KUBET – Bentrokan Pemuda Pancasila dan GRIB Jaya – Benarkah tuduhan preman-preman ‘binaan’ negara?

Bentrokan Pemuda Pancasila dan GRIB Jaya – Benarkah tuduhan preman-preman ‘binaan’ negara?

Rosario Marcal alias Hercules dan Japto Soerjosoemarno.

Sumber gambar, Detik & Tribun News

Keterangan gambar, Rosario Marcal alias Hercules (kiri), pimpinan ormas GRIB Jaya, dan Japto Soerjosoemarno (kanan), pimpinan ormas Pemuda Pancasila.

  • Penulis, Viriya Singgih
  • Peranan, BBC News Indonesia

Bentrokan antara Pemuda Pancasila dan Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya di Kabupaten Blora dan Kota Bandung memunculkan berbagai pertanyaan dan tuduhan soal preman-preman berpayung organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia. Benarkah mereka sengaja dipelihara untuk menjaga kepentingan ekonomi dan politik negara dan pihak-pihak tertentu?

Pada Senin (13/1), puluhan anggota Pemuda Pancasila pimpinan Japto Soerjosoemarno menggeruduk markas GRIB Jaya pimpinan Rosario Marcal alias Hercules di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Saat itu ketua Pemuda Pancasila Blora, Munaji, mengatakan pihaknya “tidak suka” dengan kehadiran GRIB Jaya di Blora, sembari melontarkan berbagai tuduhan terhadap ormas yang terafiliasi dengan Presiden Prabowo Subianto tersebut.

GRIB Jaya Blora disebut beroperasi secara ilegal dan bahkan pimpinannya dituding sebagai mafia pupuk subsidi.

“Kalau kepengin jadi organisasi di Blora, izin legalitas harus dipenuhi dulu. Jangan menjadi preman,” kata Munaji, seperti dilaporkan Detik.

“Ini Blora, bukan Timor Timur. Kalau menjadi organisasi tolong kepentingan masyarakat diutamakan, jangan kepentingan perut sendiri.”

Ketua GRIB Jaya Blora, Sugiyanto, menepis tuduhan Pemuda Pancasila dan menegaskan pihaknya telah mendapat semua izin yang dibutuhkan untuk beroperasi.

Pada Selasa (14/1), bentrokan terjadi antara para anggota Pemuda Pancasila dan GRIB Jaya di dua kecamatan berbeda: Blora dan Kunduran. Menurut catatan polisi, 12 orang terluka karena kejadian ini.

Rabu (15/1), kedua ormas sepakat berdamai dengan meneken surat pernyataan bermeterai di Pendopo Bupati Blora, dengan disaksikan Bupati Blora Arief Rohman dan perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).

Pemuda Pancasila dan GRIB Jaya Blora sepakat berdamai dengan meneken surat pernyataan bermeterai di Pendopo Bupati Blora, dengan disaksikan Bupati Blora Arief Rohman dan perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Rabu (15/1).

Sumber gambar, Achmad Niam Jamil/Detik

Keterangan gambar, Pemuda Pancasila dan GRIB Jaya Blora sepakat berdamai dengan meneken surat pernyataan bermeterai di Pendopo Bupati Blora, dengan disaksikan Bupati Blora Arief Rohman dan perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Rabu (15/1).

Setelah damai di Blora, bentrokan baru muncul di Bandung dan Tasikmalaya, Jawa Barat, pada hari yang sama.

Anggota GRIB Jaya diduga menyerang kantor Pemuda Pancasila Jawa Barat di Kota Bandung sehingga setidaknya 12 orang terluka.

Sejumlah anggota GRIB Jaya yang pulang dari Bandung lantas sempat bersitegang dengan anggota Pemuda Pancasila di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya.

Kantor GRIB Jaya di Kota Tasikmalaya pun disebut mendapat serangan pada malam hari.

Japto dan Hercules sebagai pimpinan nasional kedua ormas tersebut kemudian memberi komando kepada seluruh anggota masing-masing untuk segera menghentikan konflik.

