Tunjangan kinerja dosen ASN Kemendikti ‘tidak dianggarkan’ karena Kementerian Pendidikan dipecah jadi tiga lembaga – ‘Itu ngelesnya pemerintah saja’
Sejumlah pengamat pendidikan menilai alasan Kemendikti Saintek tidak menganggarkan tunjangan kinerja dosen yang berstatus aparatur sipil negara karena perubahan nomenklatur “terlalu mengada-ada”.
Sebab aturan soal tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN merupakan amanat dari UU ASN tahun 2014 dan diturunkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Aliansi dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia (Adaksi) menuntut Mendikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, segera menerbitkan aturan terkait pemberian tukin dalam seratus hari kerja pertamanya. Jika tutuntan itu tidak terwujud, ribuan dosen mengancam bakal mogok kerja.
“Suara-suara [mogok kerja] itu sudah meledak sejak 3 Januari ketika pejabat kementerian mengatakan pada 2025 tidak dianggarkan tukin untuk dosen. Tapi kami masih menimbang efek positif dan negatifnya,” kata Koordinator Adaksi, Anggun Gunawan kepada BBC News Indonesia.
Menanggapi persoalan ini Wamendikti Saintek, Stella Christie, bilang kementerian sedang menyelesaikan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tukin dosen ASN.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Perpres tersebut, katanya, diperlukan sebagai aturan turunan untuk mencairkan anggaran. Adapun rancangan Perpres sedang dalam tahap harmonisasi.
‘Saya capek kerja dobel-dobel’
Dosen di Universitas Musamus Merauke, Ekfindar Diliana, mengaku sudah sangat capek kerja dobel demi menambah penghasilan.
Setiap hari Senin hingga Jumat, dari pukul 07:30 WIT – 16:30 WIT, Fina –sapaan akrabnya– mengajar mata kuliah Linguistik dan mengurusi urusan administrasi yang tak kalah berat juga bikin stres.
Kemudian setelah pulang dari kampus, dia mesti melakoni pekerjaan sampingan sebagai guru les Bahasa Inggris untuk anak-anak SD hingga SMA.
Rutinitas itu, ungkapnya, sudah dilakukan kira-kira hampir tiga tahun. Persis ketika dia bertugas di Merauke, Papua.
“Saya pengennya berhenti, saya sudah jadi dosen ingin fokus ngajar di kampus, enggak usah [kerja sampingan]. Rasanya kayak perang batin… capek banget,” ujar Fina kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/01).
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Sebagai dosen ASN di bawah naungan Kemendikti Saintek, gaji Fina Rp3,6 juta per bulan.
Gaji itu ditambah tunjangan jabatan fungsional sekitar Rp370.000, tunjangan kemahalan Rp350.000, dan tunjangan uang makan Rp35.000.
Hanya saja angka segitu, untuk hidup di Papua, katanya jauh dari kata cukup.
Sebab upahnya harus terbagi-bagi untuk keluarganya di Brebes, Jawa Tengah dan kebutuhan sehari-hari di tanah rantau.
“Bayar kos-kosan Rp1,8 juta, belum cicilan rumah KPR, kalau bergantung pada gaji, minus. Saya enggak makan, kalau enggak ngajar les di luar.”
“Jadi untuk makan itu saya sangat berhemat sekali, Rp500.000 sebulan, masak sendiri.”
Baca juga:
Fina bercerita kesulitan yang dialaminya, juga dirasakan rekan-rekan sejawat. Ada dosen yang bekerja sampingan dengan berjualan kue atau menawarkan proyek ke pemerintah daerah saking tak cukupnya gaji.
Itu mengapa, kata Fina, tunjangan kinerja (tukin) sangat-sangat membantu jika diberikan.
Karena kalau merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024, dosen aparatur sipil negara dengan jabatan asisten ahli –seperti dirinya– mendapatkan tukin sebesar Rp5 juta per bulan.
Dengan begitu, dia bisa fokus mengurusi mahasiswanya yang memang sangat membutuhkan. Pasalnya beberapa anak didiknya ada yang tidak tahu membaca dan berhitung. Alhasil dia harus memberikan pelajaran ekstra kepada mereka.
Persoalan seperti itu, menurut Fina, menjadi tantangan tersendiri.
“Beberapa kali kami pengajar bilang, anak-anak ini butuh kita. Cuma bagaimana supaya kita fokus sementara kita punya keluarga yang perlu makan? Otomatis bercabang fokusnya,” imbuh Fina.
“Makanya saya awal datang ke Papua dan tahu gaji segitu, syok. Kok berbeda dengan teman-teman dosen di kementerian lain cerita dapat remunerasi dan tukin.”
