‘Kami seolah dibiarkan mati perlahan-lahan’ – Nasib 2.800 pengungsi Rohingya di Indonesia setelah PBB pangkas bantuan gara-gara kebijakan Trump

Sumber gambar, Ulet Ifansasti/Getty Images
Sekitar 2.800 pengungsi Rohingya di Indonesia bakal menghadapi situasi kritis setelah Badan Migrasi Perserikatan Bangsa Bangsa (IOM) memangkas bantuannya. Ini terjadi akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump memangkas sebagian besar bantuan asing.
Di Kota Medan, Sumatra Utara, sejumlah pengungsi Rohingnya mengaku kepada BBC News Indonesia bahwa hidup mereka kian tidak pasti.
Mereka juga merasa seperti “dibiarkan mati pelan-pelan” di tengah ketidakpastian masa depannya.
Kepada BBC News Indonesia, perwakilan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Jakarta membenarkan adanya pemotongan dana bantuan untuk pengungsi Rohingya di Indonesia.
IOM menjelaskan pemotongan itu dilatari keputusan Presiden AS Donald Trump menghentikan sementara pendanaan bantuan luar negeri.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Karenanya, IOM harus mematuhi kebijakan tersebut dan menerapkannya.

Sumber gambar, Panyahatan Siregar/Getty Images
Dalam perkembangan terbaru, situasi serupa juga dialami pengungsi Rohingya di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, seperti dilaporkan Reuters, Kamis (06/03).
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Sumber-sumber dan sebuah surat bertanggal 28 Februari yang dilihat Reuters menyebutkan, IOM tidak akan dapat menyediakan layanan kesehatan dan bantuan tunai bagi 925 pengungsi Rohingya di Kota Pekanbaru, mulai 5 Maret 2025 lalu.
“Karena keterbatasan sumber daya, ” ungkap sumber dan surat tersebut.
Sebagian bantuan akan terus diberikan bagi orang-orang yang paling rentan, katanya.
Banyak etnis Rohingya— sebagian besar berasal dari Myanmar dan merupakan populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia—melarikan diri dari Myanmar setelah mengalami penganiayaan.
Sebagian besar mengungsi di kamp-kamp kumuh di negara tetangganya, Bangladesh.
Tidak sedikit di antara mereka kemudian berlayar dengan menaiki perahu kayu menuju ke Thailand, Indonesia dan Malaysia.
Dalam sebuah pernyataan kepada Reuters, IOM mengatakan bahwa pihaknya “mematuhi semua perintah hukum” akibat dari keputusan pemerintah AS tersebut.
Meskipun demikia, IOM mengaku tetap “berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang vital”.
Mereka juga akan terus melibatkan para donor dan mitra, termasuk AS, guna mempertahankan layanan-layanan penting, katanya.

Sumber gambar, Panyahatan Siregar/Getty Images
Dihubungi Reuters, Kedutaan Besar AS di Jakarta sejauh ini belum menanggapi permintaan komentar.
PBB mengatakan sekitar 2.800 pengungsi Rohingya mengungsi ke Indonesia.
Di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, seorang pengungsi Rohingya bernama Abdu Rahman mengaku mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan tunai.
“Kami tidak memiliki dukungan untuk dapat bertahan hidup sehari-hari,” katanya.
Hadi Sanjoyo, seorang pejabat senior di gugus tugas pemerintah kota Pekanbaru yang mengawasi masalah pengungsi, mengatakan pihaknya berencana untuk berbicara dengan lembaga nirlaba setempat.
Apabila masalah ini tidak tertangani dengan baik, Hadi khawatir dapat berpotensi bentrokan antara pengungsi dan warga setempat.
“Mereka juga saudara-saudara kita,” katanya.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Cerita pengungsi Rohingya di Kota Medan: ‘Hidup kami semakin sulit’
Sebuah rumah sederhana berukuran 6×12 meter persegi yang berada di dalam gang kecil di Kota Medan, dihuni satu keluarga dalam ketidakpastian.
Bangunan bercat hijau dengan lantai polos tanpa keramik tersebut ditempati Hosen, istri, dan empat anaknya.
Sekitar tiga pekan lalu, keluarga pengungsi Rohingya itu terpaksa harus angkat kaki dari tempat penampungan yang selama ini disediakan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Pada Kamis (13/02) lalu, BBC News Indonesia diperbolehkan bertamu ke rumah Hosen.
