‘Saya pikir, saya punya waktu’ – Kisah dua perempuan Indonesia terkena kanker payudara pada usia 20-an tahun

Sumber gambar, BBC Indonesia
- Penulis, Tri Wahyuni
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Kini semakin banyak anak muda yang terkena kanker. Adeline dan Claudia harus berjuang melawan sel kanker yang berbahaya pada usia 20-an tahun. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global.
Kaget, takut, sedih, khawatir, semua perasaan itu menyergap Rose Adeline, ketika dokter menyatakan kanker payudara stadium satu bersarang di tubuhnya.
Tangisnya pecah di hadapan orang-orang yang berada di ruangan rumah sakit, lebih dari setahun lalu.
“Susah buat menerima, susah buat percaya,” kata Adel, sapaan akrabnya, ketika berbincang dengan BBC News Indonesia pada akhir Januari lalu.
Selama ini dia meyakini penyakit kanker hanya menyerang orang-orang yang “sudah berumur” dan diwariskan secara genetik. Namun, pada September 2023 lalu, pemahamannya itu berubah.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Saya pikir karena di keluarga saya enggak ada yang terkena kanker, jadi saya pikir enggak mungkin lah aku bisa kena,” ujarnya.
Ternyata, pada usia 20 tahun, Adel dinyatakan mengidap kanker payudara “estrogen positif” dan bukan karena faktor keturunan.
Sampai sekarang Adel tidak tahu penyebab dirinya terkena kanker di usia yang masih sangat muda. Dokter pun tak bisa menuding faktor tunggal pemicu berkembangnya sel kanker.
Namun, Adel menduga beberapa kebiasaannya mungkin turut berkontribusi.
“Dulu saya tinggal sendiri di Singapura dan saya sering banget makan frozen food [makanan beku]. Saya sering menghangatkan makanan itu sama kemasan-kemasannya,” kenang Adel.
“Saya juga bisa semalam itu cuma tidur sejam atau dua jam dan itu lumayan rutin.”
Meski tidak punya kebiasaan merokok, menghisap rokok elektronik, dan mengonsumsi alkohol, Adel mengaku jarang berolahraga.
‘Mimpi buruk’
Semua berawal ketika Adel merasakan benjolan di payudara kirinya pada 2021 lalu. Dari hasil pemeriksaan, dua dokter yang dia kunjungi mengidentifikasi benjolan itu sebagai “tumor jinak”.
Waktu itu Adel hanya disarankan untuk “menjaga makan” dan melakukan pemeriksaan setelah enam bulan.
Waktu berlalu, Adel yang kemudian disibukkan dengan perkuliahan di Singapura, mengabaikan tumor di dadanya.
Sampai pada 2023, ketika sudah kembali ke Indonesia dan bekerja, dia sesekali merasakan nyeri pada area benjolan.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Tepat di bulan September, Adel pergi ke Penang, Malaysia, buat memeriksa kondisi tumornya. Orang tuanya bahkan merencanakan operasi pengangkatan tumor.
Namun, setelah diperiksa lebih jauh, ternyata ada benjolan lain yang berakar. Dokter menemukan kanker di dekat tumor Adel dan segera memutuskan pengobatan kemoterapi.
Berbagai ketakutan hinggap di pikiran Adel. Mulai dari takut kesakitan hingga takut kehilangan rambut akibat efek sampingnya.

Sumber gambar, Istimewa
“Sebagai perempuan, kehilangan rambut di umur segini, itu mimpi buruk,” katanya.
Sekitar dua minggu setelah kemoterapi pertama, rambutnya langsung rontok tak keruan. Ketakutan Adel menjadi nyata.
“Walaupun orang-orang bilang, ‘Yang penting kan bisa sembuh, nanti tumbuh lagi’, tapi kalau mengalami itu langsung enggak semudah itu,” ucapnya.
Hari-hari menjalani kemoterapi terasa begitu sulit buat remaja yang baru saja beranjak dewasa itu.
“Kenapa harus saya yang mengalami ini” jadi pertanyaan yang terus menghantuinya.
Namun, lama-kelamaan Adel sadar, dia “tidak punya pilihan”.
“Mungkin mindset yang lumayan membantu. Saya berpikir per hari saja, one day at a time. Jadi, kalau hari ini saya bisa lewati, besok juga saya bisa lewati,” kata Adel.

