KUBET – Pertamax oplosan jadi ‘bola liar’ yang menggerus kepercayaan konsumen – Pertamina harus uji coba terbuka agar publik percaya?

Pertamax oplosan jadi ‘bola liar’ yang menggerus kepercayaan konsumen – Pertamina harus uji coba terbuka agar publik percaya?

Pertamina, Pertamax, Pertalite, oplosan, Kejagung, tersangka, korupsi

Sumber gambar, Detik/Pradita Utama

Keterangan gambar, Petugas SPBU sedang melayani konsumen.

Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada anak usaha PT Pertamina telah menggerus kepercayaan konsumen dan publik terhadap produk perusahaan pelat merah tersebut.

Di media sosial mulai gencar ajakan untuk beralih ke produk asing, bahkan ada yang berinisiatif mengajukan gugatan class action ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan karena merasa telah ditipu.

Ini karena sebelumnya Kejaksaan Agung menyatakan salah satu modus yang dilakukan para pelaku korupsi yakni “mengoplos” impor minyak produk kilang dari yang tadinya RON 90 (setara Pertalite) menjadi menjadi RON 92 (setara Pertamax).

Meski belakangan PT Pertamina menyanggah pernyataan Kejaksaan dan menyebut tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak Pertamax. Serta mengeklaim kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92 –dan hal ini belakangan dibenarkan oleh Kejaksaan Agung.

Tapi bagaimanapun, menurut para pengamat energi dan perminyakan, kemarahan publik sudah kadung tak terbendung. Karenanya pengamat menyarankan badan pengawas seperti BPH Migas atau Lemigas untuk melakukan pembuktian secara terbuka.

“Pertamina bisa menggandeng ahli untuk menguji dengan mengambil sampling apakah benar kualitasnya sesuai. Kalau terbukti ada pengoplosan, maka harus ditarik dari peredaran. Tanpa itu, masyarakat enggak akan percaya,” ujar pengamat eneri sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi.

“Imbasnya akan terjadi migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite.”

Petugas SPBU sedang membersihkan papan penampang harga bahan bakar minyak di SPBU Pertamina.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Petugas SPBU sedang membersihkan papan penampang harga bahan bakar minyak di SPBU Pertamina.

Tiga modus korupsi yang menjerat anak usaha Pertamina

Sejumlah petinggi Pertamina terseret dalam jeratan kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang minyak antara tahun 2018-2023.

Dalam pemaparannya, Kejaksaan Agung menyebutkan setidaknya ada tiga modus yang dilakukan para tersangka.

Modus pertama, mengondisikan produk minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis yang berakibat tidak terserapnya seluruh produk kilang.

Padahal pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor.

Ketentuan itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.

Dampak dari pengondisian tersebut, menurut Kejaksaan, perlu dilakukan impor.

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, RS

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, RS, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Jakarta, Selasa (25/02).
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Modus kedua, agar impor minyak bisa dilakukan, produk minyak mentah dalam negeri dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan dalih tidak memenuhi nilai ekonomis.

Padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri.

Selain itu produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan spesifikasi kilang minyak. Padahal, minyak tersebut masih sesuai dengan spesifikasi kilang Pertamina dan masih bisa diolah dengan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

Penolakan ini lah yang dijadikan dasar untuk menjual minyak mentah produksi Indonesia ke luar negeri atau diekspor.

Sementara, PT Kilang Pertamina Internasional malah melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.

Dari kegiatan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang tersebut, Kejaksaan Agung menyebut menemukan adanya “permufakatan” antara penyelenggara negara dengan broker berupa kesepakatan harga yang sudah diatur sebelum tender dilaksanakan.

Modus ketiga, kata Kejaksaan, untuk pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan membayar produk untuk RON 92 (setara Pertamax). Padahal produk yang dibeli memiliki RON 90 (setara Pertalite) atau lebih rendah.

Produk tersebut lantas dicampur di depo untuk menjadi RON 92.

“Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/02).

“Bahasa awamnya itu macam oplosan kan.”

Oplosan yang menjadi bola liar

Narasi oplosan yang diutarakan Kejaksaan Agung rupanya langsung bikin publik meradang.

Di media sosial X, percakapan soal Pertamax menjadi trending topic yang banyak dibicarakan.

