‘Saya sudah muak’ – Banjir berulang di Bekasi-Jakarta-Tangsel bikin warga luapkan kekesalan, pemerintah dituding tidak pernah serius menanganinya

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ferlian Septa Wahyusa
Tiga hari setelah banjir melanda sebagian wilayah Jabodetabek, warga yang terdampak meluapkan kekesalan mereka terhadap pemerintah. Beberapa mengaku “muak” karena peristiwa ini terus berulang tanpa adanya solusi yang menyeluruh.
Selama 11 tahun tinggal di Pekayon, Bekasi Selatan, keluarga Happy (32) sudah beberapa kali menjadi korban banjir.
“Setiap lima tahun pasti kena banjir. Tahun 2016, 2020 dan paling baru 2025 ini,” papar warga Perumahan Jaka Kencana itu kepada BBC News Indonesia pada Rabu (05/03).
Ibu beranak satu yang bekerja sebagai karyawan hotel itu menyebut banjir pada Senin (03/03) adalah yang paling membuat trauma.
Pada Selasa (04/03) sekitar pukul 07.00 WIB, Happy menggendong anak laki-lakinya yang baru berusia 18 bulan untuk proses evakuasi menggunakan perahu karet.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Aku merasa marah banget. Evakuasi sambil bawa bayi itu pengalaman yang cukup menakutkan,” tutur Happy yang mengkhawatirkan keselamatan putranya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Happy mengaku tidak habis pikir. Padahal, menurutnya, pengawas-pengawas dari Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) sudah memberitahukan adanya kemungkinan banjir sejak minggu lalu melalui aplikasi WhatsApp.
“Tapi saya tidak melihat ada respons serius dari pemerintah. Peringatan evakuasi itu tidak ada.
Padahal kalau misalnya ada dari minggu lalu, mungkin enggak akan sampai seperti ini.”
Untuk sementara, dia mengungsi ke tempat kerjanya di daerah Semanggi, Jakarta Selatan. Keluarganya mulai secara perlahan memperbaiki rumah yang hancur berantakan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ferlian Septa Wahyusa
“Pelan-pelan, karena puncak hujan katanya masih akan berlangsung sampai tanggal 15 Maret nanti.”
Keluarga Happy kehilangan banyak perkakas seperti kulkas. Mobil mereka juga raib akibat banjir.
Secara total, Happy memperkirakan keluarganya mengalami kerugian antara Rp50 juta dan Rp100 juta. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan kerugian yang mereka alami pada dua banjir besar sebelumnya.
“Enggak lucu saja rasanya kami menabung tapi tiap lima tahun habis semua untuk mitigasi banjir,” ujarnya.

Sumber gambar, BAGUS SARAGIH / AFP
Sementara di Bogor, Jawa Barat, Khairul (56), salah satu ketua RT di Vila Nusa Indah I, mengatakan seluruh warga setempat kesal atas peristiwa banjir yang berulang kali terjadi.
“Banyak tetangga saya tidak sempat menyelamatkan harta benda. Mobil terendam, motor terendam, belum lagi peralatan rumah tangga,” ujarnya ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Rabu (05/03).
Khairul menaksir warga itu bisa mengalami kerugian sekitar Rp100 juta.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Khairul yang sudah tinggal di wilayah itu sejak tahun 1992 mengaku miris karena peristiwa yang sama terus saja berulang.
Para pejabat, menurut Khairul, sudah melakukan kunjungan setiap kali banjir terjadi dan menjanjikan banyak hal untuk mencegahnya.
Mulai dari peninggian tanggul, pengerukan sungai, dan pelebaran badan sungai, semua ini dijanjikan para pejabat itu.