Sumber gambar, Istimewa
Setelah delapan kali menjalani kemoterapi, ia menuju ke tahap berikutnya, operasi lumpektomi—pengangkatan tumor atau jaringan payudara yang terkena kanker.
Untuk membunuh sel kanker, menghentikan penyebarannya, dan mencegah kanker tumbuh lagi, Adel harus menjalankan 20 kali radioterapi.
Sekarang Adel sudah tidak menjalani pengobatan. Namun, dia masih harus minum obat selama lima tahun untuk menjaga kestabilan hormonnya.
“Sekarang aku sudah sembuh total sih, hitungannya sudah remisi,” kata Adel diiringi senyum gembiranya.
Rambutnya juga sudah tumbuh lagi, seiring dengan rasa percaya dirinya, meskipun pertumbuhannya “lambat” dan rambutnya jadi berbeda–bergelombang.
Dia bilang itu efek kemoterapi.
Menyebar ke paru-paru hingga tulang
Claudia didiagnosis kanker payudara stadium empat pada 2023 lalu, saat dia berusia 26 tahun. Artinya, kankernya sudah memasuki tahap serius.
Kanker tidak hanya bersarang di payudara Claudia, tapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening, paru-paru, dan tulang.
Kaget dan sedih, sudah pasti. Tapi, di saat bersamaan, dia juga bingung.
“Apa yang harus saya lakukan untuk bisa sembuh dari penyakit ini walaupun kemungkinannya enggak tahu seberapa?” pikirnya kala itu.
Cia—begitu dia disapa—sudah merasakan benjolan di payudaranya dua tahun sebelum dia memeriksakan diri dan didiagnosis kanker.
Pada saat itu dia mengira benjolan itu bagian dari otot karena bentuknya tidak rata dan tidak terlalu menonjol.
Setahun berikutnya, dia semakin merasakan benjolan yang tidak rata itu. Dan pada 2023, Cia merasakan benjolan itu membesar secara drastis.
Meski begitu, dia tidak langsung memeriksakan diri ke dokter. Setelah membaca informasi dari internet yang menyebut “tidak semua benjolan itu berbahaya”, Cia mengabaikan keluhannya.
Tapi beberapa bulan kemudian, Cia mulai merasakan nyeri pada benjolannya. Semakin hari, semakin “intens” dan bahkan “terasa panas”.

Sumber gambar, Istimewa
Dari situ dia merasa harus segera melakukan pemeriksaan ke dokter.
“Ternyata [setelah diperiksa] ketahuan itu bukan benjolan biasa tapi kanker. Dari situ baru panik,” kata Cia.
Dia bingung apa yang menyebabkan sel kanker tumbuh dan berkembang di dalam tubuhnya. Sebab, selama ini dia “lumayan menjaga makan”.
Cia mengaku jarang mengonsumsi makanan olahan, seperti sosis dan makanan-makanan dalam kemasan.
Bahkan ia mengaku mengonsumsi sayur dan buah setiap hari, tidak merokok, dan juga tidak meminum minuman alkohol.
“[Penyebabnya] bisa macam-macam karena memang sampai sekarang enggak ada yang tahu pasti penyebab kanker itu kenapa,” kata Cia menirukan jawaban dokternya.
“Terus saya tanya, kalau dari stres bisa enggak? Soalnya saya merasa selama pandemi itu 2020-2023 saya lumayan stres.”
“Ya bisa. Tentu bisa. Apalagi kalau bawa genetik,” jawab dokternya kala itu.
‘Saya harus bertahan’
Sejak didiagnosis kanker payudara pada Juni 2023, Cia sudah menjalani sekitar 30 kali kemoterapi.
Tidak seperti Adel yang mengalami efek samping yang cukup menyiksanya, kemoterapi yang dijalani Cia tidak membawa efek yang terlalu besar karena “dosisnya kecil”.
Enam bulan menjalani kemoterapi, dokter menyampaikan kalau Cia harus menjalani masektomi, sesuatu yang sudah dia perkirakan sejak awal.
Masektomi adalah operasi pengangkatan jaringan payudara, sebagian, atau seluruhnya.
Pada Januari 2024, payudara kiri Cia diangkat.

Sumber gambar, Istimewa
Sebagai perempuan, kehilangan payudara bukanlah hal yang mudah diterima.
Tapi, untungnya, orang-orang di sekeliling Cia terus memberikan dukungan sampai rasa sedih dan kecewanya kalah dengan keinginannya buat sembuh.
“Saya berusaha enggak memikirkan saya bakal kehilangan aset saya sebagai perempuan.”
“Daripada fokus ke penampilan, saya fokus harus selamat dulu. Apapun caranya saya harus bertahan,” kata Cia.
Operasi sudah selesai, radioterapi juga sudah dijalani, tetapi Cia masih harus melanjutkan kemoterapi sampai sekarang.
Kondisi kanker yang sudah menyebar ke organ-organ lain membuat dia harus tetap menjalani pengobatan.
Ditambah lagi, ternyata ada “penyebaran ke kulit”, di bekas operasi masektomi
Meski “sering dihantam kenyataan-kenyataan pahit”, Cia berusaha tetap fokus pada kesehatan dan kesembuhannya.