Mayoritas warganet merasa tertipu karena sudah membeli Pertamax dengan harga yang tak murah, tapi malah mendapatkan produk berbeda dengan kualitas lebih rendah.

Ajakan untuk beralih ke produk asing pun menggema, bahkan ada yang berinisiatif mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan.

Hentikan Twitter pesan

Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan

Konten tidak tersedia

Lihat lebih banyak di TwitterBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal

Pengamat energi sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi, mengatakan kemarahan publik ini tak bisa terhindarkan–apalagi karena yang menyampaikan adalah aparat penegak hukum.

Tapi, menurut Direktur Center for Energy Policy M Kholid Syeirazi, dalam proses pengolahan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang ada unsur “mencampur” senyawa kimia untuk menghasilkan spesifikasi minyak tertentu.

“Itu namanya blending dan proses tersebut legal,” ujar Kholid kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/02).

“Hanya saja blending di sini berbeda dengan oplos. Kalau oplos kesannya perbuatan curang di lapangan.”

“Tapi blending di terminal utama BBM melalui proses kimia yang saintifik, ada uji kalibrasinya oleh Lemigas.”

Lemigas merupakan salah satu lembaga pemerintah yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan menentukan standar mutu minyak dan gas bumi yang beredar di pasar nasional.

Seorang pekerja PT Pertamina mengisi truk dengan BBM di Jakarta pada 22 Agustus 2008.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang pekerja PT Pertamina mengisi truk dengan BBM di Jakarta pada 22 Agustus 2008.

Namun sebelum lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Indonesia resmi menjadi importir netto minyak sejak 2004 akibat kesenjangan produksi dan konsumsi.

Selama periode 1998-2023, konsumsi BBM rata-rata naik 2% setiap tahun. Sedangkan produksinya rata-rata turun 3% setiap tahun.

Sepanjang satu dekade antara 2003-2023, katanya, rata-rata produksi minyak hanya 734.000 barel per hari, sementara konsumsinya 1,5 juta barel per hari.

“Untuk tahun 2023, produksi minyak hanya 605.000 barel per hari dan konsumsi 1,6 juta barel per hari. Gap-nya terus melebar,” papar Kholid.

“Dari itu saja sudah pasti kita harus mengimpor karena tak ada jalan lain untuk menjamin pasokan.”

“Dan ini memang menurut saya ranjaunya banyak, rentan terjadi perburuan rente.”

Pihak yang ditugaskan mengimpor minyak mentah adalah PT Kilang Pertama Internasional yang nanti diolah untuk berbagai produk BBM dan petrokimia.

Sedangkan yang ditugaskan mengimpor produk kilang dan mendistribusikan ke seluruh SPBU yakni PT Pertamina Patra Niaga.

“Produk kilang itu yang sudah jadi seperti misalnya RON 90, RON 92, RON 95. Sudah diolah dan tinggal didistribusikan saja.”

Hanya saja, khusus produk BBM dengan oktan 90 sudah jarang diproduksi. Sehingga ketika ada kebutuhan untuk menyediakan produk yang dimandatkan, maka perusahaan harus mencampur minyak kilang yang tersedia sesuai dengan spesifikasi tertentu.

Dalam perkara ini, menurut pandangan Kholid, PT Pertamina Patra Niaga yang mengimpor RON 92 (setara Pertamax) pada akhirnya mengolah lagi sehingga menjadi RON 90 (setara Pertalite).

Proses pengolahan tersebut, sambungnya, dicampur dengan senyawa kimia untuk mengubah kadar oktannya.

“Dan itu proses kimia yang saintifik, nanti hasil blending-nya diuji betul enggak menghasilkan Oktan 90 atau Oktan 92? Itu ada uji kalibrasinya oleh Lemigas.”

Ahli konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, sependapat.

Dia menerangkan, proses mencampurkan minyak mentah atau produk kilang dengan senyawa tertentu seperti High Octane Mogas Component (HOMC) agar mendapatkan BBM yang dibutuhkan, merupakan hal yang lazim.

“Ada lagi kalau ingin naikin RON pakai octane booster, bukan HOMC, ada juga yang pakai aditif namanya.”

“Jadi enggak masalah, karena di dunia ini semua perusahaan bahan bakar seperti itu, melakukan blending, atau istilah lainnya oplos.”

