Agus penyandang disabilitas ditahan atas kasus dugaan pelecehan seksual di NTB – ‘Untuk apa para korban berbohong?’

Agus penyandang disabilitas ditahan atas kasus dugaan pelecehan seksual di NTB – ‘Untuk apa para korban berbohong?’

Agus, IWAS

Sumber gambar, Kompas.com/Karnia Septia Kusumaningrum

Keterangan gambar, Agus (berbaju tahanan berwarna merah) kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Lombok Barat, untuk menjalani masa persidangan.

Kasus dugaan pelecehan seksual dengan tersangka IWAS alias Agus telah dilimpahkan ke kejaksaan, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh kepolisian. Agus, penyandang disabilitas tunadaksa, kini ditahan di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani masa persidangan.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, mengungkapkan bahwa berkas perkara Agus dinyatakan P21 pada 7 Januari 2025, yang berarti penyidikan sudah selesai.

Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, kemudian melakukan penahanan terhadap Agus di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lombok Barat.

“Jadi, terhitung mulai hari ini hingga 20 hari ke depan, yang bersangkutan kami titipkan penahanan pertamanya di Lapas Kelas II A Lombok Barat,” kata Kepala Kejari Mataram Ivan Jaka di Mataram, Kamis (09/01), seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Selama proses penyidikan kepolisian, Agus berstatus sebagai tahanan rumah.

Perubahan statusnya menjadi tahanan rutan, menurut jaksa, setelah mempertimbangkan ancaman hukuman dalam berkas perkara.

“Selain ancaman hukuman pidananya, kami mempertimbangkan jumlah korban yang melebihi 15 orang,” ujarnya.

Agus dijerat dengan pasal 6 huruf A dan atau huruf E, atau pasal 15 huruf E Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp 600 juta.

penyandang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS alias Agus saat menjalani rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi inisial MA di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Rabu (11/12).

Sumber gambar, Tribunnews

Keterangan gambar, Kolase foto penyandang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS alias Agus saat menjalani rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi inisial MA di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Rabu (11/12).

Meski telah ditahan, Agus berkukuh bahwa dirinya tak bersalah.

“Kebenaran pasti terungkap, kebenaran pasti akan terungkap,” ujar Agus pada Kamis (09/01) seperti dikutip dari Kompas.com.

Sebelumnya, Agus menjalani rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi inisial MA, pada Rabu (11/12).

Pria tunadaksa yang tak memiliki tangan itu memerankan 49 adegan terkait peristiwa yang terjadi pada 7 Oktober 2024 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Adapun tiga lokasi mencakup Taman Udayana, Islamic Center, dan berlanjut ke homestay tempat IWAS diduga melakukan pelecehan seksual.

Rekonstruksi di tiga lokasi

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Di Taman Udayana, Kota Mataram, IWAS memperagakan sejumlah adegan saat pertama kali bertemu korban.

Agus tampak mengajak korban berkeliling menggunakan sepeda motor.

Syarif menyebut hal itu dilakukan Agus untuk membujuk korban agar bersedia membayar kamar di tempat penginapan.

Setibanya di homestay, menurut Syarif, Agus sempat meminta korban membayar sewa kamar sebesar Rp50.000. Setelah itu, Agus dan korban masuk ke kamar homestay nomor 6.

Dalam proses rekonstruksi terungkap bahwa Agus sempat cekcok dengan korban berinisial MA.

Kuasa hukum Agus, Ainuddin, mengatakan perdebatan itu terkait pembayaran kamar di penginapan tersebut. Menurutnya, Agus meminta korban untuk membayar kamar penginapan itu dan akan diganti setelah pulang.

“Dia (korban) sempat minta uang dan itu tidak bisa dipenuhi oleh IWAS karena pada saat itu dia tidak punya uang. Tapi maunya pada saat itu, sehingga dia (korban) marah,” kata Ainuddin kepada wartawan, sebagaimana dikutip Detik.com.

Ainuddin menuturkan cekcok antara korban dan Agus telah dimulai sejak mereka berada di kamar homestay.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, mengatakan ada dua versi peristiwa yang terjadi di dalam kamar homestay tersebut. Menurut Agus, korban yang membukakan pakaian dan pintu penginapan itu.

“Dari versi korban, yang aktif (di dalam kamar) tersangka,” kata Syarif seusai menggelar rekonstruksi di Kota Mataram.

Berdasarkan adegan versi korban, Agus membuka pintu kamar menggunakan dagunya. Sedangkan versi Agus, korban yang membuka pintu penginapan itu.

