitler telanjang di pantai yang dijual di pasar jalanan untuk wisatawan di Bangkok.

Mereka pun memandang sosialisme marxis buruk, begitu juga dengan pemikiran liberalisme.

Lalu, bagaimana mungkin mempertahankan semua ide ini di saat yang bersamaan?

“Ketika partai [Nazi] itu dibentuk, ia memiliki kecenderungan lebih ke sayap kiri dan juga lebih ke kanan. Pada awalnya, ia memiliki wacana tentang anti-borjuis. Tetapi ketika mengambil alih kekuasaan di Jerman, kelompok di kanan membuat lebih banyak aliansi dengan borjuasi dan mengusir kelompok di kiri,” kata sejarawan UFF.

“Selain itu, Nazisme lahir di tengah krisis referensi yang sangat besar setelah Perang Dunia I. Banyak yang berpindah dari satu sisi ke sisi lain. Nilai-nilai sering kali tercampur aduk, dan konsep kanan dan kiri saat ini tidak menyelesaikan masalah dengan baik.”

Di antara para sejarawan, upaya untuk menarik kesejajaran antara nazisme dan fasisme Eropa dengan rezim Stalin di Uni Soviet juga bukan hal baru, menurut Rollemberg.

“Mereka semua adalah rezim totaliter, tetapi totaliterisme dapat berada di sisi mana pun. Saat ini kita memahami bahwa ada totaliterisme kanan, seperti Nazisme dan fasisme, dan kiri, seperti di Uni Soviet.”

Tinggalkan Balasan