Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang

Sumber gambar, Detikcom/Ari Saputra
- Penulis, Abraham Utama
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Ladang minyak bumi dengan potensi terbesar di Indonesia diyakini pemerintah berada di Tanah Papua. Blok Warim, nama lapangan minyak itu, telah dilelang pemerintah selama setahun terakhir.
Dalam satu tahun itu pula, warga asli Papua di daerah yang berpotensi terdampak Blok Warim mengaku tak pernah dilibatkan atau dimintai persetujuan oleh pemerintah—sebuah fakta berbeda dari yang disampaikan pejabat tinggi di Jakarta.
Warga asli Papua di Distrik Agimuga, Kabupaten Mimika, telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap pengembangan Blok Warim.
Mereka bukan cuma cemas akan tersingkir dari tanah kelahiran, tapi juga khawatir pertambangan akan mengembalikan Agimuga menjadi area konflik bersenjata.
Orang-orang asli Papua itu takut Peristiwa 1977 yang disebut Komisi Hak Asasi Manusia Asia sebagai “genosida yang terabaikan” akan terjadi lagi di Agimuga.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Masa lalu apa yang membekas di benak orang-orang Agimuga sehingga mereka enggan menyambut Blok Warim sebagai masa depan mereka? Mengapa mereka juga mengaitkan kegelisahan itu dengan Freeport?
Mengapa pemerintah tidak melibatkan warga asli Papua yang berpotensi terdampak Blok Warim? Dan apakah pertambangan pernah benar-benar memberi kesejahteraan yang merata bagi orang asli Papua?
BBC News Indonesia melakukan reportase dalam satu tahun terakhir di sejumlah kota di Papua. Tujuannya, memahami alasan mendalam di balik penolakan warga Agimuga terhadap eksploitasi minyak Blok Warim—sebuah pertanyaan yang juga muncul di benak para pakar geologi di Jakarta.
Kami juga menelusuri puluhan arsip dan buku serta melakukan berbagai wawancara di luar Papua.
‘Belum pernah ada potensi sebesar ini’
Blok Warim adalah wilayah dengan potensi minyak bumi dan gas bumi (migas) seluas 23.778 kilometer persegi. Luas ini setara 35 kali wilayah DKI Jakarta.
Potensi migas di blok ini berkali-kali digambarkan dengan istilah “besar sekali” oleh pejabat tinggi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sumber gambar, Kementerian ESDM
Potensi minyak bumi di Blok Warim diperkirakan mencapai 25-30 miliar barrel. Angka ini merujuk keterangan geolog dari Institut Teknologi Bandung, Profesor Benyamin Sapiie.
Dia adalah anggota tim percepatan eksplorasi migas wilayah Indonesia Timur yang dibentuk ESDM.
Sebagai perbandingan, Blok Rokan di Provinsi Riau yang sebelumnya menyandang status ladang minyak terbesar Indonesia menghasilkan 11 miliar barrel minyak sejak dieksploitasi dari tahun 1951 hingga 2021.
Blok Rokan, yang menyumbang 26% produksi minyak bumi Indonesia, kini diprediksi hanya menyisakan cadangan 500 juta sampai 1,5 miliar barrel minyak.
“Ini besar sekali. Belum pernah ada angka yang besar seperti ini,” kata Profesor Benyamin Sapiie.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budhi
Blok Warim berada dalam sebuah kawasan yang oleh para geolog disebut sebagai Cekungan Akimeugah.
Cekungan ini membentang dari bagian timur hingga sisi barat Papua bagian tengah. Luas cekungan ini nyaris empat kali lebih besar dari Blok Warim.
Izin eksplorasi untuk sebagian Blok Warim diberikan pemerintah kepada perusahaan minyak asal Amerika Serikat, ConocoPhilips, pada 1987.
Sejak 1980-an hingga saat mereka memutuskan mengembalikan izin eksplorasi ke pemerintah, ConocoPhilips telah membuka sejumlah sumur di beberapa kabupaten di Papua.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Pengeboran sumur, dalam industri perminyakan, krusial untuk menemukan potensi cadangan minyak sesungguhnya.
Peresmian Taman Nasional Lorentz pada Desember 1999 menjadi peristiwa menonjol dalam eksplorasi Blok Warim. Sebagian wilayah eksplorasi yang diserahkan pemerintah kepada ConocoPhilips sejak saat itu berubah status—bukan cuma menjadi taman nasional, tapi juga warisan dunia.
Setahun setelah kejatuhan Orde Baru itu, ConocoPhilips berupaya membuka sumur baru di bagian utara Blok Warim. Namun rencana yang telah terdengar sampai ke kantor pusat Unesco di ibu kota Prancis itu akhirnya tak pernah terlaksana.

Sumber gambar, Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno
Pada 2015, ConocoPhilips akhirnya melepas Blok Warim. Keputusan itu mereka ambil meski dua tahun sebelumnya baru saja meneken kontrak kerja sama dengan pemerintah.
Proyek studi seismik 2D seluas 550 kilometer dan pembuatan satu sumur eksplorasi senilai itu US$50 juta (sekitar Rp817 miliar) itu tidak terlaksana.
“Masih sama seperti dulu. Belum ada perkembangannya, masih proses perizinan,” ujar pimpinan ConocoPhilips di Indonesia saat itu, Taufik Ahmad.
Pada 2023 pemerintah melelang kembali Blok Warim.
Atas nama Kementerian ESDM, Profesor Benyamin Sapiie mempresentasikan potensi Blok Warim itu ke berbagai perusahaan, pada September 2023.
Walau luasnya lebih kecil, yakni 23.778 kilometer persegi atau setengah dari konsesi ConocoPhilips sebelumnya, Sapiie membuat klaim, ESDM melelang Blok Warim dengan data yang lebih meyakinkan.
Data itu, kata Sapiie kepada BBC, Desember lalu, muncul dalam survei full sensor gravity yang dilakukan Pertamina.
Sapiie dan tim percepatan eksplorasi migas menindaklanjuti data itu, termasuk membandingkannya dengan belasan lapangan minyak yang telah dibuka di Papua Nugini.
“Kalau kami hitung, angka potensi minyak yang keluar besar sekali. Tapi ini sangat spekulatif karena data kami berasal dari bawah permukaan yang tidak terlihat,” kata Sapiie.
“Ini adalah risiko dari sebuah eksplorasi migas. Jadi keinginan kami, perusahaan datanglah ke sini (Papua),” tuturnya.