Tak banyak barang-barang di dalamnya, tapi yang menarik perhatian sebuah foto keluarga Hosen yang dibingkai seadanya terpajang di dinding.
Karena bangunan ini bentuknya memanjang, tiap ruangan yang disulap jadi kamar disekat dengan triplek dan ditutup dengan tirai.
“Hidup kami semakin sulit karena pengurangan bantuan, sementara kami harus mencari dan membayar tempat tinggal sendiri,” tuturnya pasrah.
“Kami mohon dikembalikan seperti dulu,” sambungnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pengurangan dana bantuan dari IOM kepada pengungsi Rohingya, katanya, sudah berlangsung sejak Januari 2025.
Organisasi yang mengurusi para imigran dan pencari suaka ini disebut tidak lagi membiayai penginapan sebagian besar pengungsi Rohingya di Medan.
Akibatnya, selain Hosen ada puluhan orang bernasib sama.
Kepada BBC News Indonesia, pria 38 tahun ini bercerita dulu hidupnya sangat damai bersama keluarga di Hasyurata, desa kecil di Kota Maungdaw, Rakhine, Myanmar. Ia bekerja sebagai nelayan.
Namun ketenangannya sirna pada 2012, ketika puluhan ribu warga Rohingya diusir dari permukiman mereka.
Berselang lima tahun kemudian, ungkapnya, militer yang didukung pemerintah Myanmar melancarkan operasi brutal yang disebutnya mengarah pada genosida.
Orang-orang Rohingya mati dibunuh, ujar Hosen, termasuk saudara laki-laki dan ayah kandungnya. Warga lain tak luput disiksa secara sadis dan diperlakukan tak manusiawi.
Ladang dan rumah mereka diberangus hingga akhirnya keberadaan mereka tak diakui sebagai warga negara.
Situasi ini membuat ratusan ribu warga Rohingya kabur dari Rakhine demi menyelamatkan diri.
Hosen sempat tinggal di kamp pengungsian Cox’s Bazar Bangladesh, sebelum terombang-ambing di lautan selama enam bulan bersama ratusan orang lainnya.
Pada 7 September 2020 malam, kapal kayu yang ditumpanginya kandas di perairan Aceh. Mereka diboyong ke Kota Lhokseumawe.
Tapi, tak semuanya berhasil menginjakkan kaki dengan selamat. Ia berkata, banyak pengungsi yang mati karena berdesak-desakan dan kelaparan.
Dia, istri, dan tiga anaknya mampu bertahan hidup.
Dalam hitungan bulan, Hosen sekeluarga dipindahkan ke Kota Medan. Mereka ditampung di suatu penginapan di Jalan Jamin Ginting. Di sini, anak bungsunya lahir.
Selain tempat tinggal, mereka juga diberi uang bulanan.
Untuk orang dewasa besarannya Rp1.250.000 per orang/bulan dan anak di bawah 18 tahun mendapatkan Rp500.000 per orang/bulan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Para orang tua juga diberi tambahan Rp200.000 per bulan sebagai uang transportasi sekolah anak mereka. Ada juga asuransi kesehatan. Khusus bagi satu keluarga yang terdiri dari enam orang diberi bantuan dua unit kamar.
Namun dana sokongan tersebut, belakangan dipangkas.
“Kami dibawa ke tempat penampungan ini secara resmi, bukan keinginan sendiri. Tapi setelah empat tahun ditampung, kenapa tiba-tiba bantuan penginapan dihentikan? Bagaimana kami hidup?” tanyanya penuh cemas.
Kabar buruk soal pemangkasan bantuan itu, terjadi di penghujung 2024.
IOM, kata Hosen, menerapkan kebijakan baru: pengungsi yang tiba di Aceh dan Sumatra Utara sejak 2018 ke atas—termasuk dia—tak akan memperoleh fasilitas tempat tinggal. Bantuan bulanan kena potong.
Sebaliknya, klaim Hosen, pengungsi Rohingya yang tiba sejak 2018 ke bawah mendapatkan tambahan dana bantuan dari yang awalnya Rp1.250.000 menjadi Rp1.750.000. Sedangkan untuk anak-anak Rp800.000.
Sejak itulah, sejumlah pengungsi hanya dapat bantuan uang tunai antara Rp700.000 – Rp1.050.000 per orang/bulan. Tak ada pula tambahan uang transportasi, tempat tinggal, maupun asuransi.