Begitu pula dengan rekonstruksi saat keduanya berada di dalam kamar yang dilakukan dengan dua versi.

Cekcok antara Agus dan MA berlanjut saat mereka hendak meninggalkan penginapan itu untuk menuju Jalan Udayana, dekat Islamic Center NTB.

Lokasi rekonstruksi ketiga digelar di samping Islamic Center dengan menghadirkan dua saksi.

Di lokasi ini diperagakan adegan saat tersangka Agus berpisah dengan korban yang sudah ditunggu oleh dua teman korban.

Korban berjumlah 15 orang

Berdasarkan informasi dari Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi NTB, jumlah korban IWAS alias Agus telah mencapai 15 orang.

Sebanyak empat korban dugaan pelecehan seksual Agus mengajukan permintaan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, ada dua orang pendamping korban yang meminta perlindungan ke LPSK lantaran mengalami tekanan psikologis.

“Ada empat orang korban yang mengajukan permohonan, kemudian dua orang pendamping karena mendapatkan tekanan psikologis. Seolah-olah kejadian itu tidak terjadi, padahal korban menyatakan itu terjadi,” kata Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati di Kantor LPSK, Jakarta, Rabu (11/12).

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sri menilai pengusutan kasus ini terkesan lambat karena aparat penegak hukum tidak menjadikan kesaksian korban sebagai landasan utama membongkar kasus.

Padahal, menurutnya, ketentuan untuk menggunakan kesaksian korban sebagai landasan utama mengusut kasus pelecehan seksual telah diatur dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual.

“Hambatannya adalah karena keterangan korban belum menjadi basis utama. Sementara Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual meletakkan keterangan korban,” katanya.

Status tersangka

Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi menetapkan terduga pelaku I Wayan Agus Suartama sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap tiga korban pada Senin (02/12).

Kepala Subdirektorat Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, menyebut penetapan status tersangka itu sudah melalui tahapan yang cukup panjang dan telah sesuai prosedur yang berlaku.

Yakni merujuk pada dua alat bukti dan keterangan lima saksi termasuk dua saksi ahli.

Dua alat bukti yang disebut itu di antaranya pakaian korban dan hasil visum korban berinsial MA.

Kemudian keterangan saksi antara lain AA yang merupakan teman korban, IWK adalah pria penjaga penginapan, serta JBI yang merupakan saksi sekaligus korban peristiwa yang sama.

Ada pula saksi LA, perempuan yang juga hampir mengalami kejadian serupa dan Y seorang pria rekan korban.

Tersangka dijerat Pasal 6 (c) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman 12 tahun penjara atau denda Rp300 juta.

Pasal itu menyebutkan ancaman pidana ini berlaku bagi pelaku yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawaan untuk memaksa atau menyesatkan seseorang melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.

Dalam perkembangan terbaru, bekas penyidikan kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi NTB untuk diteliti kelengkapan formil dan material.

Di berkas itu, ada dua korban yang sudah memberikan keterangan.

Sembari menunggu hasil penelitian jaksa, penyidik kepolisian memperpanjang masa penahanan tersangka dalam status tahanan rumah dalam jangka waktu 40 hari ke depan terhitung sejak Selasa (02/12).

Dalam perkembangan terbaru jumlah korban pelaku terus bertambah, namun yang telah melapor ke Polda NTB hingga Kamis (05/12) berjumlah delapan orang.

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Dalam perkembangan terbaru jumlah korban pelaku terus bertambah, namun yang telah melapor ke Polda NTB hingga Kamis (05/12) berjumlah delapan orang.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Komisaris Besar Polisi Syarif Hidayat, mengatakan bahwa pihaknya belum ada rencana menempatkan IWAS alias Agus menjadi tahanan rutan. Pria difabel itu masih dalam status tahanan rumah.

“Sebenarnya penetapan tahanan rumah ini merupakan bagian dari perhatian kami terhadap hak tersangka karena secara fasilitas tahanan untuk penyandang disabilitas itu kami belum memenuhi, makanya status tahanan rumahnya sudah kami perpanjang dalam masa 40 hari,” ucap Syarif kepada kantor berita Antara.

“Saat ini, fokus kami terkait berkas perkara yang sudah kami limpahkan ke jaksa peneliti, memang ada dua [korban tambahan] yang sudah kami mintai BAI [berita acara investigasi]. Salah satunya memang ada anak. Tetapi, fokus kami dalam pemeriksaan laporan pertama ini ada lima [korban], termasuk korban itu sendiri [pelapor],” kata Syarif.

Baca juga:

Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Agus sempat menimbulkan keraguan di masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan hal itu disebabkan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai “kacamata nondisabilitas”.