“Pertanyaan-pertanyaan itu dulu saya pendam, karena masih baru. Setelah persoalan ini membludak, saya baru tahu kalau kami sebenarnya dapat tukin sejak tahun 2020.”
“Intinya kami kerja dengan tulus, tapi pemerintah tolong perhatikan kesejahteraan kami.”
Kenapa tukin untuk dosen ASN Kemendikti Saintek tak ada?
Persoalan tak adanya tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen ASN di Kemendikti Saintek atau dulu bernama Kemendikburistek mengemuka setelah disuarakan oleh Aliansi Dosen ASN Kementendikti Saintek Seluruh Indonesia atau Adaksi yang kebanyakan beranggotakan dosen-dosen muda.
Koordinatornya, Anggun Gunawan, mengatakan sekitar tahun 2022 suara-suara keresahan mengenai tukin ini sebetulnya sudah terdengar, namun masih segelintir orang saja.
Saat itu –di masa kepemimpinan Nadiem Makarim– sejumlah dosen mempertanyakan ketiadaan tukin dosen di Kemendikbud Ristek. Sementara tenaga kependidikan administratif mendapatkan tunjangan kinerja sejak tahun 2020.
Di waktu itu, klaim Anggun, jawaban pejabat kementerian sangat normatif: tidak ada aturannya.
Di sisi lain, Nadiem Makarim disebut terlalu memprioritaskan program andalannya: Kampus Merdeka.
Barulah di akhir-akhir jabatannya, mantan bos Gojek ini membuat regulasi berupa Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024 yang mengatur tentang tukin.
Berpegang pada aturan itu, para dosen ASN dijanjikan tukin akan diberikan per 1 Januari 2025. Di beleid tersebut juga dijabarkan nominal tunjangan dosen per kelas jabatan.
Dosen dengan jabatan asisten ahli dengan kelas jabatan 9 mendapat tunjangan kinerja Rp5 juta per bulan, lektor Rp8,7 juta per bulan, lektor kepala Rp10,9 juta per bulan, serta profesor Rp19,2 juta per bulan.
Akan tetapi, harapan itu kandas.
“Kata kementerian yang sekarang, anggaran tukin saat itu belum disetujui oleh Kemenkeu,” ujar Anggun kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/01).
Baca juga:
Mengutip pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Prof. Togar M. Simatupang, tidak adanya tukin dosen pada 2025 dikarenakan perubahan nomenklatur dari kementerian pendidikan sebanyak dua kali hingga akhirnya adalah Kemendikbud Ristek.
Akibatnya, dana tukin tidak dianggarkan dalam APBN 2025.
Namun dalih nomenklatur itu, bagi Anggun dan dosen lainnya, dianggap tidak masuk akal.
Sebab aturan soal tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN merupakan amanat dari UU ASN tahun 2014 dan diturunkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Karena kami melihat ada semacam ketidakseriusan kementerian untuk mewujudkan tukin dosen ASN ini. Itu terlihat dari statement yang berbeda-beda, ada yang bilang tidak dianggarkan, tidak masuk nomenklatur,” ungkapnya.
Atas dasar itulah para dosen-dosen ASN di bawah naungan Kemendikti Saintek menggelar aksi-aksi protes. Mulai dari membuat petisi, mengirimkan karangan bunga, hingga audiensi ke DPR.
Langkah terakhir yang mungkin akan dilakukan adalah mogok kerja.
“Tapi kami masih menimbang plus dan minusnya, ada pertimbangan kalau mogok efeknya ke mahasiswa, sementara [tukin] bukan salah mahasiswa.”
“Meski teman-teman dosen sudah banyak menyuarakan untuk mogok dan itu jalan terakhir ketika sampai pertengahan Februari atau Maret nanti tidak ada progres serius dari pemerintah.”
Progres yang dimaksud Anggun adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tukin dosen ASN.
Hitungan Adaksi, jika tukin ini dilaksanakan maka setidaknya ada 60.000-70.000 dosen ASN yang akan mendapatkan tunjangan. Dosen-dosen itu termasuk yang mengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta.
Anggun juga bilang dengan adanya tukin kesejahteraan para pengajar setidaknya bisa lebih layak dan tidak harus “ngamen” alias kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Baca juga:
Ia khawatir kalau kesejahteraan dosen saja tak layak, maka orang-orang yang sedianya mampu menjadi dosen di Indonesia akan mundur dan memilih bekerja di perusahaan multinasional.
“Saya kuliah di UK bertemu dengan teman-teman Indonesia, dan saya melihat kecenderungan mereka untuk balik ke Indonesia menjadi dosen sangat rendah karena tahu gajinya kecil.”
“Yang saya takutkan ketika kesejahteraan dosen tidak layak, kita akan jadi brain drain.”