Garis.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Garis.

Situasi kini telah adem, meski belum jelas apa akar masalah yang memicu bentrok awal di Kabupaten Blora.

Yang pasti, gesekan dan persaingan antara kedua ormas tersebut telah terjadi sejak puluhan tahun silam.

Dengan menengok sejarah keduanya, kita pun dapat mendalami bagaimana pemerintah sejak lama mengonsolidasi pemuda-pemuda jalanan dalam kerangka organisasi formal sebagai “modus kontrol sosial dan pungutan rente”.

Pemuda Pancasila: Dari pembantaian komunis hingga ‘kelahiran kembali’ di bawah kendali Japto

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Pemuda Pancasila mulanya bernama Pemuda Patriotik. Ia adalah organisasi sayap dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk sebagai lawan tanding Pemuda Rakyat, organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI).

IPKI adalah partai bentukan komandan militer legendaris AH Nasution. Ia didirikan pada 1954, dua tahun setelah Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat. Tujuannya mewadahi para tentara aktif plus mantan pejuang kemerdekaan yang tak jelas nasibnya setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 1949.

Ada beberapa versi sejarah transformasi Pemuda Patriotik menjadi Pemuda Pancasila.

Salah satunya adalah versi Spego Goni, yang mengeklaim diri sebagai pendiri Pemuda Pancasila. Ini dicatat Loren Ryter dalam esainya berjudul “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?” (1998).

Menurut Spego, Pemuda Patriotik sebenarnya telah berubah menjadi Pemuda Pancasila pada 28 Oktober 1959, tapi baru diresmikan secara formal saat kongres IPKI di Surabaya pada 1961.

Berdasarkan penelitian Ryter, Pemuda Patriotik awalnya membangun basis massa di Jakarta dengan merekrut kelompok marginal urban, termasuk para gelandangan dan pengangguran dari daerah Pasar Senen.

Pasar Senen di Jakarta tempo dulu.

Sumber gambar, Detik

Keterangan gambar, Pasar Senen di Jakarta tempo dulu.

Tenaga mereka saat itu dibutuhkan IPKI, yang mendapat jatah proyek pengembangan kompleks olahraga Senayan.

Namun, pada awal 1960-an, Pemuda Pancasila banyak merekrut tokoh-tokoh dari luar Jakarta, khususnya Medan, Sumatra Utara.

Salah satunya adalah Effendi Nasution alias Pendi Keling, petinju sekaligus pemimpin Persatuan Pemuda Kota Medan (P2KM).

P2KM lantas berubah jadi Pemuda Pancasila cabang Medan, dan Pendi jadi ketuanya.

“P2KM, yang kemudian menjadi PP Medan, pada dasarnya merupakan badan usaha yang mempekerjakan pemuda jalanan untuk melakukan pemerasan dan menawarkan jasa keamanan swasta sebagai penjaga malam, khususnya bagi etnis China,” tulis Ryter.

Setelah peristiwa 30 September 1965, Pemuda Pancasila—khususnya di Medan dan Aceh—disebut aktif membantai orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI.

Ini beda dengan Pemuda Pancasila Jakarta, yang saat itu tampak lebih tertarik merampas harta benda atau aset-aset PKI di ibu kota.

Baca juga:

Pada periode 1970-an, Pemuda Pancasila di Medan dan Jakarta beroperasi dengan gaya berbeda.

Di Medan, mereka secara sengaja merekrut sebagian besar preman kota, sehingga berhasil menguasai bioskop-bioskop serta berbagai kompleks hiburan setempat.

Di Jakarta, mereka aktif berperan membersihkan para loyalis Sukarno di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang berdiri setelah lima partai sepakat melebur jadi satu pada 1973: IPKI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Meski begitu, 1970-an kerap dianggap sebagai “periode tenang” Pemuda Pancasila.

Kata Ryter, Pemuda Pancasila seakan “lahir kembali” setelah Japto Soerjosoemarno terpilih menjadi ketua umum pada 1981.

Japto Soerjosoemarno menjabat ketua umum Pemuda Pancasila sejak 1981.