Sumber gambar, ANTARA

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Namun, Khairul mengatakan janji-janji itu seringnya hanya berujung survei sehingga tidak membuahkan hasil yang riil dan hanya berupa “janji-janji politik”.
“Kalau saya bilang, sih, ini hanya mempermainkan masyarakat, kemudian menghabiskan anggaran untuk mereka saja. Jadi enggak ada eksekusinya,” kata Khairul.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Sederet penyebab banjir
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta, sejumlah wilayah di Jakarta dilanda banjir karena air dari Sungai Ciliwung yang meluap.
Sungai Ciliwung diketahui membentang dari wilayah Cianjur sampai Jakarta.
Sementara itu, ada juga Kali Pesanggrahan yang mengalir dari Bogor melewati Tangerang, Depok, juga Jakarta.
Intensitas hujan yang tinggi di daerah penyangga, dinilai menyebabkan air di kedua sungai meluap.

Sumber gambar, AFP/Bay Ismoyo
Puarman, seorang perwakilan dari Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C), sudah biasa memantau dan memberikan peringatan tinggi air di Kali Cileungsi dan Cikeas.
Dia menyebut komunitas itu beranggotakan 32.000 orang dan semuanya pernah terkena dampak banjir yang menurutnya “sudah sering terjadi”.
“Banjir di Bekasi dan Bogor … setiap tahun rata-rata 3 atau 4 kali terjadi banjir,” ujarnya ketika dihubungi pada Rabu (05/04).
Banjir terbesar, menurut KP2C, terjadi sebanyak tiga kali: 26 April 2016, 1 Januari 2020, dan yang paling baru adalah 4 Maret 2025.
Berdasarkan temuan KP2C, Puarman menyebut penyebab utama dari banjir berulang ini adalah perubahan tata guna lahan di hulu sungai.
Dia merujuk ke pembangunan properti dan pusat wisata yang masif di hulu-hulu sungai seperti Puncak, Bogor dan Sentul, Babakan Madang.
“Dulu ketika hujan, airnya 70% meresap ke tanah hanya 30% yang mengalir ke hilir. Itu dulu. Tapi sekarang sebaliknya,” ujar Puarman.
Puarman juga menyebut pendangkalan dan penyempitan sungai sebagai penyebab banjir.
“Sekadar informasi, Sungai Cileungsi terakhir dikeruk pada tahun 1971,” ujarnya.
Selain itu, Puarman menyebut banyak pelanggaran atas garis sempadan sepanjang 15 meter—yakni jarak minimum yang harus dijaga dari tepi sungai.
“Rata-rata di pinggir sungai [sekarang] ada rumah warga dan pabrik. Itu banyak yang melanggar garis sempadan sungai. Terutama di sungai Cileungsi dan Kali Bekasi,” ujarnya .

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Terakhir, Puarman menyebut tanggul-tanggul yang dibangun berbagai perumahan sudah rapuh sehingga tidak mampu mengatasi banjir.
Puarman menyebut KP2C sudah membuat petisi kepada pemerintah untuk menanggulangi banjir yang terus berulang ini.
“Isi petisinya adalah normalisasi Sungai Cileungsi, Sungai Cikeas, dan Kali Bekasi.Bekasi. Itu jelas, kok. Tinggal pelaksanaannya saja,” ujar Puarman.
“Kalau curah hujan lebat, itu, kan,pemicunya saja. Kalau daya tampung sungai besar, tanggulnya kokoh, mau hujan sebesar apa pun, enggak ada masalah.”
Tata ruang wilayah Jakarta dan penyangganya
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitria Tanjung, menyoroti tata ruang yang rusak di wilayah Jakarta dan penyangganya sebagai penyebab permasalahan banjir.
Walau Suci tidak menampik adanya faktor perubahan iklim, dia menilai banjir yang terus berulang terjadi karena pemerintah tidak memperhatikan pengaturan tata ruang.
“Persoalan ini itu dimulai dari keengganan pemerintah untuk memperhatikan lebih detail bagaimana mengatur dan melakukan terobosan terhadap penertiban tata ruang,” ujar Suci.
Suci menyebut banyak wilayah mengalami “alih fungsi yang luar biasa”. Hal ini, sambung dia, tidak lepas dari pola pembangunan yang lebih fokus pada faktor ekonomi.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
“Ada lahan-lahan atau misalnya ada ruang-ruang tertentu yang peruntukannya jauh lebih besar untuk ekonomi dibandingkan untuk ekologi gitu. Nah akhirnya memang ya kita harus bertarung hari ini dengan air,” kata Suci.
Suci memperkirakan sungai-sungai di wilayah Jabodetabek sudah kehilangan kapasitas menampung air, sekitar 25%-50%.
Terpisah, Wahyudin Iwang dari Walhi Jawa Barat menyebut deforestasi dan alih fungsi lahan di kawasan Puncak turut berkontribusi pada terjadinya banjir.
“Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang Walhi telah menduga kurang lebih hampir 45% kerusakan di kawasan Puncak Bogor drastis hal ini meningkat, sehingga jika dihitung per hari ini, kerusakan akibat alih fungsi kawasan dapat diperkirakan menjadi 65% atau setara dengan setengah lebih luas kawasan Puncak Bogor telah mengalami kerusakan yang serius,” kata