Padahal kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau “anggota tubuh lainnya seperti kaki,” tegasnya.

Ketua Komisi Disabilitas (KDD) NTB, Joko Jumadi, meminta masyarakat untuk memandang disabilitas secara adil sebagai kelompok yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

“Termasuk bahwa disabilitas punya potensi, punya peluang menjadi pelaku tindak pidana, itu tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Bagaimana kasus ini terungkap?

Terungkapnya kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswi berinisial MA.

Menurut pendamping korban, Ade Latifa, peristiwa dugaan kekerasan seksual yang dialami kliennya semula dilaporkan pada teman korban.

Dari situ baru timbul keberanian untuk bicara.

“Korban merasa kalau tidak dilaporkan, pelaku terus berkeliaran dan dia merasa tidak aman kalau keluar rumah karena bisa saja akan ketemu pelaku,” tutur Latifa.

Latifa menceritakan peristiwa yang dialami korban MA berlangsung pada 7 Oktober lalu sekitar pukul 10:00 WITA.

Saat itu korban sedang ingin membuat konten Instagram di Taman Udayana.

Ia lalu dihampiri oleh terduga pelaku—yang tak dikenal olehnya—dan bertanya apakah dirinya seorang mahasiswi.

Korban menjawab iya dan terduga pelaku membuat klaim sebagai mahasiswa di kampus yang sama dengan korban.

Penyandang disabilitas yang menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan seksual berinisial IWAS (kiri) berjalan di Markas Polda NTB, Mataram, Senin (09/12).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Penyandang disabilitas yang menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan seksual berinisial IWAS (kiri) berjalan di Markas Polda NTB, Mataram, Senin (09/12).

Percakapan keduanya kemudian membicarakan soal keluarga dan terkait kuliah.

“Tapi korban tidak begitu fokus dan merasa tidak nyaman karena pelaku menanyakan hal yang sangat pribadi mengarah ke seksualitas,” ungkap Latifa.

“Namun tak ada rasa curiga sama sekali kalau pelaku akan melakukan hal buruk.”

Terduga pelaku, sambung Latifa, lantas mengajak korban pindah ke belakang Taman Teras dan dengan nada tegas mengancam korban agar diam.

“Seolah-olah pelaku tahu semua keburukan korban dan akan melaporkannya bahkan akan mendatangi orang tua korban.”

Ancaman itu, katanya, dilakukan secara berulang-ulang oleh terduga pelaku dan korban hanya bisa diam, sedih, dan merasa bersalah.

Setelahnya korban ditawari agar melakukan ritual “mandi suci” bersama pelaku di hotel. Tapi, korban berkali-kali menolak, ucap Latifa.

“Namun pelaku ini mengancam kalau korban tidak patuh maka hidupnya bakal hancur dan seluruh keburukan korban akan dibongkar ke orang tuanya.”

Korban, sambung Latifa, akhirnya menuruti terduga pelaku dan memboncengnya ke arah penginapan. Korban dipaksa turun dan disuruh membayar biaya kamar.

Dengan perasaan takut, korban mengikuti perintah terduga pelaku masuk ke sebuah kamar karena lagi-lagi di bawah ancaman, klaimnya.

Di situlah korban mengalami peristiwa kekerasan seksual.

“Pelaku membuka pakaian korban menggunakan kaki.”

Setelah itu, korban kembali membonceng pelaku ke Taman Udayana dan secara diam-diam mencoba menghubungi teman kuliahnya berinisial SA untuk minta dijemput di suatu lokasi.

Kepada SA, korban menceritakan semua kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.

Para korban memiliki kesamaan situasi ‘rentan’

Latifa mengatakan keberanian korban MA melaporkan kasusnya, rupanya memunculkan keberanian korban-korban lain untuk bersuara.

Hingga saat ini, total ada 13 korban yang mengadu ke lembaganya. Dari belasan itu, sepuluh korban berusia dewasa dan tiga lainnya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Modus yang diperbuat terduga pelaku terhadap para korban, klaimnya, relatif sama.

“Korban biasanya duduk sendiri, dihampiri pelaku, diajak berkenalan, dan diambil simpatinya dengan cerita-cerita sedih sambil menunjukkan video-video dia yang bisa bermain alat musik dan lain-lain.”

Aktivis perempuan menggelar aksi demonstrasi untuk melawan kekerasan seksual.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aktivis perempuan menggelar aksi demonstrasi untuk melawan kekerasan seksual.

“Sehingga korban simpati ke pelaku dan korban tidak curiga kalau pelaku akan berbuat macam-macam.”