Sumber gambar, Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno
Sejak para pejabat di Jakarta membicarakan Blok Warim di media massa, warga Agimuga meresponsnya dengan berbagai unjuk rasa.
Pemerintah pusat belum pernah menyebut daerah yang akan terdampak pengembangan Blok Warim. Mereka juga membuat klaim tak akan memasukkan wilayah di dalam Taman Nasional Lorentz sebagai bagian dari pertambangan migas tersebut.
Namun kecemasan telah muncul di kalangan warga Agimuga, yang wilayahnya berada di dalam Taman Nasional Lorentz.
Pada realitanya, cagar alam dunia itu memang tidak terbebas dari proyek pembangunan. Salah satu yang kontroversial adalah pembangunan Jalan Trans Papua di dalam kawasan tersebut.
Warga Agimuga juga khawatir, karena selain dekat dengan wilayah yang dulu hendak dieksplorasi oleh ConocoPhilips, istilah Cekungan Akimeugah juga berasal dari nama distrik mereka. Agimuga, dalam sejumlah peta yang disusun pemerintah kolonial Belanda, disebut sebagai Akimeugah.

Sumber gambar, G. Kolff & Co
Oktober 2023, warga Agimuga, baik laki-laki dan perempuan, muda maupun yang berusia uzur, berdemonstrasi di halaman kantor DPRD Mimika. Mereka menolak Agimuga dijadikan wilayah pertambangan migas.
Penolakan serupa disampaikan juga oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mimika di depan kantor ESDM di Jakarta, pada November 2023.
“Kami hanya menikmati ampas dari hasil pengurasan,” kata Manu Deikme, mahasiswa asal Mimika yang berorasi dalam demonstrasi itu.
“Kami hanya menjadi penonton di atas segala kekayaan kami,” tuturnya.

Sumber gambar, Detikcom/Ari Saputra
Pada bulan yang sama, demonstrasi juga digelar warga asli Papua di Jila—distrik yang berada di utara Agimuga.
“Cukup Nemangkawi,” kata seorang warga dalam unjuk rasa itu.
Nemangkawi adalah istilah dalam bahasa Amungme yang merujuk deretan pegunungan berpuncak salju di tanah adat mereka. Sebagian gunung itu telah ditambang oleh PT Freeport Indonesia sejak 1973.
“Cukup Nemangkawi,” ujar laki-laki Amungme di Jila tersebut. Dia mengatakan kalimat itu berulang-ulang.

Sumber gambar, Jos Donkers
Pada November itu pula, warga Agimuga berkumpul di lapangan terbang Kampung Aramsolki. Di pusat Distrik Agimuga itu, anak-anak, orang muda dan tua, melantunkan nyanyian dan tarian.
Mereka juga membawa spanduk yang bertuliskan, “Kami menolak perusahaan migas… Kami bersumpah atas langit dan bumi. Demi Tuhan.”
Januari 2024, BBC menanyakan respons pemerintah atas beragam penolakan warga terhadap Blok Warim.
Tutuka Ariadji, yang saat itu masih menjabat Direktur Jenderal Migas di Kementerian ESDM membuat klaim, “sosialisasi kepada warga sudah dilakukan dinas setempat.”
Namun sosialisasi yang diklaim Tutuka itu tidak pernah ada, kata sejumlah warga Agimuga kepada BBC.
Kami telah mengajukan surat wawancara kepada Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, Agustus silam, untuk mendapat informasi yang lebih rinci terkait Blok Warim. Namun dia tak menanggapi surat itu.
Saat kami mencegat Bahlil akhir November lalu di Jakarta, dia hanya berkata “belum ada update“.
Benyamin Sapiie telah meneliti aspek geologi pegunungan tengah Papua sejak 1990-an. Dia menyusun tugas akhir pada studi strata duanya di wilayah itu, dalam riset kolaboratif dengan Freeport.
Sapiie berkata, dia tak menguasai ilmu sosial untuk memahami respons warga asli Papua di Pegunungan Tengah terhadap pertambangan.

Sumber gambar, Detikcom/Andhika Prasetia
Dengan kacamata awam, Sapiie menilai situasi di wilayah itu berbeda dengan daerah lain di Indonesia, yang telah bersentuhan dengan industri ekstraktif.
“Di semua tempat, di hampir seluruh Indonesia, pasti selalu ada isu sosial terkait operasi migas dan batu bara, tapi isu itu bisa ditangani,” kata Sapiie.
“Tapi entah bagaimana di Papua itu tidak bisa,” tuturnya.
Benarkah klaim yang disampaikan Sapiie? Apa dasar penolakan warga asli Papua, terutama Agimuga, terhadap Blok Warim?
Dalam satu tahun terakhir, BBC News Indonesia berusaha mencari jawaban dan kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Agimuga dan orang-orangnya
Kris Pogolamun adalah laki-laki Amungme berumur 37 tahun yang tinggal di Agimuga.
Dialah yang memimpin unjuk rasa warga Agimuga di lapangan terbang Kampung Aramsolki, pada November 2023.
Seperti kebanyakan orang dari sukunya, kehidupan Kris sejak awal telah dipengaruhi orang-orang yang datang dari luar tanah leluhurnya.
Leluhur Kris secara tradisional hidup di sejumlah lembah di bawah barisan pegunungan berpuncak salju di Papua bagian tengah, antara lain Waa, Tsinga, Aroanop, dan Noema.

Sumber gambar, Jos Donkers
Pada 1960, saat Tanah Papua masih berada di bawah kendali Belanda, ribuan orang Amungme mulai keluar dari lembah di dataran tinggi.
Mereka berangkat secara bergiliran dalam proyek pemukiman yang digagas lembaga misionaris katolik serta Jawatan Penyuluhan Pertanian Residensi Nugini Belanda.
Otoritas kolonial dan institusi gereja itu berkolaborasi memindahkan orang Amungme dari amungsa (tanah adat orang Amungme) ke sebidang tanah di tepi sungai yang dalam berbagai dokumen berbahasa Belanda disebut Akimeugah.
Merujuk nama sungai itulah, tempat hidup baru orang Amungme yang ditentukan: Agimuga.
Moses Kilangin, laki-laki Amungme dari Lembah Tsinga yang bekerja sebagai pegawai misionaris Katolik, saat itu mengajak masyarakatnya bermigrasi. Alasan yang dipakainya: “layanan gereja sulit mencapai daerah gunung“.
Proyek migrasi itu juga bertalian dengan rencana Belanda memanfaatkan tenaga orang-orang Amungme. Mereka hendak dipekerjakan dalam proyek kebun karet komersial di Agimuga.