Padahal, kata Hosen, kebutuhan hidup di Kota Medan cukup tinggi.
“Jika ditotal sebulan kami sekeluarga dapat Rp4.300.000, uang itu dipakai untuk menyewa rumah Rp1.300.000… selebihnya makan, minum.”
“Saya juga tidak bisa mencari tambahan, karena dilarang bekerja. Sekarang anak pertama dan kedua saya sudah putus sekolah.”
“Mimpi saya anak-anak punya ilmu yang tinggi untuk mengubah masa depan keluarga.”
‘Untuk beli susu anak saja tidak bisa’
Apa yang dialami Hosen sekeluarga, juga dirasakan 88 orang pengungsi Rohingya lainnya di Kota Medan. Dua di antaranya Salam (30 tahun) dan Yaser (27 tahun). Keduanya tiba di Indonesia pada 2012 dan 2022.
Salam termasuk beruntung karena tak kena pengurangan bantuan, tapi tidak dengan istrinya yang sampai di sini pada 2020.
Agar tetap bisa tinggal sekamar di tempat penampungan, Salam harus membayar uang sewa penginapan sekitar Rp1.000.000 per bulan.
Sisa uangnya Rp2.800.000 inilah yang dipakai menghidupi istri beserta dua anaknya. Dia bilang, jumlah uang tersebut tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi istrinya sedang hamil tujuh bulan.
“Terkadang pedih hati saya. Untuk beli susu anak-anak saja tidak bisa,” tutur Salam.

Sumber gambar, Nanda Fahriza Batubara
Yaser juga sama merananya.
Sekarang istrinya hamil muda. Mereka menikah di tempat penampungan pada 2022. Ia tiba lebih dulu di Kota Lhokseumawe pada 2020, adapun sang istri dua tahun kemudian.
Gara-gara kebijakan baru IOM, Yaser dan istri harus angkat kaki dari penampungan dan menyewa kontrakan seharga Rp800.000 per bulan.
Dengan total bantuan Rp1.050.000 per bulan, maka uang yang tersisa cuma Rp200.000 saja –yang pasti mustahil mencukup kebutuhan hidup. Ujung-ujungnya dia berutang dan kini totalnya sudah Rp6.000.000.
“Istri saya delapan bulan di sini tidak dapat bantuan medis dan makanan, mohon bantu istri saya apalagi dia sedang hamil. Kami perlu bantuan karena tak bisa bekerja,” ucapnya penuh harap.
Kesengsaraan juga dialami Umar, pria yang sudah tiba di Indonesia 13 tahun silam.
Sore itu lelaki berbadan tegap ini sedang duduk-duduk di halaman tempat penginapan kelas melati di Jalan Jamin Ginting.
Umar mengatakan, “kadang merasa seperti dibiarkan mati pelan-pelan di tengah ketidakpastian ini”.
Pria yang menikah pada 2019 ini dikaruniai empat anak. Seperti halnya Salam, dia mengaku tidak mengalami pemangkasan dana bantuan. Namun, tidak bagi istrinya yang tiba pada 2018.
Dia bilang setiap bulan harus membayar uang sewa Rp1.000.000 untuk bisa tetap tinggal di kamar penginapan yang sama.
“Mungkin kami ini ingin dibunuh diam-diam, sekarang saja tempat tinggal sudah tidak ada, bantuan juga dikurangi,” ungkapnya.

Sumber gambar, Nanda Fahriza Batubara
Melihat beberapa keluarga temannya sengsara, sejumlah pria muda Rohingya memilih tak menikah lantaran merasa tak punya masa depan yang jelas.
Amran, salah satunya.
Pria 28 tahun ini sampai di Kota Lhokseumawe pada 2020 sendirian, tanpa keluarga. Orang tuanya, masih berada di kamp pengungsian di Bangladesh. Komunikasi dengan keluarga tersambung lewat telepon.
“Saya tidak mau orang tua saya menyusul ke sini dan juga tidak berencana menikah di sini, karena tidak bisa cari makan untuk keluarga. Saya sedih dengan masa depan saya,” akunya.
Sementara pemuda lain, Sukur (24 tahun) berkata masa depannya terasa gelap. Akibat keputusan baru IOM, dia hanya mendapat Rp1.050.000 per bulan.
