Kesaksian alumni Stikom Bandung yang ijazahnya dibatalkan – ‘Waktu, uang, dan pikiran terbuang sia-sia’
Temuan pelanggaran akademik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, Jawa Barat, yang berujung pada pembatalan ijazah ratusan mahasiswa periode 2018-2023 disebut sebagai “puncak gunung es” dari rangkaian masalah akut dunia pendidikan perguruan tinggi di Indonesia.
Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, berkata kasus Stikom Bandung hanyalah sebagian kecil dari masif dan besarnya praktik jual beli ijazah yang tidak terungkap di perguruan tinggi.
“Ini menunjukkan pengawasan oleh Kopertis itu tidak berjalan,” kata Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah kepada BBC News Indonesia, Rabu (22/01).
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) adalah lembaga yang berwenang dalam membina dan mengawasi perguruan tinggi swasta (PTS). Kopertis kini bertransformasi menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti).
Menjawab kritik itu, Kepala LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat-Banten, M Samsuri mengatakan bahwa lembaganya bukan bertugas untuk mengawasi PTS, tapi memfasilitasi proses peningkatan mutu kampus.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Walaupun demikian, Samsuri berkata pihaknya ikut dalam proses monitoring dan evaluasi di PTS.
Selain dari sisi pengawasan, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memandang kasus Stikom Bandung yang merupakan satu dari rangkaian dugaan jual beli ijazah merupakan akibat dari komersialisasi pendidikan yang memunculkan kampus-kampus swasta “guram dan tidak berkualitas”.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Dari sekitar 3.000 perguruan tinggi di Indonesia, kata Ubaid, hanya ada 5% kampus negeri. Sisanya adalah swasta, dan mayoritas dari mereka tidak berkualitas.
“Sehingga muncullah kampus-kampus swasta guram yang tidak berkualitas yang menjanjikan ijazah tanpa kuliah, penganugerahan gelar pendidikan abal-abal, dan masalah akut lainnya. Ini mencoreng citra pendidikan tinggi.”
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) telah melakukan evaluasi kinerja akademik (EKA) di Stikom Bandung. Hasilnya, mereka menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penentuan kelulusan mahasiswa Stikom Bandung periode 2018-2023.
Kejanggalan itu mulai dari perbedaan data akademik, dugaan praktik jual beli nilai, hingga mendapatkan ijazah tanpa kuliah. Atas dasar temuan ini kemudian Stikom Bandung mengeluarkan keputusan yang membatalkan ijazah 233 mahasiswanya.
Lalu, apa dampak pembatalan ijazah itu bagi mereka kini telah berkecimpung di dunia pekerjaan? Dua alumni mahasiswa Stikom Bandung yang ijazahnya dicabut berbagi kegelisahan dalam memandang masa depan akibat keputusan ini.
Mimpi buruk alumni – ‘Yang menanggung kami, kampus mana peduli’
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Arisma sedang menikmati kehidupan normalnya sebagai pengantin baru dan meniti karier di Jakarta, ketika menerima kabar ijazah S1—hasil kerja kerasnya selama lima tahun di Stikom Bandung—dibatalkan oleh pihak kampus.
Kabar itu dia terima sekitar Oktober tahun lalu. Bukan hanya dirinya, ada total 233 alumni S1 lulusan 2018-2023 yang dicabut ijazahnya.
Baginya, kabar itu seperti mimpi buruk yang dapat membuat kariernya berantakan. Terlebih lagi, ijazah itu dipakainya saat melamar ke perusahaan tempat ia bekerja saat ini.
“Kami kan sedang menyusun untuk ke depan dan ketika apa yang kita susun ini berantakan karena nightmare tadi bagi kami, ya kami takut lah. Apa yang kami susun ke depan akhirnya gagal. Yang menanggung kan kami. Kampus mana peduli,” ungkap Arisma melalui sambungan telepon, Rabu (22/01).
Baca juga:
Belum lagi, katanya, stigma negatif masyarakat yang akan diterima lulusan Stikom Bandung.
Kampusnya akan dicap “bodong, begitu pun lulusannya”. Arisma cemas hal itu akan menghambat kariernya.
“Kalau sudah viral begini kan orang tahunya kita dari Stikom. Mereka akan underestimate kita karena kampusnya bodong. Mereka juga mengiranya kami ini lulusan bodong. Padahal kami enggak seperti itu,” ucap pria lulusan 2019 ini.