Sumber gambar, Jos Donkers
Namun pemindahan orang Amungme ke Agimuga itu belakangan memicu persoalan besar, menurut Hein van der Schoot, residen Belanda di Mimika ketika proyek itu berlangsung.
Seperti orang Amungme yang secara swadaya mencari kehidupan baru ke garis pantai selatan Mimika pada 1930-an, mereka yang belakangan hijrah ke Agimuga tak kuasa melawan malaria.
Agimuga, yang oleh Moses Kilangin dianggap dekat dengan “dunia luar”, berubah menjadi tempat kematian ratusan orang Amungme.

Sumber gambar, Papua Heritage Foundation
Dalam catatan van der Schoot, hujan yang terus-menerus membuat Agimuga tertutup dari dunia luar. Akibatnya, kata dia, pengiriman obat dan tenaga medis tidak terlaksana.
Orang-orang Amungme ini juga harus berjuang mengubah pola hidup yang berbeda sama sekali dengan tradisi mereka di gunung.
“Proyek Agimuga tidak akan dikerjakan andaikata kepentingan orang Amungme betul-betul diperhitungkan dan apabila informasi untuk menelurkan kebijakan yang arif berada di pihak-pihak yang tepat,” kata van der Schoot.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Seperti leluhur orang Amungme, Kris lahir di Lembah Noema. Namun tak lama setelah kelahirannya, laki-laki berumur 37 tahun itu juga bermigrasi ke Agimuga bersama keluarganya.
Di Agimuga, Kris tumbuh besar. Dia sempat meninggalkan distrik itu demi melanjutkan pendidikan. Alasannya, tidak ada SMA di Agimuga—sampai hari ini.
Selama tiga tahun, Kris merantau ke Timika, kota yang dibangun setelah perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport-McMoran, mulai menambang tembaga di gunung Yelsegel-Ongopsegel.
Masyarakat non-Amungme menyebut gunung ini sebagai Gunung Ertsberg.
Tak punya uang untuk terus bersekolah, Kris pulang ke Agimuga selepas tamat SMA. Sejak saat itu dia melanjutkan kehidupan seperti orang tua dan leluhurnya: memelihara babi dan bertani.
“Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, saya bikin kebun—menanam keladi dan petatas,” ujar Kris.
“Kalau ada dana kampung, saya bisa ikut bekerja dan mendapat sejuta-dua juta untuk beli beras,” tuturnya.

Sumber gambar, Istimewa
Agimuga secara tradisional adalah tanah ulayat orang-orang Sempan—satu dari tiga kelompok adat di Mimika, selain Amungme dan Kamoro.
Pada awal proyek migrasi ke Agimuga, pemerintah kolonial menjanjikan kemajuan dan pelayanan publik untuk orang Amungme.
Berpuluh tahun setelahnya, Kris merasa janji itu omong kosong. Agimuga selalu gelap setiap malam—listrik tidak mengalir ke distrik itu.
Tidak ada pula jaringan telekomunikasi di Agimuga. Sinyal internet hanya tersedia di sekitar kantor koramil dan puskesmas. Warga harus membayar setiap kali ingin menggunakan fasilitas internet itu.
Akses transportasi dari dan menuju Agimuga juga terbatas. Hanya ada satu penerbangan pesawat perintis setiap minggu, bertarif Rp500 ribu per orang.
Selain itu, Agimuga hanya bisa dilalui melalui jalur sungai. Pelayaran tradisional di atas perahu dari pelabuhan rakyat Poumako—penopang utama mobilitas warga Agimuga.
Namun limbah pertambangan Freeport dari tahun ke tahun membuat sungai di selatan Mimika mendangkal.
Sedimentasi sungai membuat perahu kerap kandas. Warga Agimuga semakin kepayahan melalui jalur transportasi tradisional mereka.
Berlayar lebih jauh ke selatan, melewati Laut Arafura, menjadi lebih sering dijalani warga Agimuga. Tapi opsi ini kerap tidak disarankan Badan SAR Nasional.
Pangkalnya, gelombang tinggi Arafura selama bertahun-tahun terbukti telah mengambil nyawa warga yang memaksa diri berlayar melalui lautan itu.
Freeport dan Agimuga
“Saya dulu lewat sungai dan muara-muara kali, tapi sekarang tidak bisa lagi.”
“Sekarang jalan satu-satunya lewat laut. Kalau musim ombak, bahaya. Banyak perahu yang terbalik.”
Perkataan ini disampaikan Yulianus Tsolme. Laki-laki Amungme ini adalah Kepala Kampung Emkomalama, satu dari delapan desa di Distrik Agimuga.
Seperti Kris, hidup berpindah di luar tanah leluhur telah menjadi bagian dari kehidupan laki-laki paruh baya ini. Yulianus lahir di kampung Omongon, sebelum akhirnya menetap di Emkomalama.
Juli lalu, Yulianus baru saja selesai mengurus pencairan dana kampung di Timika. Dia lantas berniat segera pulang ke Agimuga, tapi hujan turun begitu deras pada hari-hari di akhir bulan itu.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Yulianus tak mau bertaruh nyawa. Dia memilih menunggu di Timika ketimbang berlayar melalui Laut Arafura.
Dengan alasan ongkos yang lebih rendah ketimbang pesawat, warga Agimuga seperti Yulianus biasanya secara kolektif menyewa perahu motor untuk pulang dari Timika ke Agimuga.
Namun dalam satu dekade terakhir, kecelakaan laut di perairan selatan Mimika terus terjadi. Korban tewas muncul setiap tahun. Setidaknya sembilan orang meninggal di perairan itu selama tahun 2023.
Yang terbaru, Agustus lalu, kapal berisi 13 orang yang berangkat dari Poumako terbalik dihantam ombak di muara sungai Iruwa di Mimika Timur Jauh. Empat penumpang kapal itu tewas.
Menurut kantor SAR Timika, cuaca ekstrem—hujan deras yang berpadu dengan ombak tinggi di Laut Arafura—kualitas kapal, dan kelalaian manusia memicu berbagai kecelakaan itu.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Namun otoritas SAR tak menyebut satu faktor lain, yaitu pendangkalan sungai akibat limbah Freeport. Faktor ini, kata Yulianus, memaksa lebih banyak orang berlayar ke Laut Arafura.
“Banyak perahu yang berangkat akhirnya putar balik ke Pelabuhan Poumako, menunggu ombak reda, baru keluar ke laut lagi,” ujarnya.
Situasi seperti ini dihadapi Yulianus dan Kris, pada 7 Agustus lalu.
Saat itu mereka bersama 14 warga Agimuga lainnya, termasuk beberapa balita dan perempuan, hendak pulang ke Agimuga dari Timika.
Perahu mereka beranjak dari Poumako sekitar jam 06.00 waktu setempat. Begitu keluar dari muara sungai yang berdekatan dengan pelabuhan milik Freeport di Amamapare, kapal mereka dihadang ombak tinggi.
Belasan warga Agimuga itu memutar haluan kembali ke Poumako. Mereka memilih bermalam di pinggir kali, sembari menyusun siasat.
“Kami keluar dari Poumako dan bermalam di muara kali Amamapare. Pukul 04.30 kami coba ke laut, tapi kabut tebal jadi kami kembali ke Poumako,” kata Kris.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Tak ada penginapan di Poumako. Di pelabuhan rakyat ini hanya ada sejumlah tenda berbahan terpal yang didirikan sebagai rumah oleh orang-orang asli Papua.
Belasan warga Agimuga tadi memilih kembali ke Timika, sekitar 60 menit perjalanan darat. Di Timika, mereka tinggal bersama-sama di sebuah kamar kontrakan.
Kris, Yulianus, dan sejumlah laki-laki dewasa bertahan di Poumako untuk mengamati kondisi laut.
Pada 11 Agustus, pukul 03.00, belasan warga Agimuga itu mengadu peruntungan lagi.
“Puji Tuhan, kami bisa tembus. Kami sempat singgah sebentar, lalu tiba di Kali Amokonomon pukul 23.51,” kata Kris.
Sungai yang dia sebut itu adalah nama asli Sungai Agimuga.
‘Tak masuk area kerja Freeport’, tapi terdampak juga
Pada 3 Maret 1973, Soeharto menyatakan rasa gembiranya tatkala meresmikan kompleks pertambangan dan permukiman Freeport di Tembagapura—kota yang didirikan di atas lahan pertanian orang-orang Amungme di Lembah Mulkini.
Soeharto, dalam pidatonya, menjanjikan bahwa ekstraksi tembaga di gunung Yelsegel-Ongopsegel “akan membantu memajukan masyarakat yang masih terbelakang di daerah sekitar proyek”.
Tak ada kata-kata tentang limbah pertambangan dalam pidato Soeharto itu.
Dia tidak menjelaskan pula dampak negatif yang berpotensi dialami orang-orang Amungme, Kamoro, dan Sempan.
Soeharto hanya bilang, “pertambangan juga mengandung risiko yang besar.”