Uang itu akan dipotong untuk sewa kamar kos Rp600.000, sehingga tersisa Rp450.000 untuk kebutuhan sehari-hari.
“Uangnya tidak cukup, jadi sehari-hari saya hanya makan sekali. Saya juga tidak tahu apa saya masih punya harapan masa depan atau tidak.”
Apa alasan IOM memangkas dana bantuan untuk pengungsi?
Perwakilan IOM di Jakarta menjelaskan pemotongan dana bantuan untuk pengungsi ini dilatari oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang menghentikan sementara pendanaan bantuan luar negeri.
Karenanya, IOM mengaku harus mematuhi kebijakan tersebut dan menerapkannya.
“Keputusan ini sedianya juga berdampak pada staf, kegiatan, dan orang-orang yang kami layani.”
“Tapi IOM tetap berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang sangat diperlukan dan terus terlibat secara konstruktif dengan donor dan mitra—termasuk Amerika Serikat—untuk mempertahankan layanan penting.”
Data terbaru UNHCR menyebutkan ada sekitar 2.800 pengungsi Rohingya di Indonesia. Pada 2025, tercatat ada 400 lebih pengungsi tiba.
UNHCR bersama IOM mengeklaim telah memberikan bantuan kepada para pengungsi yang mencakup tempat tinggal, sanitasi, layanan kesehatan, makanan, dan barang-barang non-makanan.
Pengungsi Rohingya menghadapi situasi kritis
Pengamat kebijakan hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dafri Agussalim, sangat menyayangkan keputusan Presiden AS Donald Trump yang menghentikan pendanaan bantuan luar negerinya.
Sebab banyak lembaga internasional yang perhatian pada persoalan kemanusiaan, pengungsi, hak asasi manusia, dan demokrasi, bergantung pada dana tersebut.
Pendanaan ini pun, kata dia, sebetulnya menjadi upaya diplomasi AS untuk menunjukkan dirinya sebagai “role model” bagi negara-negara lain.
“Tapi dengan penghentian pendanaan ini menunjukkan soft power Amerika Serikat mulai mundur. AS tidak bisa lagi bicara soal hak asasi manusia dan seterusnya, atau mengajari negara-negara lain kalau dia sendiri tidak peduli dengan masalah-masalah tersebut,” jelas Dafri Agussalim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/02).

Sumber gambar, Getty Images
“Dan dicabutnya bantuan untuk WHO dan IOM misalnya, itu contoh bahwa AS sudah mengalami degradasi dari sisi moral publik internasional.”
Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center UGM ini juga menilai dengan kondisi begini para pengungsi Rohingya kini menghadapi situasi kritis. Mereka dan negara-negara yang menampung para pengungsi harus “kena getahnya”.
Di Indonesia, menurut Dafri, bisa saja terjadi kriminalitas jika para pengungsi terdesak oleh kebutuhan hidup mereka.
Pasalnya saat ini saja di beberapa wilayah seperti Aceh, masyarakat setempat sudah mulai resah lantaran ada dugaan kasus pelecehan di antara sesama pengungsi.
Selain itu, beberapa pengungsi ketahuan melarikan diri ke Malaysia menggunakan jaringan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Jika Indonesia tidak bisa menangani pengungsi itu dengan baik, maka dampaknya terhadap Indonesia. Di mata internasional, Indonesia dianggap gagal atau lalai dalam mengurus masalah kemanusiaan ini.”
“Dan itu tidak baik, tentunya.”
Dafri Agussalim berkata sebetulnya ada jalan keluar yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia untuk membantu para pengungsi ini, yakni mengupayakan diplomasi dengan negara-negara ASEAN agar mendapatkan dukungan berupa dana bantuan.
Cara lain, mempekerjakan para pengungsi di sektor-sektor informal seperti yang dilakukan Malaysia.
Meskipun, diakuinya, langkah itu bakal ditentang oleh masyarakat di tengah kondisi banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu secara hukum pun, katanya, Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sehingga tak ada kewajiban mengurus pengungsi—termasuk memberikan pekerjaan.
“Kendati dari sisi idealisme, enggak ada masalah. Itu bisa memberi ruang kepada pengungsi untuk dapat hidup. Tapi dari sisi praktiknya, pasti akan ada penolakan dari masyarakat lokal.”
Solusi terakhir, menurutnya, dalam keadaan darurat sekarang ini IOM bisa meminta tambahan dana ke negara-negara pendonor selain AS.