Kisah anak-anak penghayat kepercayaan yang mengalami perundungan di sekolah

Sumber gambar, AFP
Kendati Mahkamah Konstitusi telah menyatakan penghayat kepercayaan wajib mendapatkan hak sosial dan politik yang sama dengan penganut agama lainnya, sebuah riset menyebut anak-anak mereka rentan menjadi target perundungan di sekolah. Pelakunya beragam, mulai dari teman sebaya hingga guru.
Widi susah payah mengisahkan perundungan yang dialaminya di sekolah. Suaranya tercekat malah kadang tak keluar. Pelajar kelas 7 SMP itu hanya sanggup menjawab pertanyaan dengan anggukan atau gelengan kepala. Sesekali ia menyeka air mata yang jatuh ke pipi dengan punggung tangannya.
Setelah menatap ibunya, remaja 13 tahun itu seolah mendapat kekuatan untuk membeberkan perundungan yang dialaminya karena agama yang dianutnya. Pelakunya tidak hanya teman sekolah, tapi juga guru.
“Waktu itu pas kelas 5 SD, lagi belajar, tiba-tiba ikat rambut Widi lepas. Kata guru, makanya harus pakai kerudung, biar rapi, biar cantik,” tutur Widi saat ditemui wartawan Yuli Saputra di rumahnya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (16/02).
Widi mengenyam pendidikan di sekolah negeri dekat rumahnya. Menurut Ade, ibu Widi, ada kewajiban bagi siswi beragama Islam mengenakan kerudung. Aturan itu menjadikan Widi sebagai satu-satunya siswi yang tidak mengenakan kerudung di kelasnya.
Kegiatan keagamaan di sekolah juga kerap memicu perundungan terhadap Widi. Salah satunya, pesantren kilat yang wajib diikuti pelajar beragama Islam.
Menurut Widi, dirinya pernah bertanya kepada guru apakah tetap masuk ke sekolah saat pesantren kilat diadakan. Sang guru, kata Widi, memberi kebebasan untuk masuk ke sekolah atau tidak.
“Tapi kemudian, guru itu berkata: ‘Kalau lebih seru mah pindah saja agama ke Islam’,” papar Widi kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Saat memasuki jenjang sekolah menengah pertama, Widi berharap situasi akan berubah. Nyatanya, Widi kembali mengalami perundungan sekitar akhir tahun 2024 lalu.
“Waktu itu ada teman menyebut nama bapak Widi, terus nyuruh salat. Manggilnya pakai nama bapak Widi.”
‘Sakit hati,” ucap Widi dengan suara tercekat.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Amel, kakak Widi, mengalami perundungan lebih panjang.
Siswi SMK kelas 11 ini menerima perlakuan intoleran dari guru dan teman sekolah di setiap jenjang pendidikan yang dilalui. Jenis perundungannya tidak jauh beda dengan yang dialami Widi. Seperti sindiran karena tidak memakai kerudung hingga disebut kafir.
“Jadi teman Amel pada bilang. ‘Si Amel mah loba dosana [banyak dosanya], soalnya kan kelihatan rambut’,” ungkap Amel.
Tak cuma dirundung, Amel mengaku dipersulit dalam akademik, khususnya pada mata pelajaran agama. Peringkat Amel pernah melorot dari peringkat 2 ke 32 lantaran nilai pelajaran agama kosong. Padahal Amel sudah menyetor nilai pelajaran agama dari penyuluh, sebutan untuk guru pelajaran agama kepercayaan.
” Padahal sudah setor nilai dari penyuluh Amel, tapi harus komplain dulu. Pas sudah dimasukin [nilainya] langsung naik lagi ke ranking 2,” sebut remaja putri 17 tahun ini.
Ade, ibunda Amel dan Widi, mengaku selalu menuliskan kepercayaan yang dianut anak-anak dan keluarganya saat mendaftarkan mereka ke sekolah. Ia juga menyampaikan ke pihak sekolah perihal pelajaran agama yang akan diikuti anak-anaknya secara terpisah.
Sejak keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan penghayat kepercayaan wajib mendapatkan hak sosial dan politik yang sama dengan penganut agama lainnya, Ade dan komunitas penghayat bisa mencantumkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di kolom agama—baik di KTP maupun di Kartu Keluarga.
Berkat putusan MK itu pula, anak-anak penghayat bisa mendapatkan pelajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebelumnya, Amel dan Widi terpaksa mengikuti mata pelajaran agama Islam di sekolah.