Sumber gambar, Jos Donkers
Setelah pidato itu, orang-orang Amungme perlahan merasakan “risiko” yang disebut Soeharto.
Tom Beanal, laki-laki Amungme lulusan Akademi Teologi Katolik Jayapura, sekaligus pemimpin pertama Lembaga Adat Suku Amungme, berulang kali menyatakan itu semasa kehidupannya.
April 1996, Tom menggugat Freeport ke Pengadilan Federal Amerika Serikat di Louisiana.
Dia mengajukan gugatan itu atas nama pribadi dan sebagai perwakilan orang-orang asli Papua di Mimika.
Tom menuduh Freeport melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum, satu di antaranya perusakan lingkungan.
Freeport, kata Tom, menghancurkan gunung, mengubah alur sungai, memicu banjir dan deforestasi, serta membuang limbah berbahaya ke sungai.

Sumber gambar, Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno
Freeport merespons tuduhan Tom. Menurut mereka, “Tom tidak dapat membuktikan bahwa pertambangan Freeport melanggar hukum lingkungan yang berlaku secara universal”.
Freeport meminta pengadilan menutup perkara tersebut. Menurut mereka, “tidak semestinya pengadilan AS memeriksa praktik dan kebijakan lingkungan negara lain”.
Dalam putusan akhirnya, Pengadilan Louisiana akhirnya memilih untuk sependapat dengan Freeport. Mereka tak mengabulkan satu pun gugatan Tom.
Pengadilan, kata hakim dalam putusan itu, harus sangat berhati-hati mengaitkan tanggung jawab terhadap lingkungan yang samar dengan pelanggaran hukum internasional.
Agimuga tidak disebut dalam perkara yang dibawa Tom ke Louisiana. Agimuga juga tak muncul dalam berbagai riset tentang dampak pertambangan Freeport—setidaknya pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an.
Dalam laporan setebal 119 halaman, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut bahwa Kementerian Lingkungan Hidup pernah meminta Freeport berhenti membuang limbah melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Otomona.
Dalam surat tertanggal 12 Juni 2001 itu, pemerintah bilang korporasi itu seharusnya mengalirkan limbah dari gunung ke dataran rendah melalui pipa.
Melalui surat itu pula, menurut Walhi, pemerintah meminta agar limbah Freeport tidak mengalir ke muara Sungai Ajkwa. Salah satu solusi yang diajukan pemerintah adalah pembuatan bendungan di dataran rendah.