Sumber gambar, Lamhot Aritonang/Detik

Keterangan gambar, Japto Soerjosoemarno menjabat ketua umum Pemuda Pancasila sejak 1981.

Japto adalah anak Mayor Jenderal KPH Soetarjo Soerjosoemarno, yang dekat dengan keluarga Soeharto. Japto bahkan tercatat masih sepupu jauh Siti Hartinah atau Tien, istri Soeharto, dari garis keturunan Mangkunegaran Solo.

Pada 1970-an, Japto membangun reputasi sebagai jagoan dari Siliwangi Boys Club—sebutan bagi geng anak tentara yang tinggal di Jl. Siliwangi dekat Lapangan Banteng di Jakarta.

“Jika keluarga Soeharto melihat perlunya basis preman, Yapto kemungkinan besar dianggap sebagai kandidat yang tepat untuk itu,” kata Ryter.

Di bawah kepemimpinan Japto, Pemuda Pancasila berhasil mengonsolidasi para preman atau jagoan jalanan dalam kerangka organisasi modern nan formal, yang memiliki jenjang kepemimpinan bertingkat dan rantai komando rapi.

Perlahan, seperti kata Ryter, Pemuda Pancasila kemudian sukses membuat dirinya dibutuhkan oleh rezim Soeharto.

Meski tidak memiliki hubungan formal dengan Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan mesin politik utama Soeharto di era Orde Baru, Pemuda Pancasila konsisten berkampanye dan memobilisasi dukungan untuk partai tersebut sejak pemilu 1982.

Baca juga:

Setidaknya sejak 1987, peran Pemuda Pancasila pun mulai diakui militer, membuka jalan untuk “kerja sama” antara keduanya pada masa mendatang.

Merujuk catatan Ryter, Japto sempat membanggakan soal seringnya komandan tentara meminta bantuan Pemuda Pancasila untuk menghentikan kerusuhan di berbagai daerah, yang sebenarnya didalangi juga oleh ormas ini.

“Seperti yang diindikasikan oleh anggota Siliwangi Boys sekaligus mantan sekretaris jenderal PP, Tagor [Lumbanraja], hanya melalui ‘insiden’ sebuah geng dapat eksis. Agar dapat tumbuh kuat, ia harus menciptakan konflik, untuk menunjukkan ‘eksistensinya’,” tulis Ryter.

Bila ada anggota Pemuda Pancasila yang kedapatan melakukan kejahatan, imbuhnya, si pelaku biasanya akan dirujuk sebagai “oknum” sehingga nama baik organisasi tidak tercemar.

Sebagai imbalan atas jasanya, Ryter bilang Pemuda Pancasila berharap mendapat “konsesi konkret”.

Ini bisa dalam bentuk izin untuk mengendalikan perputaran uang dari sektor ekonomi informal seperti pengelolaan parkir dan pedagang, atau “uang transportasi” dalam rangka menggerakkan massa untuk demonstrasi atau acara yang mendukung pejabat tertentu.

Selain itu, kata Ryter, mereka mengharapkan bantuan pejabat daerah dalam mempekerjakan anak mereka di kantor-kantor tingkat distrik dan desa, atau akses istimewa dalam menyalurkan anggota mereka ke posisi-posisi lainnya, entah di pemerintahan atau sektor swasta.

Studi Ian Wilson, yang dipublikasikan dalam bukunya berjudul Politik Jatah Preman (2015), juga membahas hal serupa.

Wilson mengatakan, selama Orde Baru, geng-geng preman kian terlembagakan. Mereka disebut dikooptasi oleh tangan-tangan negara, utamanya militer, sehingga terbentuk sebuah struktur luas yang serupa dengan “cabang-cabang waralaba informal”.

Presiden otoriter Soeharto memimpin rezim Orde Baru pada periode 1967-1998.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Presiden otoriter Soeharto memimpin rezim Orde Baru pada periode 1967-1998.

Pemuda Pancasila, sebut Wilson, diperbolehkan menjalankan sistem jatah preman mereka sendiri di tingkat lokal dengan syarat hasilnya masuk ke struktur pemerintahan formal.