Sumber gambar, ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Pembangunan properti dan fasilitas pariwisata di wilayah tersebut diduga berkontribusi pada bencana yang ada.
Pemerintah, sambung Wahyudin, secara terus-terusan mengeluarkan izin usaha di Puncak.
Padahal, menurut dia, di wilayah Puncak Bogor sampai Gunung Mas terdapat zona status L1 dan L4.
L1 merujuk pada wilayah resapan air, sementara L4 merupakan wilayah kawasan untuk perlindungan tanah dan air.
“Maka tidak salah, longsor dan banjir yang hingga menyebabkan lautan di Jakarta, semata-mata adalah kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Puncak Bogor,” kata Wahyudin.
Banjir di Jakarta dan Bekasi sejak abad ke-5
Sementara itu, Harry Sofian, peneliti Arkeologi Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan persoalan banjir di wilayah yang sekarang menjadi Jakarta dan Bekasi sebetulnya sudah ada sejak abad ke-5.
Harry menyebut sudah banyak penelitian yang menunjukkan wilayah utara Jawa secara topografi memang merupakan dataran rendah, sehingga rawan banjir.

Sumber gambar, ANTARA/Prisca Triferna
Dia mencontohkan Prasasti Tugu mencatat Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara melakukan penggalian sungai Candrabaga (sekarang Kali Bekasi) dan Gomati (sekarang Kali Cakung) untuk mencegah banjir dan kekeringan.
Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten juga dikenal sebagai ahli rekayasa air untuk mengelola irigasi dan banjir.