“Baru setelah itu pelaku mulai mengulik kehidupan pribadi korban sampai akhirnya itu dijadikan ancaman untuk korban.”

Terduga pelaku, klaimnya, juga mengajak para korban untuk melakukan ritual “mandi suci” dengan dalih untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu mereka.

Latifa menuturkan kesamaan para korban ini adalah mereka berada dalam situasi rentan.

Misalnya, dalam kondisi lelah memikirkan perkuliahan, ada juga yang sedang bermasalah dengan keluarga.

Belasan korban itu bahkan mengalami beragam bentuk kekerasan seksual mulai dari pelecehan seksual fisik hingga pemerkosaan.

Baca juga:

“Tapi ada juga korban yang tak sampai di bawa ke penginapan, tapi dia diikuti sampai ke indekosnya dan sempat terjadi upaya pelecehan oleh pelaku.”

Dan meskipun terduga pelaku memiliki keterbatasan fisik, dia bisa mendorong korban dengan tubuhnya.

“Meskipun tidak punya tangan, tapi cukup punya tenaga,” ungkap Latifa.

“Jadi pelaku sudah terbiasa dengan kondisinya, pelaku juga bukan orang yang tidak produktif, kita bisa lihat aktivitas pelaku di media sosial,” sambungnya.

Itu mengapa, kata Latifa, para korban merasa tertekan ketika publik tidak memercayai apa yang terjadi pada diri mereka.

“Untuk apa para korban berbohong seperti yang disampaikan pelaku?”

Apa pengakuan terduga pelaku?

BBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi pelaku, I Wayan Agus Suartama, dan meminta tanggapan atas tuduhan tersebut, akan tetapi yang bersangkutan menolak memberi respons.

Sebelumnya, pelaku sempat mengeklaim dirinya difitnah oleh korban MA dengan dalih keterbatasan fisik.

“Yang saya bingung bagaimana saya memerkosa? Sementara saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Jadi bagaimana saya melakukan kekerasan seksual?” kata Agus, seperti dikutip dari Tribunnews.

I Wayan Agus Suartama

Sumber gambar, Tribunnews

Keterangan gambar, Pelaku sempat mengeklaim dirinya difitnah oleh korban MA dengan dalih keterbatasan fisik.

Terpisah, Ketua Komisi Disabilitas (KDD) Nusa Tenggara Barat, Joko Jumadi, meminta masyarakat untuk memandang disabilitas secara adil sebagai kelompok yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

“Termasuk bahwa disabilitas punya potensi, punya peluang menjadi pelaku tindak pidana, itu tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Dalam perkara yang melibatkan pelaku, Joko hanya ingin memastikan tindakan polisi terhadap disabilitas berjalan sesuai dengan aturan yakni Undang-Undang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang Disabilitas.

“Sejauh ini KDD dilibatkan sejak awal, sejak diterimanya laporan. Kepolisian berkoordinasi dengan KDD terkait penangannannya.”

Joko menambahkan lembaganya juga telah menyediakan pendamping hukum bagi terduga pelaku.

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai "kacamata nondisabilitas".

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai “kacamata nondisabilitas”.

‘Kekerasan seksual bisa dilakukan dengan menggunakan kaki’

Kasus dugaan pelecehan seksual oleh tersangka I Wayan Agus Suartama sempat membuat ragu publik lantaran pria 21 tahun itu merupakan penyandang disabilitas tunadaksa.

Namun, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai “kacamata nondisabilitas”.

Kekerasan seksual seperti perkosaan, menurutnya, tidak sebatas adanya penetrasi penis ke vagina dan keluarnya air mani, melainkan bisa melalui anal atau oral.

Perkosaan termasuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau "anggota tubuh lainnya seperti kaki."

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Perkosaan termasuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau “anggota tubuh lainnya seperti kaki.”

“Perkosaan termasuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau “anggota tubuh lainnya seperti kaki,” jelasnya kepada BBC News Indonesia, Kamis (05/12).

“Bahkan kekerasan seksual dapat terjadi ketika pelaku memaksa korban menyaksikan video atau foto intim,” sambungnya.

“Atau ada perbuatan meraba, menyentuh, mengusap, menggosokkan bagian tubuh pada tubuh korban tanpa persetujuan korban, itu semua bisa dikatakan pelecehan seksual.”

“Dan yang terpenting dalam kekerasan seksual adalah tanpa persetujuan korban.”