Pertamina harus lakukan uji coba terbuka agar publik percaya?

Masalahnya, narasi Pertamax oplosan ini sudah kadung tak terbendung yang berimplikasi pada munculnya ketidakpercayaan di masyarakat pada produk Pertamina.

Pengamat energi sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi, menuturkan Pertamina tidak bisa hanya membuat klaim kualitas Pertamax sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92, tanpa ada pembuktian.

Pembuktian yang dimaksud, yakni menggandeng ahli di bidang perminyakan untuk melakukan pengujian.

“Kalau diuji terbukti hasil pengoplosan, harus ditarik seluruh Pertamax dan diganti dengan yang asli,” ucapnya.

Pengendara mengantri di SPBU PT Pertamina di Pangkal Pinang, Indonesia, pada Minggu, 4 September 2022.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pengendara mengantri di SPBU PT Pertamina di Pangkal Pinang, Indonesia, pada Minggu, 4 September 2022.

“Karena kalau banyak orang percaya ada Pertamax oplosan, akan terjadi migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite.”

“Ini kan jadi masalah lagi, karena Pertalite disubsidi. APBN pasti membengkak untuk membiayai subsidi tadi akibat ketidakpercayaan.”

Ahli konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, sepakat. Ia bilang Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) harus bicara dan menjelaskan duduk perkara “oplosan” ini.

Sebab BPH Migas adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM.

“Terus Lemigas yang melakukan pengujian rutin, angkat bicara dan jelaskan bahwa kami melakukan pengujian rutin untuk mengetahui kualitas dari bahan bakarnya.”

“Jangan Pertamina, kalau Pertamina yang bicara, pasti tidak dipercaya. Mana ada produsen yang mengeklaim produknya nomor dua, semua bilang nomor satu.”

Gugatan ‘class action’

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara pada 2 Februari 2025.

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara pada 2 Februari 2025.

Fadhil Alfathan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengatakan pihaknya akan membuka pos pengaduan masyarakat terkait dugaan oplosan ini.

Pos pengaduan LBH Jakarta ini dibuka dari 25 Februari 2025 sampai dengan 5 Maret 2025.

“Banyak informasi yang belum kami dapatkan, khususnya mengenai dampak konkretnya kepada masyarakat secara umum. Itu yang mau kami kumpulkan melalui pos pengaduan,” ujar Fadhil kepada BBC News Indonesia pada Rabu (26/02).

Fadhil mengatakan setelah informasi terkumpul, pihaknya baru bisa mempertimbangkan opsi-opsi advokasi seperti gugatan warga negara atau citizen lawsuit atau class action.

“Dari situ nanti kemudian baru kami bisa tentukan kira-kira opsi advokasi apa yang cocok dilakukan,” ujarnya.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Terpisah, David Tobing, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, mengatakan “sangat wajar konsumen khawatir” dengan adanya isu Pertamax oplosan ini.

Konsumen “berhak atas kualitas dari barang yang dibelinya sesuai dengan harga” sebagaimana disebutkan UU Perlindungan Konsumen, papar dia.

“Ini juga menyangkut soal keselamatan. Kalau misalnya mobil itu mogok di jalan tol terus terjadi kecelakaan, kan, susah juga. Ini ilustrasi saja,” David kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon pada Rabu (26/02).

Dari segi hak, David mengatakan setiap konsumen berhak untuk melakukan gugatan.

“Tapi dari sisi hasil [gugatan] itu ditentukan juga oleh pembuktian yang diajukan konsumen. Jadi, saran saya, sebelum menggugat, lebih baik menunggu dulu hasil investigasi internal maupun eksternal supaya tidak prematur,” imbuhnya.

David menekankan pihaknya sebagai perwakilan konsumen Indonesia mendesak Pertamina sebagai produsen Pertamax dan Pertalite “harus memberikan klarifikasi dan penjelasan yang selengkap-lengkapnya tentang hal ini”.

Dilansir Kompas.com, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) Mufti Mubarok, melalui keterangan resmi mengatakan akan memanggil direktur umum Pertamina untuk meminta klarifikasi.

David “menyambut baik” langkah BPKN sebagai lembaga negara yang bertugas untuk memberikan rekomendasi permasalahan perlindungan konsumen.