Sumber gambar, Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno
Dalam audit lingkungan pertama yang dilakukan pemerintah sejak operasional perdana Freeport, Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Rachmat Witoelar, menyebut limbah perusahaan itu telah memicu kerusakan alam yang parah.
Witoelar untuk pertama kali mempublikasikan dampak pertambangan Freeport itu pada 24 Maret 2006.
Berdasarkan riset kolaboratif dengan sejumlah akademisi, Walhi pada 2006 menyebut sistem sungai Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa “telah berubah secara radikal dari bentuk alaminya”.
Akibat limbah Freeport, tiga sungai itu tak bisa lagi menjalankan fungsi tradisionalnya, termasuk sebagai jalur transportasi tradisional warga pesisir.
“Jika dulu aliran sungai lancar sampai ke laut, maka sekarang terdapat penghalang berupa dataran banjir buatan yang dipenuhi dengan padatan yang berasal dari tailings (limbah pasir sisa tambang),” tulis Walhi.
Pendangkalan muara sungai di pesisir Ajkwa inilah yang dalam satu dekade terakhir tidak hanya dihadapi orang-orang Agimuga, tapi dua distrik lain di sisi timur Mimika, yaitu Jita dan Mimika Timur Jauh.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Total warga tiga distrik yang kesulitan melalui muara sungai di pesisir Mimika berjumlah sekitar 6.484 orang. Angka ini dikumpulkan oleh Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (Lepemawi).
Hanro Yonathan Lekitoo, antropolog di Universitas Cendrawasih, mengetahui betul persoalan itu. Pada September hingga Oktober 2016, dia bersama sejumlah ilmuwan meneliti bagaimana masyarakat pesisir menggunakan Sungai Okoroppa di selatan Mimika.
Riset itu, kata Lekitoo, dibuat karena Freeport berniat menutup Sungai Okoroppa sebagai bagian dari siasat mengatasi limbah pertambangan.
Hanro berkata, Freeport sebelumnya telah menutup empat sungai lain, yaitu Amapiraripi, Amawuraro, Tawaiwo, dan Yaimama.
“Tidak ada masyarakat yang setuju dengan rencana penutupan sungai itu, bahkan mereka menangis,” kata Lekitoo.
“Kami ini paling takut laut,” ujarnya mengulang perkataan warga di pesisir selatan Mimika.
“Kami bukan manusia laut. Kami manusia sungai,” kata Lekitoo.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budhi
Orang-orang Agimuga dan dua distrik lain di timur Mimika itu menghadapi situasi yang sama seperti masyarakat Yonggom dan Awin di sepanjang Sungai Ok Tedi, Papua Nugini.
BHP Billiton, perusahaan berbasis di Melbourne, Australia, yang menambang Gunung Fubilan di Western Province membuang limbah ke Sungai Ok Tedi selama puluhan tahun.
Serupa Sungai Ajkwa, Sungai Ok Tedi pun akhirnya semakin mendangkal karena harus menampung sedimen pasir sisa tambang 5 hingga 10 kali lebih banyak dari kemampuan alaminya.
Masyarakat suku Yonggom dan Awin, oleh karenanya, kepayahan dan menghadapi risiko tenggelam saat bertransportasi dengan perahu motor.
Padahal, kata antropolog Stuart Kirsch, Sungai Ok Tedi adalah satu-satu akses warga untuk menjual hasil hutan dan membeli sembako serta obat-obatan.
Dalam laporan terbuka mereka pada 2011, Freeport mengakui bahwa mereka telah menerima keluhan terkait “sedimentasi material perusahaan di daerah muara”.
Warga, menurut dokumen itu, mengeluh karena pendangkalan sungai berdampak negatif pada jalur transportasi air menuju Timika.
Terhadap keluhan tahun 2011 itu, Freeport berjanji melakukan mitigasi. Kamus bahasa Indonesia yang disusun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengartikan mitigasi sebagai “tindakan mengurangi dampak bencana”.
Namun persoalan itu masih terjadi hingga hari ini.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Komisi IV DPR pada akhir Februari 2023 berjanji akan mengadvokasi warga pesisir Mimika.
Pada akhir Februari 2023 itu pula, Direktorat Jenderal Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengirim tim untuk memverifikasi pendangkalan dan terputusnya jalur transportasi air di selatan Mimika.
Berdasarkan verifikasi lapangan, tim itu mendapat sembilan temuan. Satu di antaranya, “pendangkalan muara sungai yang semakin parah menimbulkan timbulan tanah yang cukup tinggi.”
Pendangkalan itu, tulis mereka, “berpotensi menyebabkan Pulau Puriri dan Pulau Anjing menyatu dengan daratan”.
Padahal dua pulau itu adalah tempat singgah warga dari timur Mimika, termasuk Agimuga, untuk menunggu gelombang tinggi di Laut Arafura mereda. Saat gelombang tak lagi tinggi, barulah mereka melanjutkan perjalanan.
Opsi alternatif memutari tanjung di sekitar dua pulau itu, menurut tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut, “sulit dan membahayakan karena merupakan perairan terbuka dengan kondisi laut yang tidak baik”.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Akhir November lalu Freeport mengirim jawaban tertulis kepada BBC.
Dalam jawaban mereka, Freeport bilang potensi sedimentasi limbah yang terjadi di sekitar daerah muara sungai Ajkwa sebenarnya telah tercantum dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tahun 1997. Dokumen itu disetujui pemerintah.
Pada Amdal terbaru yang disetujui pemerintah pada 2023, Freeport membuat klaim akan meneruskan program bantuan untuk komunitas yang mereka kategorikan terdampak sedimentasi muara sungai.
Warga di Agimuga tidak termasuk kategori ini.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budhi
Bantuan berupa bus gratis dan motor tempel gratis itu mereka sediakan untuk warga di lima kampung pesisir: Tipuka, Ayuka, Nawaripi, Koperapoka, dan Nayaro. Kelima kampung itu disebut Freeport masuk dalam wilayah usaha pertambangan mereka.
Tiga kampung lain, yakni Omawita, Fanamo, dan Otakwa juga disebut Freeport menerima bantuan tersebut. Ketiganya dimasukkan Freeport ke kategori kampung yang secara tidak langsung terdampak limbah mereka.
Selama bertahun-tahun, warga Agimuga harus menghadapi sendiri risiko tenggelam di Laut Arafura.
Namun usai persoalan ini dibahas oleh sejumlah anggota DPR di Jakarta sejak tahun 2022, Freeport mengeluarkan janji baru.,
Mereka berkata “akan memberikan dukungan akses agar warga dari Agimuga, Jita, dan Mimika Timur Jauh dapat berlalu-lalang ke arah Timika.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Freeport berjanji akan mendirikan rumah singgah di Pulau Yul, Agimuga dan di Pulau Bidadari, Mimika Timur Jauh bagi warga Agimuga.
Freeport juga berjanji menormalisasi jalur air tradisional sepanjang 24 kilometer.
Lainnya, Freeport bilang telah menanam pohon bakau (mangrove) di sepanjang muara Ajkwa, termasuk daerah endapan limbah di Pulau Waii, Pasir Hitam dan Pulau Ajkwa.
Dengan penanaman mangrove seluas 500 hektare per tahun, klaim Freeport, “jalur transportasi air masyarakat di area muara dapat terus dipertahankan”.
Keberadaan pohon-pohon bakau itu, menurut Freeport, bisa membuat “masyarakat dapat terus melewati muara Ajkwa, baik menuju maupun dari wilayah timur”.
“Menyadari pentingnya rute-rute ini bagi pemegang hak-hak masyarakat adat, kami bekerja sama erat dengan mereka untuk menilai dampak dan memastikan bahwa rute transportasi dipulihkan atau diganti dengan alternatif yang disepakati bersama,” kata Katri Krisnati, VP Corporate Communications PT Freeport Indonesia.
“Kami tetap teguh dalam komitmen kami terhadap produksi yang bertanggung jawab dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ujarnya.
Warga Agimuga kini masih menunggu Freeport mewujudkan janji-janji itu.
Agimuga dan ‘Tragedi 1977’
Relasi orang-orang Amungme di Agimuga dengan pertambangan telah berlangsung empat dekade sebelum pendangkalan sungai menyulitkan kehidupan mereka.
Pada 18 Juni 1977, sekitar pukul 06.00, milisi pro-kemerdekaan Papua pimpinan Boni Niwilingame menyerang kantor polisi di Agimuga.
Penyerangan itu terjadi dalam rentetan aksi kelompok yang disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sejumlah wilayah pegunungan tengah sejak dua bulan sebelumnya—menjelang Pemilu 1977.
Serangan OPM berlangsung, antara lain di Kobakma (kini Memberamo Tengah), Bokondini (Tolikara), Piramid (Jayawijaya), serta Makki dan Tiom (Lanny Jaya)
Peristiwa itu diberitakan surat kabar Tifa Irian pada 20 April 1978. Koran ini dikelola Yayasan Pers Katolik, di bawah Keuskupan Jayapura.