Sumber gambar, Hulton Archive/Getty Images

Sumber gambar, Paolo KOCH/Gamma-Rapho via Getty Images

Sumber gambar, Edy Purnomo/Getty Images
“Perekayasaan air ini dari sejak Kerajaan Tarumanegara sampai Kasultanan Banten, terus sampai kepada Hindia Belanda, kemudian lanjut kepada [masa] kemerdekaan,” ujar Harry kepada BBC News Indonesia pada Rabu (05/03).
“Memang ini pekerjaan yang tidak pernah berakhir sepertinya.”
Harry pun menekankan pentingnya belajar dari sejarah untuk mengelola tata ruang dan normalisasi sungai sebagai solusi pengendalian banjir.
“Kita belajar dari pengalaman manusia masa lalu untuk masa depan [kita] yang lebih baik,” ujarnya.
Bagaimana pemerintah sejauh ini menanggapi peristiwa banjir Jabodetabek?
Sejauh ini, sejumlah pejabat pemerintahan menggarisbawahi faktor cuaca sebagai penyebab banjir.
Pada Selasa (04/03), Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono menyoroti penghijauan masif serta upaya modifikasi cuaca untuk mencegah terjadi banjir di wilayah itu pada masa-masa mendatang.
“Perlu penghijauan kembali terutama di wilayah Bogor. BMKG juga dapat memodifikasi curah hujan sehingga curah hujan yang turun di kawasan pegunungan dapat dikurangi,” ujarnya seperti dilansir Antara.
Adapun Gubernur Jakarta Pramono Anung menyebut seringkali banjir yang terjadi di Jakarta merupakan banjir kiriman dari daerah lain. Dia mengatakan curah hujan di Jakarta cenderung rendah.
Pramono berencana berbicara dengan kepala daerah di sekitar Jakarta guna membicarakan antisipasi banjir ke depannya.
“Karena penyelesaian [banjir] ini kan tidak bisa parsial hanya di Jakarta,” kata Pramono seperti dilansir Tempo (04/03).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Pada Selasa (04/03), Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti menegaskan banjir di Jabodetabek kali ini disebabkan curah hujan yang begitu tinggi sehingga air meluap dari sungai.
“Hasil pengamatan kami, itu tidak ada tanggul yang jebol. Tetapi volume intensitas hujan itu memang sangat tinggi sekali. Jadi ini meluap,” ujar Diana seperti dilansir Kompas.com.
Diana mengatakan pemerintah bakal mengeruk sedimentasi di sungai-sungai demi memperbesar volume air.
Adapun Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menitikberatkan “evaluasi” terkait kerusakan lingkungan yang ada.
“Kalau nafsu buat membangun dihajar habis, ini akibatnya. Ini problem dari lamanya kita abai terhadap lingkungan dan ini saatnya kita mengevaluasi diri,” ujar Dedi pada Selasa (04/03).
Dia mengeklaim akan memanggil pengembang perumahan di Bekasi.
“Iya nanti saya panggil, membangun rumah di situ menjanjikan tidak banjir, kenapa banjir?” kata Dedi.

Sumber gambar, Yetha
Dedi menyebut ruang terbuka hijau, persawahan, dan hutan yang hilang menyebabkan sejumlah wilayah di Jawa Barat dilanda banjir.
Dedi mengatakan tak ingin penyelesaian banjir hanya berujung pemberian bantuan terhadap korban bencana, namun tak menyelesaikan akar permasalahan.
“Hilangnya ruang terbuka hijau, hutan, sawah itu penyebab banjir. Soal bantuan? Sudah cukuplah, yang perlu diperlukan adalah masa depan, karena kebiasaan kita setiap bencana longsor, banjir selesai di bantuan sembako, saya enggak mau itu,” kata Dedi.
BBC News Indonesia sudah menghubungi Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, tetapi hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan tidak memberikan jawaban.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Terpisah, pakar tata kota, Yayat Supriyatna, menyebut pemerintah selama ini tidak kompak dalam penanganan banjir seperti terlihat di Jabodetabek.
Dia bahkan menyebut anggaran untuk pengelolaan sumber daya air masih rendah dibandingkan dengan anggaran infrastruktur lainnya, seperti pembangunan jalan dan jembatan.
Ditanya soal pernyataan Dedi Mulyadi, Yayat mengakui itu sesuatu hal yang bagus.
Namun, dia menekankan Dedi perlu membuat rencana pemeliharaan tata ruang yang konkret di wilayah kota dan kabupaten di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bodetabek.
“Kalau tidak ada itu, nanti cuma omon-omon doang,” ujarnya.
Kembali ke Happy, warga Bekasi yang sempat trauma setelah mengevakuasi dirinya dan bayinya.
Happy tetap merasa pemerintah “tidak serius” menangani masalah banjir ini karena “sudah dari tahun ke tahun terjadi”.
“Tadi baca berita mau modifikasi cuaca segala. Kenapa baru sekarang? Dari kemarin [pemerintah] ke mana? Kenapa harus nunggu banjir dulu?”
Sementara Khairul merasa janji-janji pemerintah, seperti yang sudah-sudah, tidak akan ditepati dan warga setempat sudah tidak percaya lagi.
“Saya terus terang sudah muak,” pungkasnya.
Amahl Azwar, Tri Wahyuni, dan Johanes Hutabarat terlibat dalam liputan dan penulisan artikel ini.