Rainy kemudian menjelaskan dalam kasus kekerasan seksual yang pelakunya memiliki hambatan fisik tanpa kedua lengan, modus yang kemungkinan diperbuat adalah dengan ancaman seperti membuka “aib masa lalu” atau foto intim korban.

Baca juga:

Pelaku, klaimnya, bisa saja menjadikan aib atau foto intim tersebut sebagai alat untuk menguasai korban.

Korban pun pada akhirnya terpaksa mengikuti kemauan pelaku.

“Sehingga kalau ada hubungan seksual, maka itu terjadi tanpa persetujuannya, karena korban dalam penguasaan pelaku,” kata Rainy.

“Dalam hal inilah relasi kuasa antara pelaku penyandang disabilitas dengan korban, timpang.”

Modus lainnya adalah dengan tipu daya atau janji-janji.

Pelaku, sambungnya, dapat menggunakan tipu daya atau janji sehingga korban menuruti permintaannya untuk melakukan hubungan seksual bersifat transaksional.

Tapi sesudahnya janji itu tidak ditepati.

Baca juga:

Di sisi lain, untuk korban berani bersuara bukan hal yang gampang. Sebab korban akan merasa malu lantaran itu sama saja seperti membuka aibnya sendiri.

“Korban akan disalahkan dengan pertanyaan kenapa mau disogok dengan janji-janji?”

“Akibatnya korban diam saja. Kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan pelaku untuk mengulangi kekerasan seksual dengan ancaman membuka aib korban.”

“Intinya ada berbagai macam modus operandi pelaku untuk menjerat korban agar mengikuti kemauannya.”

“Tapi dalam hal korban adalah anak, terdapat relasi kuasa berdasarkan usia. Pelaku dengan hambatan fisik bisa merayu dan menyogok korban dengan uang, mainan, makanan, agar menuruti ajakan pelaku.”

Komnas Perempuan menyatakan meskipun pelaku merupakan penyandang disabilitas, namun penyelesaian kasusnya tidak bisa dilakukan melalui mekanisme sosial seperti ganti rugi atau cara-cara damai lainnya.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Komnas Perempuan menyatakan meskipun pelaku merupakan penyandang disabilitas, namun penyelesaian kasusnya tidak bisa dilakukan melalui mekanisme sosial seperti ganti rugi atau cara-cara damai lainnya.

Rainy juga menegaskan meskipun terduga pelaku merupakan penyandang disabilitas, namun penyelesaian kasusnya tidak bisa dilakukan melalui mekanisme sosial seperti ganti rugi atau cara-cara damai lainnya.

Penuntasan kasus tersebut tetap harus berpegang pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Kondisi terduga pelaku yang memiliki hambatan fisik, sambungnya, tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan impunitas atau memaafkan terduga pelaku.

“Sanksi pidana berlaku bagi pelaku penyandang disabilitas.”

“Meski di sisi lain pelaku berhak atas kebutuhan pendampingan khusus seturut kondisi disabilitasnya dan rehabilitasi untuk memutus keberulangan.”

Polisi harus kuatkan unsur ancaman, kekerasan, dan pemaksaan

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Josias Simon, juga bilang munculnya keraguan publik atas perkara tersebut terjadi karena keterbatasan polisi menjelaskan peristiwa ini secara rinci.

Ditambah lagi belakangan muncul kasus-kasus anggota polisi justru merakayasa kasus terhadap warga sipil.

Untuk menguatkan penyelidikan dan penyidikan, katanya, polisi harus bisa membuktikan adanya tindakan ancaman, kekerasan, dan pemaksaan yang dilakukan terduga pelaku terhadap korban.

kekerasan seksual

Sumber gambar, Getty Images

Sebab tiga unsur itu menjadi penentu ada tidaknya kekerasan seksual.

“Polisi harus kuat pembuktiannya dalam hal kekerasan, ancaman, dan pemaksaan. Itu terbukti atau tidak nanti di pengadilan?” jelasnya.

Sementara itu Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, meminta masyarakat menghormati proses hukum tanpa memberikan stigma atau asumsi yang dapat merugikan para pihak.

Ia juga bilang bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh penyandang disabilitas.

Berdasarkan data LPSK, korban MA telah mengajukan permohonan perlindungan kepada lembaga ini pada 2 Desember lalu melalui kuasa hukumnya.

Dalam permohonannya, MA meminta bantuan ahli kepada Ketua LPSK dengan alasan dirinya adalah korban dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor bernama I Wayan Agus Suartama alias Agus.

MA juga mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku atas kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukannya.

Wartawan Abdul Latif di Nusa Tenggara Barat berkontribusi untuk laporan ini.

Tinggalkan Balasan