Sumber gambar, Jos Donkers
Di Agimuga, OPM dan warga asli Papua menutup lapangan terbang. Pastor asal Belanda yang melayani umat Katolik di distrik itu sejak 1973, Hans Frankenmolen, mencatat secara rinci dinamika peristiwa tersebut di buku hariannya.
Frankenmolen menulis, OPM bersama warga sipil asli Papua lainnya juga menyandera 30 orang pendatang dari Sulawesi, Flores, dan Kei.
Orang-orang ini yang bekerja sebagai guru dan pegawai negeri di Agimuga. Di antara para sandera terdapat beberapa anak dan empat tentara berdarah Papua.
Frankenmolen lantas berinisiatif menemui pimpinan kelompok milisi di Agimuga. Namun dia tak bisa bertemu Boni yang telah berjalan kaki menuju lokasi Freeport.

Sumber gambar, Jos Donkers
Kala itu, laki-laki Amungme tersebut adalah orang nomor dua di pucuk komando kelompok pro-kemerdekaan Agimuga.
Kelly, yang baru saja lulus dari Sekolah Guru Bantu di Jayapura pada 1974, kecewa sekaligus marah.
Menurut Kelly, saat itu orang-orang Amungme terpinggirkan, meski proyek pertambangan telah mengambil gunung yang dianggap sakral oleh komunitas adat mereka.
“Ya Tuhan, betapa besar kebencian anak muda ini kepada Indonesia!” tulis Frankenmolen.
“Mereka tak berbuat apa-apa untuk orang Papua, terutama yang tinggal di pedalaman,” tulis pastor asal Belanda itu, mengulang kata-kata Kelly.
“Sudah banyak janji-janji, tapi tak ada yang ditepati. Lihat saja Agimuga,” ujar Kelly, seperti ditulis Frankenmolen.
Juli 1977, Kelly dan kelompok milisinya meledakkan dan memotong sebagian pipa konsentrat Freeport yang memiliki panjang 110 kilometer—setara rute kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pipa tersebut merupakan satu-satunya jalur untuk mengalirkan bijih hasil tambang dan emas dari lokasi tambang di gunung ke Pelabuhan Amamapare.

Sumber gambar, Dokumen Paroki Kokonao
Otoritas Indonesia merespons aksi milisi pro-kemerdekaan dengan menggelar operasi militer ke sejumlah daerah di pegunungan tengah Papua.
Agimuga menjadi salah satu episentrum operasi militer, salah satunya, karena Kelly lahir dan melakukan aksi di distrik tersebut.
Eliezer Bonay, eks Gubernur Irian Barat yang belakangan kecewa pada pemerintah Indonesia dan memiliki aspirasi kemerdekaan, menyebut korban tewas di kalangan sipil akibat operasi militer di pegunungan tengah berjumlah ribuan orang.
Perkiraan serupa juga dinyatakan Asian Human Rights Commission. Lembaga advokasi sipil berbasis di Hong Kong itu menggali kesaksian korban dari 15 komunitas warga di Pegunungan Tengah.
Warga sipil asli Papua yang terbunuh selama operasi militer periode 1977-1978 mencapai 4.146 orang, menurut perhitungan mereka.
Pemerintah Indonesia saat itu membantah telah terjadi “pemberontakan” di pegunungan tengah Papua. Yang terjadi adalah perang suku, kata Letkol Albert Dien, ketika itu menjabat Komandan Kodim 1702 Cenderawasih.
“Mereka ini orang-orang yang mudah dihasut sehingga dengan mudah oknum GPL masuk,” ujar Albert, sebagaimana ditulis Harian Kompas, 28 November 1977.
GPL adalah akronim dari Gerakan Pengacau Liar, istilah pemerintah Orde Baru untuk OPM.