“Agar lapisan-lapisan sistem ini bisa berfungsi, geng-geng preman juga perlu diwajibkan menjalankan ‘tugas-tugas pemeliharaan rezim’, termasuk meneror dan menggertak para pembangkang dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya yang berpotensi mengguncang hubungan-hubungan kuasa yang mapan, sambil mengumbar omong kosong soal menjalankan ideologi negara,” tulis Wilson.

Selain membudidayakan jejaring kriminal, Soeharto juga disebut menggalakkan persaingan dan pertarungan kekuatan antar-kelompok.

Dengan begitu, negara bisa menunjuk kelompok preman yang ada sebagai ancaman, yang terhadapnya masyarakat perlu dilindungi.

Mudahnya, pemerintah berusaha menghadirkan solusi atas masalahnya yang dibuatnya sendiri.

Karena itu, muncul berbagai organisasi nasionalis pemuda yang berisi preman-preman. Kata Wilson, mereka dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru sebagai “modus kontrol sosial dan pungutan rente”.

Karena itu, organisasi-organisasi tersebut kerap menemui gesekan-gesekan di lapangan dalam upaya mengendalikan sumber-sumber kesejahteraannya.

Salah satu organisasi pemuda yang kerja-kerjanya bergesekan dengan Pemuda Pancasila adalah Pemuda Panca Marga (PPM), sayap pemuda Liga Veteran yang juga merupakan pendukung setia Golkar dan tentara.

Melalui PPM, Rosario Marcal alias Hercules membangun reputasinya.

Hercules: Dari tenaga bantuan militer hingga GRIB Jaya

Kawasan pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat sejak lama memiliki tradisi jagoan dan setoran lokal.

Dalam bukunya Politik Jatah Preman (2015), Ian Wilson mencatat setelah Indonesia merdeka kawasan ini telah menjadi “lapangan berburu” bagi anggota berbagai satuan laskar yang dimobilisasi selama revolusi.

Pungutan liar dengan berbagai macam nama hadir di Tanah Abang, entah uang keamanan, uang lewat, uang komisi, dan sebagainya.

Dan, sepanjang pertengahan 1990-an, sebagian besar uang perlindungan ini dipungut oleh Rosario Marcal, yang dikenal luas dengan panggilan Hercules.

Menurut catatan Wilson, Hercules dibawa ke Jakarta dari Timor Timur (kini Timor-Leste) pada akhir 1980an sebagai bagian dari kampanye strategis yang dikonsep Prabowo Subianto, menantu Soeharto.

Baca juga:

Kampanye itu bertujuan “merangkul masyarakat Timor yang terbuang” dengan memberi mereka pekerjaan dan pelatihan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka kepada Indonesia, plus untuk menangkal persepsi negatif dunia internasional atas pendudukan Indonesia di sana.

Rosario sendiri diduga mendapat julukan Hercules dari tentara Indonesia di Timor Timur karena, meski kurus, ia sanggup menggangkut 100 kilogram karung beras sebagai bagian dari kerjanya sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO) militer Indonesia di sana.

Rosario Marcal alias Hercules dibawa ke Jakarta dari Timor Timur (kini Timor-Leste) pada akhir 1980an.

Sumber gambar, Agung Pambudhy/Detik

Keterangan gambar, Rosario Marcal alias Hercules dibawa ke Jakarta dari Timor Timur (kini Timor-Leste) pada akhir 1980an.

Hercules “dipungut” militer Indonesia pada pertengahan 1980-an setelah orang tuanya terbunuh dalam pengeboman udara kota Ainaro di Timor Timur pada 1978.

Sebagai TBO, Hercules disebut menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, hingga ia membangun hubungan erat dengan Prabowo, yang bertugas sebagai panglima Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 Kostrad di Timor Timur pada 1988-1989.