Apa kekhawatiran konsumen?

Gita, 30 tahun, mengaku “kaget dan syok” mendengar kasus dugaan korupsi terkait Pertamina yang salah satunya melibatkan dugaan praktik oplosan Pertamax.

Perempuan yang tinggal di Bali itu merasa dirugikan. Apalagi menurutnya perbedaan harga antara Pertamax dan BBM bersubsidi yang lebih murah, Pertalite, cukup jauh.

“Kalau ternyata beli [Pertamax] selama ini tapi dapatnya kualitas Pertalite… yang pasti itu menyebalkan,” ujar Gita ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Rabu (26/02).

Sebelum pindah ke Bali pada tahun 2022, Gita mengaku sering bolak-balik menyetir kendaraan Jakarta-Bandung untuk mengunjungi orang tuanya.

Ibu satu orang anak itu mengeklaim mobilnya lebih sering mengalami kerusakan ketika menggunakan Pertamax. Pada saat itu, dia menduga kendaraannya yang bermasalah.

Setelah berkali-kali ke bengkel, Gita menyebut tidak ada masalah signifikan dalam mesin mobilnya. Seorang temannya kemudian menyarankan Gita untuk menggunakan BBM produk lain.

“Setelah menggunakan [BBM dari SPBU asing] memang jadi lebih awet mobilnya. Sebagai orang yang sering menyetir, terasa sekali bedanya. Apalagi ketika kita ganti gigi,” ujar Gita yang menyetir mobil manual.

Akan tetapi, pada akhirnya, Gita mengaku tidak bisa terus-terusan menggunakan produk BBM merek asing karena perbedaan harga per liter yang cukup signifikan.

Selain itu, jumlah SPBU asing di Jakarta pun tidak banyak. Apalagi ketika dia menempuh rute tol Jakarta-Bandung yang didominasi SPBU Pertamina.

“Beda harganya sekitar Rp1.000-Rp2.000 per liter. Lumayan jauh. Sekali isi Pertamax totalnya bisa sekitar Rp250.000 sementara kalau pakai merek asing bisa Rp350.000,” ujarnya.

Baca juga:

Sekitar tahun 2020-2021, pandemi Covid-19 membuat Gita jarang bepergian sehingga dia merasa tetap berhemat meski membeli Pertamax.

Namun, setelah pindah ke Bali dan sekarang mendengar kasus oplosan BBM ini, dia mengaku kesal.

“Di Bali tidak ada SPBU selain Pertamina. Saya sebenarnya sudah tidak percaya lagi dengan apa pun yang ada di Indonesia […] tapi sekarang apa boleh buat? Sekarang saya cuma bisa pilih-pilih SPBU Pertamina saja. Kalau plang-nya masih terlihat baru, maka saya akan isi bensin di sana,” tutur Gita.

Gita mendukung apabila ada upaya dari para konsumen untuk menuntut pemerintah. Di sisi lain, dia berharap adanya penangkapan tersangka kasus korupsi ini bisa membuat BBM di Indonesia lebih dibenahi.

Walaupun, lagi-lagi, dia mengaku “tidak akan bisa yakin 100% lagi”.

Foto SPBU non-Pertamina di Jakarta

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sebagian konsumen mengeklaim produk SPBU non-Pertamina lebih baik bagi performa mesin kendaraan mereka.

Berbeda dengan Gita, Yudis Pratama, 38 tahun, warga Jakarta Selatan, mengatakan tidak akan melakukan gugatan meski merasa dirugikan.

“Yang penting sekarang saya sudah stop pakai [produk BBM] Pertamina,” ujar Yudis ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Rabu (26/02).

Selama 10 tahun terakhir, Yudis mengaku menggunakan Pertamax untuk motornya yang dikendarainya pergi-pulang kantor.

Walaupun motornya itu keluaran 2015, Yudis memilih BBM RON 92 untuk menjaga performa mesin.

“Motor tua, tapi kali pakai Pertalite atau Premium memang beda performanya,” ujar Yudis.

Baca juga:

Sama seperti Gita, Yudis juga merasa kecewa mendengar dugaan oplosan Pertamax seperti yang diutarakan pihak Kejaksaan Agung.

