Jejak Aguan dan Agung Sedayu di balik sertifikat HGB kawasan pagar laut Tangerang – ‘Presiden minta ini diusut tuntas’
- Penulis, Viriya Singgih
- Peranan, BBC News Indonesia
-
Keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan dan Agung Sedayu Group memiliki dua perusahaan yang memegang sertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk ratusan bidang di dan sekitar lokasi pagar laut di Tangerang, Banten, sebagaimana tertera pada data pemerintah. Pemerintah bertekad mengusut masalah ini hingga tuntas.
Sebelumnya pada Sabtu (18/1), melalui akun X-nya, pengamat perkotaan Elisa Sutanudjaja sempat membagikan temuannya yang menunjukkan bahwa lokasi pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Tangerang telah mendapat sertifikat HGB.
Berdasarkan data BHUMI, situs web informasi spasial yang dikelola Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Elisa memperkirakan total wilayah laut yang masuk area HGB mencapai 537,5 hektare.
Senin (20/01), Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid membenarkan bahwa sertifikat HGB telah terbit untuk 263 bidang di dan sekitar wilayah perairan tersebut. Selain itu, ada sertifikat hak milik (SHM) untuk 17 bidang lainnya.
Nusron bilang ada sembilan bidang yang mendapat sertifikat HGB atas nama perorangan. Sementara itu, sertifikat HGB untuk 254 bidang dimiliki dua perusahaan.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, dan atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang,” ungkap Nusron saat jumpa pers, Senin (20/1).
“Kalau saudara-saudara ingin tanya siapa pemilik PT tersebut, silakan cek ke [Direktorat Jenderal] Administrasi Hukum Umum [Kementerian Hukum] untuk mengecek di dalam aktanya.”
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
BBC News Indonesia melakukan apa yang Nusron sarankan dan menemukan bahwa dua perusahaan itu—secara langsung dan tidak langsung—dimiliki PT Agung Sedayu dan sejumlah entitas lain, yang dikendalikan keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan.
Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang bersebelahan dengan titik awal pagar laut di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Tak jauh dari pagar laut itu, Agung Sedayu Group juga bermaksud membangun PIK Tropical Coastland, yang telah masuk daftar proyek strategis nasional (PSN) sejak Maret 2024.
Dari sana, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga Agung Sedayu Group yang bertanggung jawab membangun pagar laut dari bambu untuk membatasi area yang bakal jadi sasaran reklamasi untuk kepentingan PSN.
Kuasa Hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, membantah hal ini.
“Kalau soal pagar bambu sudah clear PIK enggak ada kepentingan di situ, sebab bukan kita yang pasang,” kata Muannas melalui media sosialnya.
“Kegiatan PIK hanya di daratan, apalagi keberadaannya jauh dari wilayah kita. Oleh sebab itu, bongkar atau tidak [pagar lautnya], enggak ada pengaruh apa pun.”
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Menanggapi temuan BBC News Indonesia bahwa HGB di kawasan pagar laut Tangerang dipegang perusahaan-perusahaan milik Aguan, Muannas enggan berkomentar banyak.
Menurutnya, lebih baik menunggu hasil pengecekan yang akan dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang bersama Badan Informasi Geospasial (BIG).
Karena ada sejumlah sertifikat HGB yang terbit pada 1980-an, dua instansi itu berniat mengecek garis pantai Tangerang pada tahun-tahun tersebut untuk memastikan apakah sertifikat mulanya terbit untuk wilayah daratan atau lautan.
“Kita enggak berani spekulasi. Jangan-jangan sertifikat-sertifikat HGB yang sekarang berkeliaran di lautan itu memang dulu adalah tanah daratan yang terabrasi,” ujar Muannas, Selasa (21/1).
“Kalau tahun 1982 ternyata itu ada sertifikat hak milik orang, ya berarti kan tahun itu daratan. Jangan-jangan pagar itu memang pembatas-pembatas untuk yang punya sertifikat-sertifikat itu.”
Sementara itu, Christy Grassela, sekretaris perusahaan PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) yang mengendalikan mayoritas saham PT Cahaya Inti Sentosa (CIS), menegaskan bahwa sertifikat HGB yang dipegang perusahaan adalah untuk wilayah daratan, bukan lautan.
“PT Cahaya Inti Sentosa adalah anak usaha PANI yang diakuisisi pada akhir 2023. Untuk tanah yang dipegang CIS sudah bersertifikat dalam bentuk sertifikat HGB, yang dikeluarkan oleh BPN/ATR,” kata Christy pada IDX Channel, media yang dikelola Bursa Efek Indonesia.