Sumber gambar, AFP
Direktur Penerangan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri, Abdurachman Gunadirdja, membantah pemerintah menggelar operasi militer di wilayah itu.
“Kalaupun terjadi tindakan dari pihak berwajib RI terhadap suku-suku tersebut, itu dalam rangka melerai pihak-pihak yang bertentangan,” ujarnya, seperti diberitakan Harian Kompas pada 3 Juni 1977.
Direktur Freeport kala itu, Forbes Wilson, membuat asumsi bahwa aksi OPM dan warga asli Papua pada 1977 berkaitan dengan kultus kargo.
Istilah ini merujuk pada sebuah kepercayaan di kawasan Pasifik bahwa “penyelamat akan datang membawa kesejahteraan dan kemerdekaan”.
Menurut Wilson, OPM menghasut orang asli Papua bahwa pemerintah Indonesia menghalangi kargo yang dibawa Freeport.
“Jika mereka dapat mengusir pemerintah, maka mereka bisa menjadi kaya raya seperti orang-orang asing,” ujar Wilson.

Sumber gambar, Jos Donkers
Namun berbagai klaim pemerintah dan Freeport itu berbeda dengan yang dikatakan Andreas Karma, Bupati Jayawijaya saat itu.
Kepada wartawan Harian Kompas, Sularto, Andreas menyebut pemicu peristiwa kekerasan di pegunungan tengah itu adalah “ketidakpuasan rakyat kepada para pejabat yang pernah mengobral janji”.
Wakil Ketua DPRD Jayawijaya G. A. Mandika mengatakan hal yang sama.
“Faktor ketidakpuasan ini seakan sebagai api dalam sekam,” ujarnya.
Akibat gejolak ini, warga non-Papua mengungsi keluar perkampungan, salah satunya menuju kamp yang didirikan pemerintah di Wamena, sebagaimana diberitakan Harian Kompas.
Sementara itu, ribuan warga asli Papua berlarian dari kampung-kampung di Pegunungan Tengah menuju hutan, bahkan ke Papua Nugini yang berjarak hampir 500 kilometer. Mereka takut karena militer Indonesia mengerahkan pasukan ke perkampungan.
Perdana Menteri Papua Nugini saat itu, Michael Somare, membenarkan adanya warga asli Papua yang menyeberang perbatasan dan masuk ke negaranya.
Sebagian pengungsi itu bersedia kembali ke Papua, tapi Somare meminta pemerintah Indonesia berjanji tak akan mempersekusi mereka saat kembali ke yurisdiksi Indonesia.

Sumber gambar, Sydney Morning Herald
Yosepha Alomang adalah salah satu warga yang mengungsi akibat pPeristiwa 1977. Ketika itu, dia berumur sekitar 30 tahun.
Saat gejolak 1977 terjadi, perempuan Amungme ini telah bermigrasi dari Lembah Tsinga ke Agimuga, lalu ke kampung Kwamki Lama di Timika.
“Pesawat helikopter [yang membawa pasukan] itu turun di bandara Timika. Lapangan terbang itu di depan rumah saya,” kata Yosepha. Kami menjumpainya di Jayapura, Agustus lalu.
“Bapak saya kepala desa: Paulus Magal. Dia bilang, ‘Perang masuk, mau bunuh orang’.”
Malam usai melihat kedatangan sejumlah helikopter, Yosepha dan suaminya, Markus Kwalik, lari dari kampung Kwamki Lama menuju hutan.
Tiga anak mereka turut serta: Johana serta pasangan kembar Ela-Eli. Tidak hanya mereka, banyak warga Timika juga mencari selamat ke hutan.
“Pagi harinya, pung pang pung pang,” ujar Yosepha menirukan suara bom.
“Lapangan udara hancur,” kata dia.
“Semua orang jalan. Anak-anak jalan. Satu kampung besar itu keluar, tidak ada yang tinggal di rumah,” tuturnya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Abraham Utama
Di hutan, Yosepha dan tiga anaknya bertahan selama tiga tahun. Di sana, dia tak hanya sekali melihat pengungsi kehilangan nyawa.
“Lapar lalu mati. Terluka, mati,” ujarnya tentang para pengungsi yang meninggal.
“Anak saya yang pertama juga lapar, tidak makan, sampai dia berak darah. Air saja, darah yang keluar. Dia meninggal,” kata Yosepha.
Johana menghembuskan nafas terakhirnya pada usia lima tahun.
“Tidak ada makanan di hutan. Mau dapat dari mana,” ujar Yosepha.
Kematian di antara warga asli Papua yang mengungsi dalam Peristiwa 1977 dicatat secara resmi dalam buku tentang masyarakat Amungme yang disusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1995. Mereka memperkirakan, jumlah pengungsi yang meninggal setidaknya 200 orang.
Di Agimuga, militer Indonesia berdatangan dengan perahu dan pesawat tempur. Pastor Frankenmolen mencatat itu dalam buku hariannya, tanggal 23 Juli 1977.
“Dua pesawat tempur datang dari barat kemarin. Keduanya menukik lalu terbang ke udara lagi, secara bergantian dan terus-menerus,” tulis Frankenmolen.
“Pesawat itu mengeluarkan tembakan setiap kali menukik.
“Pesawat itu menargetkan orang-orang yang mereka lihat dan rumah-rumah tertembus pelurunya dengan mudah.
“Bom juga mereka jatuhkan. Itu rupanya bukan sekadar menakut-nakuti,” tulisnya.

Sumber gambar, Kompas/Dudy Sudibyo
Daerah yang paling sering menjadi target dua pesawat itu, kata Frankenmolen, adalah Kiliarma.
Sebuah jejak Peristiwa 1977 dan operasi militer di Agimuga kini berdiri di halaman Gereja Katolik Malaikat Gabriel Kiliarma. Bentuknya berupa tabung besi sepanjang 80 sentimeter.
Warga Agimuga yakin benda itu adalah selongsong bom yang dijatuhkan militer Indonesia.
Selama bertahun-tahun benda itu difungsikan sebagai sebuah lonceng—dibunyikan satu kali seminggu, menjelang ibadah menghadap Tuhan.