Hingga kini, Arisma belum mendapat kepastian soal nasib ijazah dan gelar sarjananya.
Warga Kota Bandung ini masih menunggu keputusan yang kabarnya akan disampaikan pihak kampus akhir Januari ini.
“Kalau misalkan itu dibatalkan, berarti saya enggak punya dong gelar sarjana yang saya perjuangkan lima tahun dan kembali ke ijazah SMA saya. Ya itu berat lah.”
“Saya enggak bisa promosi kerja. Ketika saya mau naik grading menjadi lebih tinggi, pakai ijazah sarjana saja susah. Sekarang saja sudah setengah mati untuk promosi, apalagi ijazah SMA. Itu kan enggak dipikirkan sama kampus,” keluhnya.
‘Waktu, uang, tenaga, dan pikiran terbuang sia-sia’
Kekecewaan juga dirasakan Ahmad Fadlilah yang juga masuk dalam daftar 233 alumni yang ijazahnya dibatalkan kampus.
Pria yang biasa dipanggil Fadli ini mengaku menempuh pendidikan sarjana dengan baik. Bahkan ia telah melakukan konversi nilai dari gelar Diploma 3 yang didapat dari Universitas Trisakti saat melanjutkan kulias S1 di Stikom Bandung.
Selama masa perkuliahan dari 2013-2018, Fadli merasa tidak ada kejanggalan. Dia mengaku melewati seluruh proses pembelajaran sesuai kewajiban sebagai mahasiswa hingga lulus dan mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.
Untuk itu, Fadli menilai kesalahannya ada di pihak kampus, tetapi mahasiswa yang jadi korban.
“Ya pastinya tidak adil bagi mahasiswa karena sudah effort lebih. Apalagi saya ini kan kelas karyawan, harus kerja dan kuliah. Dengan adanya kejadian ini sangat tidak adil bagi alumni yang terdaftar di 233 ini,” kata laki-laki 40 tahun.
Tak terbayang bagi Fadli, jika ia harus mengulang kembali kuliah dan menyusun lagi skripsi.
“Waktu, uang, tenaga, dan pikiran saat kuliah dulu terbuang sia-sia,” katanya.
Baik Fadli maupun Arisma berharap tidak terjadi pembatalan ijazah, apalagi harus mengulang kuliah dan skripsi.
Pelanggaran berat apa yang dilakukan Stikom Bandung?
Kepala LLDIKTI Wilayah IV M Samsuri mengatakan, terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan Stikom Bandung, merujuk pada temuan tim evaluasi kinerja akademik (EKA).
Pertama adalah adanya ijazah yang diberikan ke mahasiswa tanpa melalui proses pembelajaran. Hal ini merujuk pada tidak adanya penomoran ijazah nasional (PIN) dari kementerian.
Kemudian ditemukan juga indikasi pemberian nilai fiktif dan manipulasi nilai.
Selain itu, terjadi juga perbedaan data antara nilai akademik dan syarat minimal satuan kredit semester (SKS) antara milik Stikom Bandung dan Pangkalan Data Dikti.
Ditambah, kata Samsuri, terdapat skripsi mahasiswa yang belum melewati tes plagiarisme.
Lebih dari itu, bahkan ditemukan juga dugaan terjadinya praktik jual beli nilai.
Merujuk pada temuan itu, pemerintah pun menjatuhkan sanksi berat kepada Stikom Bandung, yaitu larangan untuk menerima mahasiswa baru pada tahun ajaran 2023/2024 dan 2024/2025.
Konsekuensi lainnya, Stikom Bandung pun harus membatalkan kelulusan dan menarik kembali ijazah yang telah diberikan kepada 233 mahasiswanya di periode 2018-2023.
Sejauh ini, Stikom Bandung mengaku telah menarik 95 ijazah mahasiswa dalam periode itu. Dari jumlah itu, 19 ijazah dikembalikan secara sukarela dan sisanya tersimpan di bagian akademik.
Namun alasan pembatalan ijazah itu dipertanyakan oleh alumni Stikom Bandung, termasuk Arisma.
Arisma menilai PIN ijazah dan tes plagiat tidak diterapkan karena saat itu belum diberlakukan di angkatannya.
Sedangkan perbedaan SKS dan IPK antara PDDIKTI dan Simak, menurut Arisma, merupakan tanggung jawab kampus, bukan mahasiswa.