“Kita mengeluarkan uang lebih, berharapnya sesuai dengan spesifikasi yang diklaim sama Pertamina,” imbunya.

Walaupun pihak Pertamina sudah memberikan klarifikasi bahwa Pertamax (RON 92) yang selama ini beredar tetap sesuai spesifikasi, Yudis mengaku sulit untuk percaya.

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara, Minggu (02/02).

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara.

Yudis menyebut SPBU-SPBU merek asing tidak ada yang buka 24 jam sehingga pada praktiknya dia memang lebih sering menggunakan Pertamax.

Namun, dengan adanya dugaan oplosan ini, Yudis semakin mantap untuk beralih sepenuhnya ke produk SPBU merek asing walaupun aksesnya lebih susah.

“Walaupun Pertamina mengeklaim produk mereka tidak ada oplosan, tapi secara performa motor memang terasa sekali bedanya antara Pertamax dan Shell. Walaupun secara RON sama-sama 92, tapi kan itu klaimnya, di belakangnya, kita enggak tahu,” ujarnya.

Pendapat serupa bermunculan di media sosial. Sejumlah warganet merasa dirugikan serta tidak percaya pada produk Pertamina. Beberapa bertanya apakah Pertamina bisa dimintai pertanggungjawaban?

Langkah apa saja yang bisa ditempuh konsumen yang merasa dirugikan?

David Tobing, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, menjelaskan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan konsumen untuk mengajukan komplain sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pertama, menurut dia, konsumen dapat mengajukan komplain secara langsung terhadap pelaku usaha, dalam hal ini Pertamina.

“Misalnya ada beberapa kasus [dimana] pelaku usaha pengisian bahan bakar melakukan kesalahan dalam pengukuran sehingga merugikan konsumen. Ini sudah ditindak Pertamina,” ujar David.

Untuk kasus yang menimbulkan kerugian besar dan melibatkan konsumen dalam jumlah banyak, maka konsumen bisa mengajukan gugatan legal standing.

Legal standing itu dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang terdaftar di pemerintah. Seperti kami KKI [Komunitas Konsumen Indonesia], bisa mengajukan legal standing,” ujarnya.

Selain melalui LSM perlindungan konsumen, konsumen juga bisa melakukan class action.

“Beberapa konsumen yang merasa dirugikan dan mempunyai pengalaman yang sama bisa mengajukan class action,” ujarnya.

Baca juga:

Akan tetapi, David mengingatkan perlu pembuktian lebih lanjut apakah dugaan oplosan BBM seperti yang disebut Kejaksaan Agung memang terjadi secara masif dan menimbulkan kerugian masyarakat dalam jumlah besar.

Selain itu, prosedur gugatan di Indonesia “sangat panjang dan biayanya mahal”.

“Inilah yang menjadi kendala konsumen ketika dia mengalami kerugian,” ujar David.

“Menurut hemat kami lebih baik menunggu dulu penjelasan dari Pertamina, menunggu dulu investigasi dari pihak-pihak berwenang supaya nanti tidak prematur kalau mengajukan gugatan.”

Apa kata Pertamina?

Sejauh ini, Heppy Wulansari yang menjabat Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, menyatakan kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.

“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, Selasa (25/02).

Heppy melanjutkan, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.

“Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.

Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” tutur Heppy.

Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.

VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menambahkan Pertamina senantiasa berkomitmen untuk menjaga kualitas mutu BBM yang didistribusikan ke masyarakat.

“Masyarakat tidak perlu khawatir, produk Pertamina yang dijual telah melalui rangkaian uji untuk memastikan dalam kualitas prima” jelas Fadjar.

ESDM: Kami akan lakukan pengecekan di lapangan

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bakal memperketat pengawasan di lapangan menyusul isu pengoplosan BBM jenis Pertamax.

Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, berkata pengawasan akan dilakukan oleh BPH Migas dan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.

“Kami akan mengecek dari sisi laporan pelaksanaan dan juga melihat bagaimana kondisi fisik di lapangan,” ujar Yuliot usai Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR, Rabu (26/02).

Ia juga bilang, akan menyiapkan Langkah antisipasi untuk mencegah praktik kecurangan dalam distribusi BBM. Adapun proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi di Pertamina akan tetap berjalan.

Tinggalkan Balasan