“Menurut Hercules, ia ‘berutang nyawa’ kepada Prabowo pada masa-masa ini, dan sejak saat itu Prabowo menjadi ‘satu-satunya orang yang bisa mukul saya tanpa saya balas’,” tulis Wilson, berdasarkan hasil wawancaranya dengan Hercules di Jakarta pada 2006.

Setelah pindah ke Jakarta, mulanya Hercules bekerja di sebuah bengkel bersama beberapa puluh kawan yang sama-sama berasal dari Timor Timur.

Namun, upah yang tak seberapa mendorongnya berjualan rokok di Tanah Abang. Meski sempat menjadi sasaran preman setempat, pamor Hercules perlahan naik karena ia berani melawan balik, sering kali dengan goloknya.

Lama-kelamaan, makin banyak orang yang jadi pengikutnya. Pada 1993, menurut Wilson, geng Hercules di Tanah Abang telah memiliki anggota nyaris 400 orang—kebanyakan adalah pemuda Indonesia timur.

Karena pernah menjadi TBO di Timor Timur, Hercules diterima sebagai anggota ormas Pemuda Panca Marga (PPM) dan memenuhi syarat sebagai pensiunan militer. Koneksi ini penting untuk mengonsolidasi “jasa pengamanannya” di Tanah Abang, kata Wilson.

Aktivitas pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat pada 1990an akhir.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aktivitas pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat pada 1990an akhir.

Loren Ryter, dalam esainya berjudul “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?” (1998), menyampaikan hal senada.

Hercules dan gengnya disebut rutin dikontrak oleh pemerintahan Orde Baru untuk merundung dan berunjuk rasa melawan kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di Jakarta, “mengungguli” Pemuda Pancasila yang juga kerap menawarkan jasa serupa.

“Berdasar pengakuan Hercules sendiri, ia sering diminta untuk ‘menghajar’ para aktivis kemerdekaan, dan darah orang Timor-nya memberi suatu ‘otentisitas’ pada serangan-serangan itu,” kata Wilson.

Baca juga:

Meski begitu, kekuasaan Hercules di Tanah Abang perlahan terkikis karena perpecahan internal gengnya dan reputasi bengisnya sendiri.

Ini membuatnya tidak disukai banyak pihak di luar gengnya, dari sesama anggota PPM hingga geng-geng preman lain dan warga lokal Tanah Abang.

“Hercules dan gengnya, menurut perkataan salah seorang pejabat pemerintah setempat, sudah ‘lewati batas’ dan kini menjadi beban besar di mata walikota, militer dan para pemangku kepentingan lokal lainnya,” kata Wilson.

Negosiasi antara geng Jatibunder dan Jatibaru—pesaing geng Hercules—bersama walikota dan panglima militer setempat lantas berujung pada pembentukan ormas baru bernama Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT).

Yusuf Masehi, tokoh Betawi setempat yang akrab disapa Bang Ucu, didapuk jadi ketua IKBT, yang mendapat mandat untuk menuntaskan “masalah preman” di Tanah Abang.

Yusuf Masehi, tokoh Betawi yang akrab disapa Bang Ucu.

Sumber gambar, KURNIA SARI AZIZA/Kompas.com

Keterangan gambar, Yusuf Masehi, tokoh Betawi yang akrab disapa Bang Ucu.

Pada akhir 1997, rentetan serangan dari IKBT akhirnya memukul mundur Hercules dan gengnya, memaksa mereka pergi meninggalkan Tanah Abang.

Setelah diusir dari Tanah Abang, Hercules berusaha membangun kembali bisnisnya. Merujuk catatan Wilson, ia banyak bermain di “jasa lukratif penagihan utang, keamanan, dan makelar tanah untuk melayani elite-elite bisnis dan politik Jakarta”.

Hercules disebut terus menjejakkan kaki di dunia politik geng, sembari mencoba menunjukkan bahwa ia telah bertobat dari masa lalunya sebagai preman.

Menghadapi pemilu 2009, ia bergabung dengan tim kampanye presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ikut membantu SBY mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo.

Namun, seiring semakin jelasnya ambisi Prabowo untuk maju kembali di pemilu 2014, kali ini sebagai calon presiden, Hercules merapat ke Prabowo.