“Kita bayar per semesternya, kita ikuti perkuliahannya, kita kerja kan semua tugasnya, sampai akhirnya bisa skripsi dan wisuda, masa yang input nilai kita juga. Kan kita nggak tahu apa-apa soal input, cara menginput, dan itu bukan tugas kami, tapi akademik. Ada selisih begitu, kok kami yang kena. Harusnya kan pihak kampus yang melakukan input itu,” ujar pria berusia 38 tahun ini.
Bukan hanya itu, Arisma juga menyoroti legalitas ijazahnya. Dia masih ingat pernyataan Kepala LLDikti Jabar-Banten yang hadir di acara wisudanya.
Dalam sambutannya, kenang Arisma, pejabat itu menyatakan ijazah yang diterbitkan Stikom Bandung sah dan legal di mata hukum serta bisa digunakan untuk berkarier.
“Terus dari mana sekarang tiba-tiba jadi ilegal dan ditarik. Ini salahnya di mana?” tanya Arisma.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek Togar M Simatupang mengatakan, temuan dari tim EKA terjadi pada Februari 2024. Tim menemukan terjadinya maladministrasi mekanisme mahasiswa transfer, penilaian, perkuliahan, standar lulusan.
“Maladministrasi antara lain mekanisme mahasiswa transfer, penilaian, perkuliahan, standar lulusan,” kata Togar, Kamis (16/01).
Setelah itu, LLDikti menjatuhkan Stikom Bandung sanksi adminstrasi pada April 2024.
Pada 17 Desember 2024, Stikom Bandung secara resmi mengeluarkan surat bernomor 481/ Skep-0/ E/Stikom XII/ 2024 yang memutuskan untuk membatalkan kelulusan mahasiswa S1 periode 2018-2023.
Bagaimana nasib para alumni kini, apakah harus kuliah lagi?
Ketua Stikom Bandung, Dedy Djamaluddin Malik meminta maaf dan mengakui ada kesalahan di internal kampus yang menyebabkan ratusan ijazah mahasiswanya harus dibatalkan.
“Kekeliruan kami kurang kontrol terhadap proses akademik sehingga terdapat perbedaan nilai IPK [tidak boleh di bawah dua] dan SKS [minimal 144 SKS] di pangkalan data dengan di data kita,” kata Dedy melalui sambungan telepon, Kamis (23/01).
Selain itu, Dedy juga mengakui bahwa cek plagiarisme skripsi dipercayakan kepada mahasiswa melalui surat pernyataan, dan pihaknya tidak mengecek secara langsung.
Menurut hasil temuan tim EKA, kata Dedy, terdapat 60 mahasiswa yang tes plagiarisme berada di atas 40%. Sisanya berupa kekurangan SKS dan IPK.
Namun, Dedy menegaskan bahwa tidak semua alumni itu harus mengulang perkuliahan atau membuat skripsi baru.
Bagi yang SKS-nya di bawah 144, katanya, alumni itu hanya perlu mengulang mata kuliah yang kurang.
Sedangkan mahasiswa yang tes plagiarismenya di atas 40%, “Cukup dengan revisi tidak perlu membuat skripsi baru, kecuali yang tes plagiarismenya 100%”.
Selain itu, pihak kampus pun tidak akan memungut biaya atas perbaikan yang dilakukan itu.
Menanggapi keluhan para alumni yang merasa tidak adil karena menjadi korban atas kesalahan kampus, Dedy mengatakan pihaknya akan bertanggung jawab dengan melakukan perbaikan internal maupun memfasilitasi mahasiswa yang ijazahnya dicabut.
“Nah sekarang pilihannya, tidak mau memperbaiki karena itu salahnya Stikom, ia betul. Lalu, cara untuk memperbaikinya seperti apa? Apakah kalau mereka tidak mau, kemudian Stikom bisa mengesahkan? Tidak bisa. Kata peraturan, ikuti proses, itu jalan satu-satunya,” kata Dedy.
Kepala LLDIKTI Wilayah IV M Samsuri menegaskan pembatalan ijazah tergantung pada proses verifikasi dan validasi yang dilakukan Stikom Bandung, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebenaran data itu.
“Ketika dia mau membatalkan maka verifikasinya harus lengkap. Jadi harus clear itu, jangan membatalkan orang yang benar-benar kuliah, hanya karena beberapa data tidak lengkap. Tapi kalau memang selama ini tidak ada proses pembelajaran, maka saya kira itu sangat penting untuk diambil keputusan ini,” kata Samsuri.