Sumber gambar, Getty Images
“Apapun yang terjadi, saya justru mau membuktikan kalau enggak ada yang enggak mungkin. Walaupun kalau dunia bilang, ‘Ah sulit lah, sudah stadium [empat] begitu’.”
“Saya mau menunjukkan, ‘enggak kok, buktinya ini saya bisa’,” ujarnya penuh optimisme.
Di luar terapi yang harus dia jalani sebagai pasien kanker, Cia menjalani kegiatannya dengan normal.
Dia masih aktif bekerja sebagai make-up artist atau perias profesional. Di beberapa kesempatan dia juga aktif membagikan cerita perjalanan kankernya di forum-forum terbuka.
Selama masih bisa membagi waktu dengan baik, tidak kelelahan, Cia masih bisa “menjalani hidup selayaknya orang normal”.
Mengapa kanker menyerang usia lebih muda?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kebanyakan kasus kanker masih ditemukan pada orang tua atau lansia, tetapi sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap peningkatan kasus kanker pada kelompok usia yang lebih muda.
Peningkatan insiden kanker di bawah usia 50 tahun pada periode 1990-2019 naik 79% secara global, menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Oncology.
Data itu bukan berasal dari satu jenis kanker saja, melainkan dari 29 tipe kanker–termasuk kanker payudara–di 204 negara. Jumlah kasusnya meningkat pada kelompok usia milenial dan gen Z.
Bukan hanya tren usia saja yang bergeser.
Secara historis, kasus kanker lebih banyak menyerang laki-laki, tetapi American Cancer Society menemukan kasus-kasus kanker di AS kini lebih banyak menyerang perempuan.
Di AS, tingkat kejadian kanker pada perempuan di bawah usia 50 tahun 82% lebih tinggi daripada laki-laki.
Fenomena serupa juga ditemukan di Inggris. Kasus kanker meningkat di kalangan perempuan muda, tetapi pada laki-laki muda jumlahnya tetap stabil.

Sumber gambar, Getty Images
Di Indonesia, belum ada data terkait peningkatan kanker di kelompok usia yang lebih muda. Namun, dokter mengatakan sudah menemukan beberapa kasus.
Kasus kanker yang paling banyak ditemukan di Tanah Air adalah kanker payudara. Diperkirakan, kasusnya bertambah 65.000 per tahun. Dari jumlah itu, sejumlah kasus di antaranya ditemukan pada orang-orang berusia 20-an tahun.
Bahkan, Dokter Spesialis Onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais Denni Joko Purwanto mengaku pernah menangani pasien kanker payudara yang berusia 12 tahun.
“Yang dimaksud kanker usia muda pada payudara adalah di bawah 40 tahun sebetulnya.”

Sumber gambar, Getty Images
“Tapi di umur-umur 20-an sekarang sudah banyak terjadi. Ini juga kita tidak mengetahui pasti penyebabnya, tapi kemungkinan adalah pola dan gaya hidup,” kata Denni kepada BBC News Indonesia.
Kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi diperkirakan menjadi salah satu faktor pemicu tumbuhnya kanker payudara, kata dokter.
Konsumsi “makanan berkolesterol tinggi yang tidak terkontrol” juga membuat menstruasi pertama atau menarche terjadi di usia yang lebih muda.
“Akibatnya paparan estrogen semakin panjang, sehingga angka kanker payudara pada usia muda meningkat,” ujar Denni.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal medis The Lancet pada Agustus 2024 lalu menyebutkan hal serupa.
Peningkatan kasus kanker di bawah usia 50 tahun di AS, juga dikaitkan dengan meningkatnya paparan dari zat-zat yang memicu kanker, khususnya mereka yang lahir sekitar tahun 1990-an.
Kemungkinan paparan dari karsinogenik itu terjadi sejak pada masa awal kehidupan mereka atau pada saat menyentuh usia dewasa muda.
‘Bukan hanya faktor tunggal’
Para peneliti menduga pola makan menjadi salah satu faktor yang penyebab berkembangnya kanker di usia muda.
Konsumsi berlebihan daging merah dan natrium serta rendahnya konsumsi buah juga susu dicurigai turut berperan dalam pertumbuhan sel kanker, menurut hasil penelitian dalam jurnal BMJ Oncology dan The Lancet.
Apalagi jika disertai dengan konsumsi alkohol dan tembakau.
Konsumsi makanan tidak sehat secara berlebihan, yang menyebabkan obesitas, diduga juga bisa memicu kanker.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengaitkan obesitas dengan meningkatnya risiko kanker melalui peradangan dan ketidakseimbangan hormon.
Di AS ditemukan peningkatan 10 tipe kanker yang terkait dengan obesitas, yaitu kanker ginjal, ovarium, hati, pankreas, hingga kanker empedu. Data itu didapatkan dari hasil penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet.