Sumber gambar, Istimewa

Sumber gambar, Istimewa
Kolonel Samsudin, eks Komandan Korem 172 Wamena periode 1978-1979, menulis dalam memoarnya tentang pesawat tempur TNI dalam operasi militer di Pegunungan Tengah.
Samsudin berkata, ketika itu dia mengontak Asisten Operasi Keamanan dan Pertahanan, Soekardi. Dia meminta pengerahan pesawat tempur yang dilengkapi bom.
Soekardi, menurut catatan Samsudin, berjanji mengirim pesawat OV-10 Bronco yang berpangkalan di Biak.
OV-10 Bronco diproduksi perusahaan manufaktur AS, Rockwell International, sebagai jet tempur anti-gerilya. Amerika Serikat menggunakannya di Perang Vietnam. Tidak hanya di Papua, Indonesia juga memakainya dalam konflik Timor Timur.
Pilot yang menerbangkan satu dari empat pesawat tempur Bronco di atas Pegunungan Tengah Papua pada Peristiwa 1977 adalah Koesbeni.
Koesbeni dan timnya menjalankan operasi tempur udara itu selama tiga bulan.
“Empat OV-10 Bronco dikerahkan,” ujarnya kepada Majalah Angkasa, pada 2016.

Sumber gambar, Getty Images
Kelompok milisi OPM, kata Koesbeni, sulit dihadapi karena bersembunyi di hutan yang lebat. Militer Indonesia lantas bersiasat dengan menggabungkan serangan darat dan udara.
Koesbeni, yang wafat pada 2017 dan dianugerahi gelar pahlawan nasional, menyebut pihaknya selalu memulai serangan dari udara.
Dalam istilah militer, pesawat tempur Bronco yang dikemudikannya berperan dalam “bantuan tembakan udara” dan “serangan udara langsung”.
Setelah serangan udara itulah, militer Indonesia menerjunkan pasukan khusus Kopassandha (kini Kopassus) ke lokasi yang mereka targetkan.
Dalam catatan harian Frankenmolen, pada 3 September 1977 setidaknya seratus tentara bersenjata lengkap tiba di Kampung Kiliarma, Distrik Agimuga. Mereka diantar tiga kapal besar dan sejumlah perahu motor.
Saat pasukan itu datang, mayoritas warga telah mengungsi ke hutan. Frankenmolen mencatat, Mayor Benediktur Guntoro yang memimpin pasukan itu kemudian menyebar pemberitahuan. Dia meminta seluruh warga Agimuga kembali, dengan jaminan keselamatan.

Sumber gambar, Jos Donkers
Dalam wawancaranya dengan jurnalis Dirk Vlasbom pada 2002, Frankenmolen bilang dia turut meminta warga kembali ke Agimuga. Namun jaminan keselamatan itu hanya sekedar janji belaka, kata Frankenmolen.
“Ketika masyarakat keluar dari hutan, tentara membawa mereka ke rumah dinas guru untuk interogasi. Terjadi pemukulan. Situasi buruk terjadi dalam berbagai interogasi itu,” ujar Frankenmolen.
“Saya lalu datang ke komandan tentara itu. Saya katakan, warga adalah korban dari peristiwa ini. Mereka bukan anggota OPM.
“Tapi perkataan saya itu tak banyak mengubah keadaan,” ujar Frankenmolen.
Sejak saat itu, satu demi satu warga sipil asli Papua meninggalkan Agimuga.
“Sebagian kecil populasi bergabung ke kelompok milisi yang melakukan perlawanan, tapi sebagian besar pindah ke Timika, tempat orang Amungme tinggal,” kata Frankenmolen.
Frankenmolen mengakhiri tugas imamatnya di distrik itu pada 1981. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama satu-satunya puskemas di Agimuga.

Sumber gambar, Getty Images
Kesaksian mengenai operasi udara militer Indonesia ini muncul dalam buletin Asosiasi Korps Survei Australia yang terbit pada 2011.
Don Swiney, pegawai asosiasi itu, pada 1977 bertugas bersama timnya di pegunungan tengah untuk membantu Indonesia memetakan topografi Papua.
“Tentara Indonesia melakukan operasi intensif melawan OPM, termasuk dengan cara membakar desa-desa dengan roket dari udara dan juga lewat operasi darat,” tulis Swiney.
“Salah satu serangan itu menargetkan stasiun misi bernama Apalapsili (kini sebuah distrik di Kabupaten Yalimo), yang berjarak sekitar 80-100 kilometer dari Wamena,” tulisnya.
Surat kabar Sydney Morning Herald, pada Oktober 2013, memberitakan kesaksian Don Swiney ini. Harian Australia itu merujuk wawancara Swiney dengan Fairfax Media.
“Saya mengetahui operasi darat yang berbasis di Wamena dan saya memperkirakan pada saat itu terdapat lebih dari satu batalion pasukan Indonesia yang didukung dari udara oleh pesawat OV-10 Bronco,” kata Swiney.
“Pesawat ini dipersenjatai dengan roket. Saya menyaksikan dari udara, gubuk-gubuk di desa-desa yang terbakar habis. Tentang bagaimana itu dilakukan, saya hanya bisa merasa terkejut,” ujarnya.

Sumber gambar, AFP
TNI Angkatan Udara kini telah memarkir pesawat tempur OV-10 Bronco mereka di sejumlah museum, satu di antaranya Satriamandala di Jakarta.
Pemberitaan resmi militer Indonesia menulis, Bronco bisa memuat bahan peledak seberat tiga ton. Pesawat ini dilengkapi pula dengan peluncur roket dan sejumlah bom.
Situs daring resmi tentang sejarah TNI menyebut Bronco dengan sebutan Si Kuda Liar.
Pesawat ini, merujuk pemberitaan resmi TNI, “turut ikut andil dalam operasi yang digelar TNI AU, antara lain Operasi Tumpas tahun 1977-1978 di Irian Jaya.”
***
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari liputan mendalam tentang blok migas terbesar di Indonesia yang ditentang berbagai kelompok orang asli Papua.
Dalam tulisan bagian kedua, kami akan mengungkap berbagai pihak non-Papua yang sejak lebih dari satu abad lalu telah mengincar Tanah Papua dan sumber dayanya.
Mereka adalah politikus yang dekat dengan Partai Nazi Jerman, para keturunan Indo-Belanda di Hindia Belanda, perwira Jepang yang terlibat proklamasi kemerdekaan Indonesia, hingga perusahaan Amerika Serikat yang terusir pascaRevolusi Kuba dan korporasi dari Indonesia.
Bagian kedua dari tulisan ini bisa Anda simak pada Selasa, 4 Februari 2025, di laman BBC News Indonesia.