Samsuri menegaskan bahwa pembatalan ijazah tidak mutlak harus dilakukan bagi seluruh mahasiswa itu. Pihaknya sudah meminta Stikom Bandung untuk mengklasifikasi kekurangan masing-masing mahasiswa.
“Jadi mana yang sebetulnya hanya masalah kekurangan administratif. Lalu mana yang terkait indikasi ada plagiat skripsi. Sejauh mana plagiatnya? Misal bisa digantikan dengan dia membuat karya ilmiah yang betul-betul orisinil. Tapi kalau memang tidak ada proses perkuliahan, apalagi tidak terdata di Dikti, maka itu harus dibatalkan,” kata Samsuri.
Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin menyebut kisruh antara pihak kampus dan alumninya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut sehingga menimbulkan kerugian.
Bey juga meminta lembaga pengawas dan pembinaan perguruan tinggi swasta di Jawa Barat untuk turun tangan dalam menangani kasus ini.
“Kami ingatkan, Kopertis kalau dulu sekarang beda nama. Kami sudah kerja sama dengan mereka,” ucap Bey.
‘Puncak gunung es’
Terlepas dari itu, pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah mengatakan kasus di Stikom Bandung merupakan satu dari rangkaian masalah jual beli ijazah yang secara kasat mata terjadi di dunia pendidikan perguruan tinggi di Indonesia.
“Kasus Stikom seperti puncak gunung es. Yang diketahui dan diberi sanksi itu baru sebagian kecil. Saya menduga sebagian besar praktik jual beli ijazah itu tidak terlacak, tidak terdeteksi, sehingga tidak diberi sanksi,” katanya.
Terjadinya praktik jual beli ijazah di PTS disebabkan karena tidak berjalannya pengawasan di lingkungan PTS.
Tugas ini diemban oleh Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), lembaga yang berwenang dalam membina dan mengawasi perguruan tinggi swasta (PTS). Kopertis kini bertransformasi menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti).
Jejen memiliki dua asumsi atas tidak berfungsinya peran pengawasan.
Pertama, lembaga pengawas tidak tahu praktik kecurangan yang terjadi. Atau yang kedua, “mereka tahu, membiarkan, dan bahkan mengambil keuntungan dari pelanggaran itu.”
“Dan nalar saya memandang sulit untuk mengatakan Kopertis tidak tahu, karena praktik ini sudah kasat mata terjadi. Jadi saya lebih berasumsi bahwa mereka dibungkam, baik dengan diundang saat wisuda, acara kampus, seminar dan lainnya, dan mendapatkan keuntungan dari itu,” katanya.
Dia pun meminta kepada pemerintah untuk tidak hanya memberikan sanksi kepada kampus, namun juga Kopertis yang telah gagal menjalankan tugasnya.
“Kalau pelanggaran ini tidak diberikan sanksi tegas maka akan terus terulang kasus ini. Menurut saya bila perlu penjarakan pihak yang terlibat karena ini sudah masuk hukum dan merugikan moralitas bangsa,” katanya.
Menjawab kritik itu, Kepala LLDIKTI Jabar-Banten, M Samsuri mengatakan bahwa lembaganya bukan bertugas untuk mengawasi PTS, tapi memfasilitasi proses peningkatan mutu kampus.
“Jadi kalau berkaitan dengan tanggung jawab terhadap sistem penjaminan mutu itu otonomi perguruan tinggi. Jadi tidak menjadi tanggung jawab instansi luar. Bahkan kalau kita bicara penanggung jawab untuk sistem penjaminan mutu eksternal itu adalah lembaga akreditasi, baik itu BANPT maupun lembaga akreditasi mandiri,” kata Samsuri.
Walaupun demikian, Samsuri berkata pihaknya ikut dalam proses monitoring dan evaluasi.
“LLDikti berbasis kepada data-data itu terlebih dahulu dan juga pengaduan dari masyarakat. Apa yang sekarang dilakukan ini kan basisnya bagian dari tanggung jawab LLDikti ketika ada kejanggalan atau aduan masyarakat.”
“Kecuali kalau LLDikti itu orangnya banyak, di setiap perguruan tinggi itu ditaruh mata-mata satu atau dua orang. Sama halnya dengan misalnya kepolisian, misalnya ada masyarakat yang mencuri, apakah artinya kepolisiannya gagal? Itu yang harus dipahami,” kata Samsuri.
