Malcolm X: Kisah pembunuhan pejuang Muslim kulit hitam yang mengguncang AS

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Greg McKevitt
- Peranan, BBC Culture
Pemimpin nasionalis kulit hitam AS, Malcolm X, dibunuh 21 Februari 1965 silam, saat usianya 39 tahun. BBC melaporkan reaksi dari rumah adopsinya di Harlem, New York, saat ribuan orang mengantre memberikan penghormatan terakhir.
Pada saat para pemimpin hak-hak sipil kulit hitam mengumandangkan integrasi damai, Malcolm X justru punya visi yang tidak kenal kompromi tentang separatisme kulit hitam. Visi ini telah menginspirasi banyak orang, sekaligus meresahkan bagi sebagian lainnya.
Dia dibunuh pada Februari 1965, dan seorang reporter Panorama BBC, Michael Charlton, menyatakan pada saat pemakamannya “(dia) menyampaikan pesan penuh amarah, sejelas dan sedingin pagi di musim dingin saat mereka menguburkannya”.
Di tengah pengamanan yang ketat, ribuan orang yang mengiringi jenazahnya digeledah polisi sebagai langkah antisipasi terhadap pengeboman.
“Kepada orang-orang ini, dia menyerukan bahwa jika orang kulit putih tidak menjawab rasa frustrasi orang kulit hitam, maka dia harus menjawab kemarahannya,” tambah Charlton.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Dia terkenal secara internasional karena retorikanya yang membakar, namun dia telah mengembangkan pandangan dunia baru yang lebih moderat.

Sumber gambar, Getty Images
Ketika ditanya apa arti kematian Malcolm X? Seorang pria yang sedang mengantre di sana berkata: “Ini merupakan pukulan bagi setiap orang kulit hitam di Amerika Serikat.”
Seorang pria muda menggambarkannya sebagai pahlawan, dengan mengatakan: “Dia menonjol di antara semua orang kulit hitam. Dia menunjukkan kepada orang kulit putih di mana harus berdiri.”
Orang yang diwawancarai ini adalah satu dari beberapa orang yang khawatir akan terjadi lebih banyak kekerasan. “Siapapun pelakunya, Muslim atau siapa pun, akan ada banyak orang yang terluka,” ia memprediksi.
Seorang wanita muda berkata: “Saya tidak percaya. Mengapa mereka membunuh orang kulit hitam lainnya?”
Seorang wanita lain tidak ragu siapa yang bertanggung jawab:
“Struktur kekuasaan kulit putih di Amerika berada di belakangnya. Mereka dengan cepat memanfaatkan insiden ini dengan mengatakan salah satu dari kaumnya sendiri yang melakukannya. Mereka membiarkan hal itu terjadi. Mereka tahu akan mendapat lebih banyak keuntungan dengan menyingkirkan Malcolm X daripada membiarkannya hidup.”

Sumber gambar, Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Malcolm X ditembak mati di atas panggung, di sebuah aula di New York, saat ia bersiap menyampaikan pidato kepada Organisasi Persatuan Afro-Amerika. Istri dan anak-anaknya berada di antara para hadirin.
Tiga orang yang dihukum atas pembunuhan adalah anggota Nation of Islam, sebuah badan politik dan agama yang setahun sebelumnya ditinggalkan Malcolm X.
Salah satu dari mereka tertangkap ketika mencoba melarikan diri, dan mengakui terlibat pembunuhan itu. Dua orang lainnya dihukum, tapi memicu tuduhan kesalahan peradilan yang membuat proses hukumnya memakan waktu lama.
Pada 2021, hakim negara bagian New York setuju, dan hukuman mereka dibatalkan. Kedua orang itu kemudian dibebaskan sepenuhnya. Jaksa agung New York menemukan jaksa penuntut telah menyembunyikan bukti yang, kemungkinan besar, akan membebaskan mereka dari kesalahan atas pembunuhan itu.
Masih menjadi tokoh kontroversial 60 tahun setelah kematiannya, Malcolm X tetap menjadi simbol utama kemarahan dan perlawanan dalam menghadapi penindasan.