Sumber gambar, AFP
Kendati demikian, putusan MK tersebut tidak membuat kedua anak Ade lepas dari perundungan. Ade mengaku sakit hati kala menyambut pulang kedua anaknya dalam keadaan menangis.
“Yang terpikir, kenapa sih orang itu? Orang yang lebih mengerti kayak guru gitu. Kan diajarkan tentang perbedaan agama, enggak boleh dibeda-bedakan. Tapi kenapa sih [mereka] kayak enggak tahu,” keluh Ade.
Ade pernah mendatangi sekolah didampingi penyuluh dan pengurus Puan Hayati—komunitas perempuan penghayat—untuk memprotes perlakuan guru terhadap anaknya. Si guru sempat meminta maaf. Namun, kedua anaknya kembali mendapat perundungan saat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ade merasa negara ini belum aman bagi kelompoknya.
“Takutnya ya sama orang-orang yang menganggap kami itu agama sesat, klenik lah,” ungkap Ade.
Anak Penghayat Kepercayaan jadi target perundungan
Sebagai kelompok minoritas, anak-anak penganut kepercayaan rentan menjadi sasaran perundungan, menurut riset Rela Susanti, peneliti dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
“Saya mencoba mengumpulkan anak-anak sekitar 27 [penghayat kepercayaan]. Jenjangnya dari kelas 6 SD sampai kelas 10 SMA. Nah setelah aku wawancara lebih dalam, ternyata memang dari 27 anak itu hampir 80% hingga 90% pernah mengalami perundungan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang ringan sedang, parah. Salah satu yang parah itu Widi dan Amel,” ungkap Rela yang juga seorang penghayat kepercayaan.

Sumber gambar, Rela Susanti
Bentuk perundungan yang dialami responden, menurut Rela, berupa pengucilan, sindiran, hingga kekerasan fisik.
Rela menambahkan, lokasi perundungan kebanyakan terjadi di sekolah dan rentan dialami siswa kelas 6 SD atau 3 SMP yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Pelakunya beragam, mulai dari teman sebaya hingga guru.
“Kan ironis. Guru itu justru harusnya yang melindungi murid di sekolah, tapi ini menjadi pelakunya. Ini yang agak sulit untuk penanganannya karena kita menitipkan ke orang yang salah ternyata,” sesal Rela.
Menurut Rela, anak-anak penghayat kepercayaan menjadi target perundungan karena kurangnya pemahaman pihak sekolah tentang keberadaan dan hak penganut kepercayaan.
Sering kali siswa penghayat tidak difasilitasi pendidikan kepercayaan oleh sekolah akibat rendahnya literasi mengenai hak penghayat kepercayaan. Padahal, kata Rela, pemerintah telah menerbitkan Permendikbud Nomor 27 tahun 2017 yang mengatur tentang pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Padahal kan sebetulnya, sejak dikeluarkan Permendikbud nomor 27 tahun 2017 itu kan siswa didik penghayat itu sudah bisa menerima mata pelajaran pendidikan atau ajaran kepercayaan di sekolah dan mereka diampu oleh yang disebutnya sebagai penyuluh,” jelas Rela.