Dampak dari komersialisasi pendidikan
Selain dari sisi pengawasan yang disebut tidak berjalan, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memandang kasus Stikom Bandung yang merupakan satu dari rangkaian dari dugaan jual beli ijazah di perguruan tinggi merupakan dampak dari kebijakan komersialisasi pendidikan.
Ubaid menyebut komersialisasi pendidikan itu muncul, salah satunya, akibat dari pemerintah yang tidak memberikan layanan yang baik di level perguruan tinggi.
Dia mencontohkan, kuota jumlah mahasiswa yang ingin masuk di kampus negeri berkualitas sangat kecil, jika dibandingkan swasta.
Hal itu tercermin dari perbandingan jumlah PTN yang hanya 125 atau kurang dari 5%, sementara PTS mencapai 2.982 unit, dari total 3.107 perguruan tinggi di Indonesia pada 2022.
Dan, PTS itu pun mayoritas tersebar di pulau Jawa yang mencapai 1.477 unit, yang mana terbanyak berada di Jawa Barat sebesar 376 PTS.
Mirisnya, kata Ubaid Dari ribuan PTS itu yang memiliki kualitas bagus sangat kecil sekali jumlahnya.
“Sehingga muncullah kampus-kampus swasta guram yang tidak berkualitas yang menjanjikan ijazah tanpa kuliah, penganugerahan gelar pendidikan abal-abal, dan masalah akut lainnya. Ini mencoreng citra pendidikan tinggi kita.”
Komersialisasi pendidikan itu, kata Ubaid, menyebabkan kampus berorentasi pada uang dan keuntungan, dan mengabaikan esensi dari pendidikan itu sendiri.
“Itu terjadi karena praktik di pendidikan tinggi ini sangat komersialisasi, sangat pro terhadap pasar, tidak berpihak kepada generasi muda kita.”
Ubaid pun melihat tidak tepat jika melampiaskan kesalahan yang dilakukan oleh Stikom Bandung ke mahasiswanya.
“Mahasiswa ini kan enggak tahu. Mereka suruh bayar, ya bayar. Mereka suruh masuk kuliah, ya kuliah. Tetapi kan soal akreditasinya yang jelek, bahkan izinnya enggak ada itu urusan kampus. Jadi jangan mahasiswa yang dikorbankan,” kata Ubaid.
Senada, praktisi pendidikan Itje Chodidjah juga menilai bahwa kegagalan di dalam penyelenggaraan atau pengelolaan kampus seharusnya jangan sampai merugikan mahasiswa.
“Pelakunya adalah orang-orang yang menyelenggarakan kampus. Anak-anak itu tidak tahu, terus tiba-tiba anak-anak harus menerima dampak dari keputusan orang-orang yang menyatakan secara publik bahwa mereka adalah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di Stikom.”
“Jadi menurut saya pertimbangkanlah nasib anak-anak yang ijazahnya dicabut ini, hidup mereka akan bagaimana,” katanya.
‘Kasus Stikom Bandung adalah teguran keras’
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan sanksi yang diberikan kepada Stikom Bandung merupakan bentuk teguran keras kepada perguruan tinggi yang berani mengotak-atik aturan.
“(Kasus Stikom Bandung) satu teguran pada perguruan tinggi swasta dan negeri, jangan sekali-sekali meluluskan tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Kami akan tindak tegas,” ujar Satryo di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Senin (20/01).
Satryo juga menyoroti para mahasiswa yang ijazahnya dicabut oleh kampus. “Oleh LLDikti, susah diproses untuk disuruh mengulang, karena tidak bisa kita meluluskan pendidikan tanpa mengikuti aturan,” terang Satryo.
Namun, Satryo menegaskan, permasalahan ijazah antara Stikom Bandung dan ratusan alumninya harus diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Satryo pun mengimbau masyarakat, apabila menemukan adanya kebijakan kampus yang janggal, bisa segera melaporkannya kepada Dikti agar segera bisa ditindaklanjuti.
“Enggak mungkin seluruh kampus kami pelototi. Begini saja, kalau ada kampus ditenggarai enggak beres, lapor ke kami, nanti kita cek,” pungkasnya.
—
Wartawan Yuli Saputra dari Bandung, Jawa Barat, berkontribusi dalam artikel ini.