Pada Juli 2012, Hercules mengumumkan pendirian ormas bernama Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB). Prabowo didapuk sebagai ketua dewan pembina.

GRIB, yang bertujuan besar membawa Prabowo menjadi presiden, kemudian diisi “jaringan preman dan orang kuat, bekas militer dan milisi, kelompok-kelompok seni bela diri dan penguasa-penguasa lokal yang terhubung dengan Hercules dan Prabowo”, kata Wilson.

“Organisasi dibuat dan ditujukan sebagai sayap operasional Gerindra, statusnya ‘mandiri’ untuk mengambil jarak seandainya terjadi skandal,” kata Wilson.

“Dengan perintah tegas untuk menghindari setiap kegiatan kriminal terang-terangan, GRIB menjadi payung organisasional yang sangat disiplin bagi jejaring luas pengusaha kekerasan yang dimiliki Prabowo, dengan Hercules memegang komando.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan petinggi GRIB di Jakarta pada 2014, Wilson mengatakan jejaring GRIB menebar desas-desus dan tuduhan tentang Joko Widodo—lawan Prabowo di pemilu presiden—dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai pendukungnya.

Prabowo Subianto bersaing dengan Joko Widodo di pemilihan umum presiden 2014.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Prabowo Subianto bersaing dengan Joko Widodo di pemilihan umum presiden 2014.

Prabowo kalah di pilpres 2014. Namun, ia maju lagi lima tahun berselang, masih dengan dukungan ormas Hercules yang pada 2019 berganti nama menjadi Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya.

Prabowo baru mencicipi kemenangan pada pilpres 2024. Dari sana, Hercules dan GRIB Jaya dapat memandang patronnya di kursi presiden.

‘Belajar dari politik adu domba Belanda’

Ricardi S. Adnan, Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia, menilai para preman berpayung ormas bisa hadir salah satunya karena negara tak punya cukup sumber daya untuk menjaga keteraturan sosial.

Jumlah aparat penegak hukum, entah tentara, polisi, ataupun Satpol PP, disebut tidak cukup untuk mengatur dan mengamankan Indonesia yang begitu luas dengan penduduk begitu banyak.

Karena itu, kata Ricardi, pejabat pemerintah tampaknya belajar dari politik adu domba atau divide et impera yang dahulu dijalankan penjajah Belanda untuk menjalankan kontrol sosial.

Kelompok sipil yang menentang kebijakan tertentu, lantas sengaja dihadapkan dengan kelompok sipil lainnya, dalam hal ini ormas yang sebenarnya adalah kepanjangan tangan pemerintah.

“Jadi, menghadapi massa dengan massa juga,” kata Ricardi.

Ricardi S. Adnan, Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia.

Sumber gambar, Universitas Indonesia

Keterangan gambar, Ricardi S. Adnan, Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia.

Tak hanya pejabat pemerintah, elite politik, pejabat kepolisian dan militer, dan pengusaha pun disebut kerap mengadopsi cara serupa demi mengamankan kepentingan ekonomi dan/atau politik masing-masing.

“Itu buat apa kepentingannya? Kepentingannya ya biar dia aman, biar dia lancar, biar dia semakin maju, biar tidak ada yang mengganggu gugat,” kata Ricardi.

“Kalau ada yang mengganggu gugat, dia tidak perlu repot, bisa ditangani [kelompok] yang sudah dibina selama ini.”

Di sisi lain, para anggota ormas yang “dibina” merasa memiliki beking kuat, sehingga berani bertindak semena-mena di lapangan layaknya preman, imbuhnya.

Sejumlah studi, termasuk yang dilakukan Loren Ryter dan Ian Wilson seperti yang telah dibahas sebelumnya, juga menunjukkan bagaimana selama ini negara berperan penting mengonsolidasi pemuda-pemuda jalanan dalam kerangka organisasi formal dan memelihara mereka untuk berbagai kepentingan ekonomi dan politik.

Anggota Pemuda Pancasila berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, pada 25 November 2021.