Sumber gambar, AFP
Minimnya pemahaman keberagaman di sekolah yang disertai stigma musyrik, sirik, dan klenik terhadap penghayat kepercayaan semakin memicu perundungan.
Stigma itu, kata Rela, digiring oleh media informasi, seperti film atau sinetron yang menggambarkan sosok dukun atau tokoh jahat memakai baju tradisional, iket, dan bakar kemenyan.
“Stigma ini yang menempel di masyarakat. Ketika melihat seseorang yang bakar kemenyan, menyajikan sesajian, memakai baju tradisional, akan selalu men-judge ‘oh ini mah yang jahat di film juga’,” ucap Rela.
Faktor guru dan mayoritas
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengungkap bahwa guru memang kerap menjadi aktor dalam kasus perundungan di lembaga pendidikan—berdasarkan hasil riset Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
“Tapi tidak pernah dilakukan tindak lanjut atau pembinaan terhadap guru-guru kita, termasuk banyak guru-guru yang punya cara pandang yang intoleran,” sebut Ubaid, Kamis (20/2).
Menurut Ubaid, ada tiga faktor yang menyebabkan perundungan terhadap kelompok minoritas terus terjadi.
Pertama, cara pandang yang bermasalah. Ubaid menjelaskan, cara pandang di kalangan guru dan peserta didik masih banyak yang menganggap mayoritas bisa berbuat semena-mena terhadap minoritas.
Kedua, sistem atau peraturan yang berasal dari cara pandang yang intoleran. Alhasil, lanjut Ubaid, lahirlah peraturan yang memicu perundungan atau diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Sumber gambar, Ubaid Matraji
“Seringkali peraturan sekolah berangkat dari cara pandang mayoritanisme. Misalnya, di sebuah sekolah setiap pagi harus menggunakan atribut agama tertentu atau selalu membaca doa dengan doa salah satu agama mayoritas. Tapi tidak pernah diberikan doa bersama dengan kelompok minoritas lain.
“Jadi kelompok minoritas ini keberadaannya tidak dianggap, tidak dihitung, tidak menjadi bagian dari sekolah. Berangkat dari cara pandang maka muncul peraturan, tata tertib yang mendiskriminasi sehingga kejadiannya terus terjadi dan berulang-ulang,” papar Ubaid.
Faktor ketiga adalah pola dan tren. Ubaid menjelaskan, perlakuan diskriminasi terhadap kelompok minoritas terjadi tidak hanya di satu sekolah, tapi juga sekolah di daerah lain. Polanya kelompok mayoritas berbuat semena-mena terhadap minoritas.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tagor Naipospos, menilai Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah alpa dalam menyosialisasikan penghayat kepercayaan ke sekolah-sekolah. Tindakan serupa juga dilakukan pemerintah daerah yang berwenang mengurus sekolah dasar dan menengah.
Dalam hal kurikulum, Bonar mengatakan, pendidikan kewarganegaraan harus saling mengisi dengan pendidikan agama sehingga siswa terbangun rasa patriotisme dan nasionalisme yang diiringi tumbuhnya nilai-nilai agama.
Selain itu, Bonar berpandangan, perlu dirancang pelajaran yang memaparkan agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Sejak dini, kata Bonar, siswa diajarkan untuk memahami eksistensi agama dan kepercayaan di sekitarnya.
“Jadi sejak dini, anak-anak sudah diajari tentang keberagaman, kemajemukan, dan saling respek. Ini yang tidak jalan. Jadi pendidikan agama terkotak-kotak, parsial, tidak punya narasi besar tentang agama dan kepercayaan di Indonesia,” kata Bonar.
Trauma berkepanjangan
Kembali ke Amel dan Widi, dua anak penghayat kepercayaan.
Ade melihat ada perubahan perilaku pada dua putrinya tersebut. Mereka terlihat murung, percaya diri menurun, dan kurang bersemangat pergi sekolah. Amel bahkan sempat mogok sekolah. Situasi ini membuat Ade khawatir akan masa depan anaknya kelak.
“Kadang-kadang ragu, takutnya masih ada yang menyudutkan anak-anak. Khawatir juga terus terang sama masa depan anak-anak,” ujar Ade.
Amel mengakui kepercayaan dirinya menurun akibat perundungan yang menderanya.
“Setiap ketemu orang baru atau kerumunan baru tuh takut aja. Takut dilabeli kafir,” ucap Amel.

Sumber gambar, Getty Images
Perundungan juga memberikan pengalaman traumatik bagi Widi. Hal yang paling meyakitkan baginya ketika disuruh salat dan dibujuk keluar dari keyakinannya.
“Jadi trauma. Takut ada yang bully lagi (kalau ketemu orang),” ucapnya.
Dari riset yang dilakukan, Rela Susanti menemukan tanda-tanda trauma pada responden yang mengalami perundungan. Seperti mengurung diri, kurang percaya diri, malas atau bahkan mogok sekolah. Perundungan dalam waktu lama, imbuh Rela, juga menyebabkan trauma berkepanjangan. Rela melihat kondisi itu terjadi pada Amel.
Rela mengkhawatirkan Amel dan korban perundungan lainnya mengalami penurunan nilai akademik.
‘Ini berdampak pada prestasi akademik juga, kalau dia tidak merasa nyaman belajar di sekolah. Jadi prestasi akademik menurun. Ini yang saya takutkan,” kata Rela.
Dokter Spesialis Kejiwaan, Cokorda Bagus Jaya Lesmana, menyebutkan perundungan terkait agama atau kepercayaan memberikan dampak yang lebih massif ketimbang perundungan dalam hal lain.
Guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini menjelaskan, keyakinan adalah suatu yang esensial atau dasar. Tidak hanya sekadar nilai identitas, tapi juga memberikan konsep kelompok.
“Perundungan biasa mungkin hanya yang dirasakan dirinya sendiri, tapi ketka perundungan terkait dengan keyakinan, itu menyangkut memori paling dasar dari seseorang. Keyakinan itu yang paling pertama diyakini dan direkam oleh seseorang. Misalkan di Islam, bayi baru lahir sudah dibisikkan adzan. Kalau di agama lain, mungkin dari sejak dalam kandungan, seperti kami di Bali,” tutur Jaya, nama panggilan pria yang bergelar profesor ini.