“Dan kondisi lapangan bisa dilihat langsung bahwa lokasi tanah CIS sepenuhnya daratan.”
Siapa di balik HGB pesisir Tangerang?
Secara langsung dan tak langsung, PT Agung Sedayu menguasai saham PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Kedua perusahaan ini disebut pemerintah memegang sertifikat HGB untuk total 254 bidang di dan sekitar lokasi pagar laut misterius di Tangerang.
HGB adalah hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas lahan yang bukan miliknya.
PT Cahaya Bintang Sejahtera dan PT Catur Kusuma Abadi Sejahtera menguasai PT Agung Sedayu, masing-masing dengan kepemilikan saham 50%.
Susanto Kusumo, adik dari Aguan, memegang 99,6% saham PT Cahaya Bintang Sejahtera.
Sementara itu, kepemilikan PT Catur Kusuma Abadi Sejahtera dibagi rata antara Aguan dan tiga anaknya: Alexander Halim Kusuma, Richard Halim Kusuma, dan Luvena Katherine Halim. Masing-masing punya 25% saham.
Steven Kusumo, keponakan Aguan, secara tak langsung memiliki saham dengan porsi mini di PT Agung Sedayu. Namun, ia memegang jabatan tinggi di sejumlah perusahaan, termasuk sebagai CEO Agung Sedayu Group dan komisaris PT Pantai Indah Kapuk Dua.
Susanto dan Richard juga tercatat ada di dewan komisaris PT Pantai Indah Kapuk Dua.
Sekitar 90% saham PT Pantai Indah Kapuk Dua dipegang PT Multi Artha Pratama, yang dikendalikan dengan porsi rata oleh PT Agung Sedayu dan PT Tunas Mekar Jaya.
Hindarto Budiono, yang terafiliasi dengan Salim Group, menguasai 99,99% saham PT Tunas Mekar Jaya.
Bagaimana bisa HGB terbit di lautan?
Pengamat perkotaan Elisa Sutanudjaja menduga sertifikat HGB diterbitkan melalui mekanisme rekonstruksi atau reklamasi tanah musnah seperti diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 3/2024.
Yang dimaksud tanah musnah adalah bidang tanah yang sudah berubah bentuk karena peristiwa alam, tidak dapat diidentifikasi lagi, dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Misal, kata Elisa, abrasi telah membuat warga Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kehilangan tanahnya. Ini bisa dikategorikan sebagai tanah musnah yang dapat direkonstruksi atau direklamasi.
Bisa jadi, imbuhnya, ada pihak yang berusaha mereklamasi kawasan pesisir Tangerang dengan dalih daerah itu tadinya adalah tanah warga yang telah musnah.
“Jadi tanah-tanah yang dianggap abrasi, yang sebelumnya disebut digarap warga untuk empang, dibeli lalu diklaim dan diajukan ke pemerintah untuk mendapat sertifikat HGB”, kata Elisa, seraya mengindikasikan bahwa pagar laut yang ada di sana bertujuan membatasi wilayah HGB yang akan direklamasi.
Masalahnya, Elisa bilang citra satelit sejak 1980-an menunjukkan bahwa garis pantai di wilayah yang dipermasalahkan di Tangerang itu tidak berubah. Sehingga, menurutnya tidak ada tanah musnah yang dapat direkonstruksi atau direklamasi di sana.
“Tapi ini masih dugaan. Kita lihat saja apa alasan pemerintah menerbitkan HGB di sana,” ujar Elisa.
Saat jumpa pers pada Senin (20/1), Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid tidak menjelaskan secara mendetail mekanisme penerbitan HGB di wilayah laut yang sekarang dipasangi pagar bambu itu.
BBC News Indonesia juga telah mengajukan sejumlah pertanyaan ke Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, tapi hingga tulisan ini terbit ia belum menanggapi.
Yang pasti, pagar laut di pesisir Tangerang itu bersebelahan dengan area PSN PIK Tropical Coastland dan PIK 2.
Baca juga:
Apa tindak lanjut pemerintah?
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid mengaku telah menginstruksikan direktur jenderal survei dan pemetaan pertanahan dan ruang di kementeriannya untuk berkoordinasi dan melakukan pengecekan bersama Badan Informasi Geospasial (BIG).
Tujuannya untuk memastikan apakah lokasi sertifikat-sertifikat tersebut berada di dalam atau luar garis pantai Desa Kohod di Tangerang.