Sumber gambar, Detik

Keterangan gambar, Anggota Pemuda Pancasila berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, pada 25 November 2021.

Piala Simanjuntak, Ketua Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan Nasional Pemuda Pancasila, mengatakan wajar-wajar saja bila ada orang-orang yang menganggap organisasinya berlaku seperti preman.

Namun, ia menegaskan, sejak lahir pada 28 Oktober 1959, Pemuda Pancasila selalu bersetia pada Pancasila.

Piala pun menepis anggapan bahwa Pemuda Pancasila kerap dimanfaatkan pihak-pihak berkuasa sebagai alat legitimasi kekerasan.

Menurutnya, karena telah beroperasi begitu lama dan memiliki begitu banyak anggota, Pemuda Pancasila seakan jadi “sasaran besar” yang mudah dikambinghitamkan atau dibawa-bawa saat terjadi sesuatu.

“Ibarat kejuaraan menembak, sasarannya itu kan biasanya kecil. Kita itu sasaran besar. Tutup mata pun dapat [kena sasaran],” kata Piala.

“Melempar batu tanpa melihat pun, kita lemparnya ke belakang, karena sasarannya besar pasti dapat.”

Marcelinus Gual, Kepala Bidang Humas GRIB Jaya, juga mengatakan orang-orang bebas berpendapat mengenai organisasinya, termasuk menganggapnya sebagai organisasi preman.

Meski begitu, menurutnya persepsi semacam itu muncul karena banyak orang belum memahami betul visi dan misi GRIB Jaya.

Rosario Marcal alias Hercules, ketua umum Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya.

Sumber gambar, LABIB ZAMANI/Kompas.com

Keterangan gambar, Rosario Marcal alias Hercules, ketua umum Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya.

Marcel bilang orang-orang kerap hanya menyoroti hal negatif dari GRIB Jaya, meski organisasi pun kerap melakukan kegiatan sosial dan membantu masyarakat yang membutuhkan.

Menurutnya, penting untuk membedakan antara individu dan organisasi, dan kesalahan satu individu tidak bisa merepresentasikan keseluruhan organisasi.

Bila ada studi yang menyebut ormas seperti GRIB Jaya sengaja dipelihara satu pihak untuk menjaga kepentingan ekonomi dan politik tertentu, Marcel menduga bisa saja itu karena sampel yang digunakan dalam studi melibatkan oknum yang lagi-lagi tidak mewakili organisasi seutuhnya.

“Saya selalu melihat bahwa kita itu bersinergi dengan aparat penegak hukum,” kata Marcel.

“Apakah dia untuk kepentingan politik dan ekonomi tertentu? Itu no comment, tapi setiap organisasi kan pasti punya tujuan dan visi.”

Ida Ruwaida Noor, dosen sosiologi Universitas Indonesia, menegaskan pentingnya sebuah mekanisme untuk mengaudit keberadaan ormas dan kontribusinya pada publik.

Apalagi, katanya, banyak ormas yang perlu dipertanyakan arah, prinsip, nilai, dan strateginya.

Selain itu, Ida bilang selama ini sangat mudah untuk membentuk ormas, tapi banyak di antaranya yang kemudian “mati suri”.

“Banyak ormas mati suri, namun pada konteks tertentu tiba-tiba ‘bangkit’ hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, biasanya yang terkait isu ekonomi atau politik,” kata Ida.

“Perlu ada mekanisme yang secara legal membuat komunitas bisa ikut andil [mengawasi ormas] dan perlu ada rambu-rambu.”

Ini memang tak mudah, kata Ida. Apalagi, sebagian masyarakat cenderung apatis karena rasa tidak percaya pada ormas itu sendiri, yang aktivitasnya terkadang memicu polarisasi.

“Situasi ini, khususnya di daerah dengan dinamika politik lokalnya, berkontribusi menyuburkan premanisme,” ujar Ida.

“Apalagi penegakan hukum semakin lemah, yang bahkan bisa menempatkan pelapor atau masyarakat anti-preman justru sebagai ‘korban’.”

Tinggalkan Balasan