Sumber gambar, Cokorda Bagus Jaya Lesmana
Dalam diri korban perundungan, lanjut Jaya, akan muncul konflik mengenai keyakinan yang dianutnya.
Korban akan mempertanyakan, apakah keyakinannya yang salah atau orang lain yang bermasalah. Ketika konflik itu muncul dan korban tidak mendapatkan perlindungan, korban akan menyalahkan diri sendiri dan menilai orang di luar itu yang benar.
“Itu terjadi konflik yang luar biasa, seolah-olah korban tidak memiliki identitas pada dirinya. Itu akan mereka rekam dan dibawa sepanjang hidupnya. Bahkan mungkin, mereka berpikir saya bukan bagian dari masyarakat sini. Kalau [pikiran] tersebut sudah muncul, itu sanksi sosial paling berat sebenarnya buat kita sebagai makhluk sosial, ketika kita merasa bukan bagian dari kelompok kita sendiri,” urai Jaya.

Sumber gambar, Getty Images
Lebih jauh, Jaya menambahkan, terdapat dua dampak psikis yang dialami korban perundungan terkait keyakinan yang dianutnya, yaitu dampak segera dan jangka panjang.
Dampak segera, kata Jaya, korban merasa terintimidasi, terlepas dari kelompoknya sehingga memicu perasaan cemas, sedih, marah, dan emosi lainnya. Sedangkan dampak jangka panjang, korban bisa mengalami gangguan kejiwaan, mulai dari gangguan cemas, depresi, hingga psikotrauma yang dapat berujung pada gangguan kompleks pascatrauma.
Bahkan, lanjut Jaya, bisa mengakibatkan terjadinya perubahan kepribadian seseorang, jika korban mengalaminya sejak masa kanak-kanak.
“Tidak jarang juga bisa mengakibatkan kondisi yang lebih fatal, yaitu munculnya keinginan bunuh diri sampai melakukan tindakan tersebut. Itu seperti menanam bom waktu istilahnya. Kita tidak tahu kapan akan meledaknya,” paparnya.
Tidak mudah menyembuhkan trauma psikis akibat perundungan keyakinan tersebut, kata Jaya. Korban harus menjalani terapi individu, lanjut Jaya, dengan melakukan reframing memori korban atau mengubah cara berpikir atau sudut pandang terhadap suatu peristiwa, situasi, atau pengalaman.
‘Negara harus terlibat’
Menurut Jaya, dibutuhkan keterlibatan negara dalam memberikan perlindungan kepada semua elemen masyarakat.
“Negara harus turut serta ambil bagian dalam hal ini. Untuk menunjukkan bahwa mereka adalah warga negara yang perlu mendapatkan perlindungan. Kalau negara tidak hadir, maka apapun yang kita lakukan percuma,” tegas Jaya.

Sumber gambar, AFP
Keterlibatan negara, menurut Rela Susanti, bisa dimulai dengan merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003—meski sebetulnya pemerintah telah menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
“Regulasi mengenai pendidikan inklusif itu belum setingkat undang-undang. Kami lagi mendorong agar masuk dalam undang-undang. Saat ini kan lagi direvisi Undang-Undang Sisdiknas ini,” ungkap Rela.
Rela berpandangan, revisi UU Sisdiknas perlu dilakukan. Pasalnya, undang-undang tersebut tidak mencantumkan nomenklatur “kepercayaan”, tapi hanya mencantumkan agama. Menurutnya, nomenklatur kepercayaan harus selalu disandingkan dengan agama, seperti dalam Putusan MK dan UUD 1945.
“Jadi sepanjang nomenklatur kepercayaan itu belum tercantum, artinya hak penghayat untuk pendidikan masih belum diakomodir. Dan kalau revisi Undang-Undang Sisdiknas ini sampai disahkan tanpa mencantumkan nomenklatur kepercayaan, artinya hak pendidikan penghayat hapus karena permendiknas otomatis hilang,” ujar Rela.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti telah dimintai tanggapannya mengenai isu ini. Namun, hingga berita ini ditulis, dia belum memberikan respons.
Wartawan Yuli Saputra di Bandung berkontribusi dalam artikel ini.