Pasalnya, pengecekan sementara menunjukkan bahwa dalam proses pengajuan sertifikat tersebut, terdapat dokumen-dokumen yang terbit pada 1980an.
“Karena itu, kami perlu cek, mana batas pantai tahun 1982, mana batas pantai 1983, 1984, 1985, sampai batas garis pantai 2024 dan sampai sekarang,” kata Nusron.
Bila ada sertifikat yang terbit untuk area di luar garis pantai (masuk wilayah laut), Kementerian Agraria dan Tata Ruang akan meninjau ulang dokumen tersebut.
“Manakala nanti terbukti berada di luar garis pantai, dan manakala terbukti tidak compliant, manakala terbukti tidak sesuai dengan prosedur, dan manakala tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, kami akan tindak sesuai dengan aturan peraturan perundang-undangan yang ada,” kata Nusron.
Dia menargetkan hasil pemeriksaan sudah keluar pada Selasa (21/1), karena prosesnya tidak terlalu sulit.
Di sisi lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan ia telah melaporkan masalah pagar laut serta sertifikat HGB dan SHM yang terbit di pesisir Tangerang langsung pada Presiden Prabowo Subianto, Senin (20/1).
Sakti menegaskan tidak boleh ada sertifikat yang terbit di laut sehingga, katanya, “Itu sudah jelas ilegal.”
Menurutnya, pembangunan pagar laut pun melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang mewajibkan setiap pembangunan di ruang laut memiliki izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL).
Ia curiga pagar laut itu sengaja dipasang agar tanah di sekitarnya terus naik seiring berjalannya waktu hingga terjadi reklamasi secara alami.
Bila itu terjadi, imbuhnya, daratan baru yang tercipta bisa mencapai sekitar 30.000 hektare.
“Jadi, nanti kalau terjadi seperti itu akan terjadi daratan, dan jumlahnya itu sangat besar,” kata Trenggono.
“Arahan bapak presiden satu: selidiki sampai tuntas secara hukum supaya kita harus benar koridor hukumnya. Apabila tidak ada [izinnya], itu harus menjadi milik negara.”
Rencana pembongkaran pagar laut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan TNI Angkatan Laut (AL) sepakat untuk melanjutkan pembongkaran pagar laut di Tangerang pada Rabu siang (22/1) setelah sebelumnya sempat ditunda.
“Jadi kita akan memberikan batasan waktu sampai dengan besok Rabu pagi, kita akan rapat pagi, lalu siangnya kita akan melakukan tindakan pembongkaran,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, melalui video yang diunggah di akun Instagram-nya pada Senin (20/1).
Sakti menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan Kepala Staf TNI AL, Muhammad Ali, yang mengaku mendapat instruksi dari Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan masalah pagar laut di Tangerang yang dikeluhkan nelayan setempat.
“Pagi ini kami bersama Pak Menteri dengan Pak Wamen melaksanakan evaluasi bagaimana cara yang baik, yang aman, yang cepat dan praktis untuk bisa mempercepat, membantu kesulitan masyarakat nelayan,” kata Ali.
“Itu instruksi dari bapak presiden.”
Sabtu (18/1), kira-kira 600 orang yang terdiri atas anggota TNI AL dan nelayan bergerak bersama untuk membongkar pagar laut tak bertuan di Tangerang, yang telah disegel KKP sejak Kamis (9/1).
Harry Indarto, Komandan Pangkalan Utama TNI AL III Jakarta, mengatakan pagar itu mesti dibongkar karena mengganggu aktivitas nelayan dan dibangun tanpa izin yang jelas.
“Kami hadir di sini atas perintah dari presiden RI melalui Kepala Staf AL untuk membuka akses, terutamanya bagi para nelayan yang akan melaut,” kata Harry.
TNI AL, imbuhnya, tak bisa menggunakan alat berat atau kapal perang RI (KRI) karena dangkalnya perairan di lokasi pagar laut.
Maka, pihak TNI AL berusaha menarik satu per satu bambu yang membentuk pagar laut dengan tali yang disangkutkan ke kapal nelayan.
Targetnya, mereka berniat membongkar pagar laut sejauh dua kilometer per hari. Total pagar laut yang ada telah membentang sepanjang 30,16 kilometer.
Namun, aktivitas ini justru memunculkan pertanyaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang mengaku tidak diajak berkoordinasi sebelum dilakukan pembongkaran.
Doni Ismanto Darwin, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, menyayangkan pembongkaran itu yang dikhawatirkan dapat mengaburkan proses hukum yang sedang berjalan.
“Sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Sakti Wahyu Trenggono, pagar laut di Tangerang statusnya disegel oleh KKP sebagai barang bukti dalam proses penyelidikan untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab atas pembangunannya,” kata Doni melalui keterangan tertulisnya, Minggu (19/01).
Saat ditemui wartawan di Bali, Menteri Sakti juga menyampaikan hal serupa.
Menurutnya, pagar laut itu adalah barang bukti penting dalam proses penyelidikan yang tengah dilakukan KKP.
“Barang bukti yang masih dalam penyelidikan sebaiknya tidak dibongkar. Jika dibongkar, bisa menimbulkan masalah baru seperti terganggunya arus laut,” ujar Sakti pada Minggu (19/1).
“Pencabutan itu mudah, tapi lebih penting untuk memastikan siapa yang memasang. Setelah semuanya jelas, baru pembongkaran dilakukan.”
Karena itu, Sakti bilang ia telah berkomunikasi via telepon dengan Kepala Staf TNI AL, Muhammad Ali, untuk meminta penghentian pembongkaran pagar laut di Tangerang.
Pada hari yang sama, Ali mengonfirmasi bahwa pihaknya memutuskan menunda pembongkaran.
Aduan ke polisi
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah bersama sejumlah LSM mengadukan masalah pemasangan pagar laut ilegal di Tangerang ke Bareskrim Polri pada Jumat (17/1).
LSM yang ikut membuat pengaduan termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
“Mudah-mudahan, dengan adanya surat yang kami sampaikan tadi, ini menjadi dasar bagi Bareskrim Polri untuk menelusuri lebih mendalam tentang siapa saja yang terlibat dalam [pembangunan] pagar yang dianggap misteri ini,” ujar Gufroni, ketua riset dan advokasi LBH-AP PP Muhammadiyah.
Menurut LBHAP, ada delapan nama individu dan satu perusahaan yang diduga terlibat dalam pembangunan pagar laut di Tangerang.
Perusahaan yang dimaksud adalah pengembang properti Agung Sedayu Group.
Nama perusahaan ini ikut terseret karena disebut-sebut oleh seorang pekerja yang sedang mengumpulkan bambu untuk pagar laut. Ini terekam dalam video yang dijadikan bukti dalam pengaduan ke polisi.
Sementara itu, nama-nama lain yang dilaporkan termasuk seseorang yang diduga tangan kanan Sugianto Kusuma alias Aguan, bos Agung Sedayu Group, serta mereka yang beroperasi di lapangan termasuk untuk mengumpulkan pekerja, mengurus pendanaan, dan sebagainya.
“Jadi terkonfirmasi bahwa pagar bambu ini tidak misterius, tapi jelas ada pekerjanya, ada yang membiayai,” kata Gufroni.
Kuasa Hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, telah membantah tuduhan ini.
Perwakilan manajemen Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang mengelola kawasan elite di sekitar pagar laut, juga sempat membantah keterlibatannya dalam konferensi pers pada Minggu (12/1).
Awal penemuan pagar laut
Eli Susiyanti, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemerintah Provinsi Banten, mengatakan pihaknya awalnya mendapatkan laporan masyarakat terkait pembangunan pagar laut pada 14 Agustus 2024.
Lima hari kemudian, tim DKP Banten meninjau lokasi dan menemukan pagar tersebut, yang saat itu panjangnya baru sekitar tujuh kilometer.
Kemudian, kata Eli, total ada empat kali investigasi atas pagar laut itu yang dilakukan DKP Banten bersama instansi terkait.
Hasilnya: tidak ada izin dari camat maupun kepala desa atas pemagaran itu.
Lama-kelamaan, pagar laut itu pun semakin panjang, hingga mencapai 30,16 kilometer.
Sementara itu, menurut penelusuran Ombudsman Banten, pagar itu dipasang warga dengan imbalan sekitar Rp100.000 per orang.
“Namun, siapa yang melakukan belum teridentifikasi,” kata Fadli Afriadi, Kepala Perwakilan Ombudsman Banten.
“Mereka sampaikan masyarakat malam-malam disuruh pasang dikasih uang Rp100.000 per orang. Cuma itu yang memerintahkan siapa, kita belum sampai situ.”
Anggota Ombudsman, Hery Susanto, mengeklaim pagar bambu yang dipasang tanpa izin itu telah menghambat aktivitas masyarakat nelayan di sekitarnya dalam mencari nafkah.
Ombudsman bahkan menaksir kerugian yang dialami nelayan mencapai Rp8 miliar gara-gara pagar bambu itu.