Sumber gambar, Getty Images
Lahir dengan nama lengkap Malcolm Little pada 1925 di Omaha, Nebraska, ia adalah putra seorang pendeta Baptis.
Ketika Malcolm berusia enam tahun, ayahnya diyakini banyak orang tewas dalam serangan rasis yang disengaja para supremasi kulit putih, meskipun tidak ada yang tahu pasti apakah itu benar.
Kematian ini telah membuat ibunya mengalami gangguan mental, dan Malcolm serta ketujuh saudaranya dikirim ke panti asuhan.
Dia berjibaku ke dalam kehidupan kriminal, dan pada 1946, dia dipenjara karena kasus pencurian.
Selama di penjara, dia menemukan kecintaannya untuk belajar dan mengembangkan diri. Di sana, dia bertemu dengan ide-ide Nation of Islam, sebuah badan politik dan agama yang berpendapat bahwa kesetaraan orang kulit hitam Amerika hanya dapat dicapai dengan pemisahan negara antara orang kulit hitam dan kulit putih.
Setelah dibebaskan dari penjara pada 1952, dia secara resmi mengubah namanya menjadi Malcolm X. Ini merupakan penolakan tegas terhadap nama pemberian keluarga dari orang-orang yang, beberapa generasi sebelumnya, telah memperbudak mereka.
Baca Juga:
Dia melakukan tur keliling Amerika Serikat, menyebarkan pesan Nation of Islam. Dalam perjalanan ini, dia menemukan kekuatan dan karisma untuk menginspirasi orang dengan orasinya.
Berbicara di depan umum adalah keterampilan yang ia pelajari, setelah masuk penjara sebagai seorang putus sekolah menengah yang, ia akui, “tidak tahu kata kerja dari rumah”.
Dia tidak takut menggunakan taktik kejutan untuk menyampaikan pesan, mengutuk orang kulit putih sebagai “setan kulit putih” atas penindasan bersejarah terhadap orang kulit hitam.
Ketika Presiden AS John F Kennedy dibunuh pada November 1963, ia mengatakan bahwa itu adalah “ayam pulang ke rumah untuk bertengger” – pepatah kuno yang artinya hal-hal buruk yang pernah dilakukan seseorang di masa lalu akan menghantui orang tersebut.
Malcolm X punya banyak pengikut, tapi juga memiliki banyak musuh. Pada Maret 1964, dia mengumumkan meninggalkan Nation of Islam, karena kecewa dengan kepemimpinannya.

Sumber gambar, Getty Images
Pada bulan yang sama, dia menyaksikan debat di Washington DC tentang RUU Hak-hak Sipil, dan dia akhirnya bertemu dengan Martin Luther King, Jr, seorang pemimpin hak-hak sipil yang keyakinannya pada protes tanpa kekerasan sering dianggap bertentangan dengan filosofi Malcolm X yang lebih konfrontatif.
Untuk memperdalam keimanannya sebagai seorang Muslim, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah. Dia menulis tentang bagaimana dia menyaksikan “jemaah haji dari berbagai warna kulit dari seluruh penjuru bumi ini menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang belum pernah saya lihat sebelumnya”.
Dia juga melakukan tur ke beberapa negara di Afrika. Dari sana, ia memutuskan untuk membentuk kelompok sekuler baru yang berusaha menghubungkan kembali orang Afrika-Amerika dengan leluhur mereka.
Sekembalinya ke AS, ia meninggalkan ajaran Nation of Islam. Sekitar waktu itu, istri Malcolm X, Betty Shabazz, mulai menerima ancaman pembunuhan melalui telepon, dan rumah mereka dibom.
Memperoleh pandangan moderat
Meskipun ancaman datang dari berbagai arah, ia terus tampil di depan publik dengan penuh semangat.
Pada Juni 1964, ia resmi meluncurkan Organisasi Persatuan Afro-Amerika, dan mengatakan kepada para hadirin yang hadir:
“Kami menginginkan kebebasan dengan cara apa pun yang diperlukan. Kami menginginkan keadilan dengan cara apa pun yang diperlukan. Kami menginginkan kesetaraan dengan cara apa pun yang diperlukan.”
Ia berbicara di Aula Audubon di kawasan Washington Heights, New York; delapan bulan kemudian dia dibunuh di panggung yang sama.
Ketika para pelayat terus mengiringi jenazah Malcolm X di rumah duka di Harlem, Charlton bertanya kepada beberapa orang terkemuka tentang seperti apa sosok kepemimpinnya.
Malcolm X telah menjadi pengunjung tetap di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, menurut Daniel Watts, editor majalah nasionalis kulit hitam The Liberator. Watts mengatakan bahwa ia telah menyoroti diskriminasi orang kulit hitam di AS kepada para anggota blok Afro-Asia.