Brain drain adalah fenomena ketika tenaga kerja terampil, berpendidikan tinggi, dan berbakat meninggalkan negara asalnya untuk bekerja di tempat lain. Brain drain secara tidak langsung merugikan negara asal karena kehilangan sumber daya manusia terbaik.
“Tuntutan kami yang utama tukin per 1 Januari 2025 bisa dicairkan dan masuk rekening kami, kalau tidak kami enggak akan berhenti berteriak.”
Alasan nomenklatur terlalu mengada-ada
Senada dengan Adaksi, sejumlah pengamat pendidikan menilai Kemendikti Saintek tidak menganggarkan tunjangan kinerja dosen aparatur sipil negara karena perubahan nomenklatur “terlalu mengada-ada”.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan perubahan nomenklatur kerap terjadi tiap kali berganti pemerintahan.
Tapi tunjangan kinerja semestinya mustahil meleset dari anggaran pemerintah lantaran tukin merupakan hak yang melekat pada ASN.
“Saya merasa bukan cuma kelalaian sehingga harus ada audit internal kenapa hak dosen tidak bisa ditunaikan dan alasannya nomenklatur,” ujar Ubaid kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, mencurigai tak adanya anggaran tukin untuk dosen ASN di Kemendikti Saintek karena adanya “politik anggaran” yang memang menghendaki penghapusan tukin.
Misalnya dikarenakan prioritas pemerintah untuk program lain seperti Makan Bergizi Gratis.
Jika itu yang terjadi, katanya, maka menjadi ironi sekaligus memperlihatkan tidak adanya niat pemerintah menghargai profesi dosen.
“Ini kan ironi dan betapa lucunya negeri ini, di satu sisi program-program pemerintah ada pemborosan seperti Makan Bergizi Gratis tapi di sisi lain ada pengurangan tunjangan yang diterima profesi dosen yang katanya kunci bagi sumber daya manusia di tahun 2045,” tutur Jejen kepada BBC News Indonesia.
“Buat saya alasan nomenklatur itu ngelesnya pemerintah aja.”
“Bayangkan dosen mulai meniti karir, mengabdi, dibebani tugas-tugas, kuliah S2 bahkan S3, masak negara membayar gaji mereka sama kayak UMR? Kan enggak masuk akal.”
Jejen berharap menteri yang baru betul-betul memperjuangkan hak para dosen. Kalau tidak, maka dia bisa disebut bukan pemimpin yang berani dan mengambil risiko.
Berkaca pada Malaysia saja, ungkapnya, gaji dosen dengan pendidikan S3 mencapai Rp18 juta. Belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya.
Apa tanggapan pemerintah dan DPR?
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengatakan pihaknya sudah mengajukan tambahan anggaran Rp2,6 triliun kepada Kementerian Keuangan terkait pembayaran tukin dosen.
Tukin itu, klaimnya, akan cair pada 2025 jika sudah mendapat persetujuan dari Kemenkeu dan Badan Anggaran DPR.
Sementara itu, Wamendikti Saintek, Stella Christie, bilang kementerian juga sedang menyelesaikan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tukin dosen ASN.
Perpres tersebut, katanya, diperlukan sebagai aturan turunan untuk mencairkan anggaran. Adapun rancangan Perpres sedang dalam tahap harmonisasi.
Adapun menurut Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH. Said Abdullah, anggaran tukin dosen ASN sebetulnya masuk dalam nomenklatur belanja pegawai di Kemendikti Saintek.
Pembahasan di Banggar, sambungnya, tidak menyangkut rincian belanja pegawai, namun besaran belanja pegawai. Sebab posisi DPR tidak menjangkau sampai rincian alokasi anggaran hingga di satuan terkecil.
“Prinsipnya Badan Anggaran DPR mendukung penuh upaya meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Peran guru dan dosen sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” katanya dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia.
“Kalau guru dan dosen tidak dipikirkan kesejahteraannya oleh negara, maka tugas utama guru dan dosen untuk memajukan kualitas pendidikan akan tidak maksimal.”
Baca juga:
Oleh sebab itu, Badan Anggaran DPR mendorong agar Kemendikti untuk segera membicarakannya dengan Menteri Keuangan jika memang alokasi tunjangan dosen pada tahun 2025 ini tidak dianggarkan.
Dan tentu semua itu juga harus mendapatkan persetujuan dari Presiden Prabowo. Sebab tunjangan dosen harus diatur dalam Peraturan Presiden. Secara prinsip, Badan Anggaran DPR mendukung penuh upaya tersebut.
“Saya berpendapat, sambil menunggu persetujuan Peraturan Presiden, sebaiknya tunjangan dosen yang nantinya diberikan setelah diundangkannya Peraturan Presiden dapat diberikan secara akumulatif atau dirapel, sehingga tidak diberikan pada saat sesudah Peraturan Presiden diberlakukan.”