Sumber gambar, Afro American Newspapers/Gado/Getty Images
“Saya pikir untuk pertama kalinya dalam sejarah perjuangan di negara ini, kami memiliki sebuah molekul harapan. Harapan dalam arti menyadari kami punya warisan, kami punya akar, kami punya tanah air yang dapat kami cari,” katanya.
James Farmer, direktur Kongres Kesetaraan Rasial, mengatakan kepada Panorama, meskipun Malcolm X tidak menjadi bagian dari gerakan hak-hak sipil, “sikapnya yang lebih ekstrem” telah meningkatkan gerakan tersebut.
Dia berkata: “Publik melihat dengan sangat jelas bahwa jika mereka tidak melakukan apa yang dituntut oleh gerakan hak-hak sipil, mereka akan mendapatkan Malcolm X.”
Farmer mengaku Malcolm pernah berbicara padanya: “Anda tahu bahwa Anda harus berhenti menekan kami seperti ini. Karena kami membantu Anda. Kami membuat banyak keributan, orang-orang melihat kami dan berteriak pembunuhan, dan kemudian berpaling kepada Anda.”

Sumber gambar, Getty Images
Farmer mengatakan Malcolm X telah berhasil memberikan rasa identitas kepada kaum muda kulit hitam. “Hal ini sangat penting karena seseorang tidak punya rasa takdir di masa depan, kecuali ia percaya bahwa ia menjadi seseorang terlebih dahulu.”
Farmer juga mengatakan bahwa Malcolm X telah berusaha memperluas daya tariknya sejak pecah kongsi dengan Nation of Islam.
“Saya merasa bahwa posisinya berada dalam keadaan berubah-ubah, dan dia bergerak lebih dekat ke arah posisi integrasionis dan desegregasionis,” katanya.
Ia melanjutkan, “Dia berkunjung ke rumah saya hanya enam minggu sebelum meninggal, dan di sana saya bertanya kepadanya apakah pandangannya telah berubah mengenai isu-isu rasial? Dan dia mengindikasikan hal itu benar, dia telah meninggalkan rasisme kulit hitam”.
“Sekarang dia siap, katanya kepada saya, untuk menerima seseorang berdasarkan perbuatannya daripada gennya. Ini adalah sebuah perubahan,” kata Farmer.
Penyair Maya Angelou adalah teman Malcolm X. Mereka bertemu kembali sejak Malcolm melakukan tur ke Afrika.
Berbicara pada 1992, dia mengatakan kepada BBC: “Dia datang ke Ghana dan berkata, ‘Saya telah menemukan orang bermata biru yang dapat saya panggil saudara, jadi pernyataan saya sebelumnya bahwa semua orang kulit putih adalah setan adalah keliru.
“Dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk dapat mengatakan, ‘Katakanlah semua orang, Anda ingat apa yang saya katakan kemarin? Saya telah menemukan bahwa itu salah. Dan itulah yang mampu ia lakukan. Itu sungguh luar biasa,” kata Angelou.
Charlton menutup laporan Panorama tentang pemakaman Malcolm X dengan mengamati dia “meninggal terlalu cepat setelah mengadopsi pandangan yang lebih moderat, sehingga kita tidak bisa mengetahui daya pikat yang lebih luas setelahnya”.
Dia mengatakan bahwa “prasasti yang paling menarik” yang dia dengar minggu itu berasal dari seorang kulit hitam yang mengatakan, “Saya tidak tahu berapa banyak pengikutnya, tetapi dia memiliki banyak sekali simpatisan.”
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris dari artikel ini dengan judul ‘He meant a great deal to me and my people’: How the assassination of Malcolm X shook the US 60 years ago pada laman BBC Culture.