Sumber gambar, Getty Images
Penelitian lainnya menyebutkan paparan terhadap bahan tambahan pada makanan olahan, seperti pengemulsi dan pewarna makanan, akan menyebabkan peradangan usus dan kerusakan DNA.
American Association for Cancer Research menyatakan gangguan pada usus itu tidak hanya terkait dengan kanker kolorektal, tetapi juga kanker payudara dan kanker darah.
Bukti bahwa pola makan menjadi salah satu penyebab kanker pada anak muda memang sudah banyak ditemukan, tetapi faktor ini tidak terjadi di semua kasus. Seperti pada kasus Claudia yang katanya selalu mengonsumsi makanan-makanan sehat.
Para ilmuwan juga tengah menyelidiki faktor lainnya. Beberapa berpendapat paparan cahaya buatan dari perangkat elektronik atau lampu jalan secara terus-menerus dapat mengganggu jam biologis.
Hal itu bisa meningkatkan risiko kanker seperti kanker payudara, kanker usus besar, kanker ovarium, dan kanker prostat.
Baca juga:
Penelitian lain menunjukkan paparan cahaya yang lama di malam hari, juga dapat menurunkan kadar melatonin, sehingga mendorong pertumbuhan kanker.
Ada juga soal peningkatan penggunaan antibiotik. Secara global penggunaan antibiotik diperkirakan naik 45% sejak tahun 2000, terutama di kalangan anak-anak.
Hal ini juga diduga menjadi penyebab lain karena antibiotik mengganggu mikrobioma usus, kata beberapa peneliti.
Sekelompok ilmuwan Italia mengaitkan ini dengan kanker paru-paru, limfoma, kanker pankreas, karsinoma sel ginjal, dan multiple myeloma, dalam sebuah laporan tahun 2019.
Bahkan peningkatan tinggi badan antar generasi dapat berperan dalam meningkatnya angka kanker.

Sumber gambar, Getty Images
Pakar genetika kanker terkemuka di dunia, Malcolm Dunlop, mengatakan orang yang lebih tinggi cenderung memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker tertentu.
Salah satu penyebabnya karena mereka memiliki lebih banyak sel di tubuhnya. Semakin banyak sel, semakin besar pula peluang terjadinya kesalahan saat pembelahan sel, yang pada akhirnya dapat memicu kanker.
Namun, Dunlop menekankan kanker yang muncul pada usia muda disebabkan dari beberapa faktor yang saling terkait, bukan hanya faktor tunggal. Dan mengidentifikasinya cukup sulit.
“Sebagian besar faktor risiko belum pernah diuji dalam uji coba intervensi acak yang tepat,” katanya.
‘Saya pikir, saya punya waktu”
“Jujur saya trauma,” kata Adel.
“Sekarang saya masih tiba-tiba takut karena banyak yang bilang sel kanker bisa aktif lagi. Itu lumayan menghantui.”
Walaupun mengaku “rasanya berat”, Adel bersyukur bisa sembuh setelah berbulan-bulan dia berjuang melumpuhkan sel kanker dalam tubuhnya.
Kini, dia juga lebih mensyukuri hal-hal kecil yang sebelumnya dia anggap biasa saja, seperti “bisa makan”. Sebab, ketika masih menjalani kemoterapi, dia tidak bisa mengecap rasa makanan yang masuk ke mulutnya.
Adel juga lebih menghayati hidupnya, tidak menyia-nyiakan waktu, dan memaksimalkan setiap kesempatan serta pengalaman yang ia dapatkan.
“Dulu aku berpikir kalau mau melakukan sesuatu, saya kayak nanti saja, nanti saja. Saya pikir aku punya waktu, tapi hidup ternyata bisa berubah sedrastis itu, secepat itu,” ujar Adel.
Maka dari itu, dia berpesan kepada perempuan-perempuan lainnya untuk lebih memperhatikan kondisi tubuh sendiri karena banyak kasus kanker yang telat terdeteksi.
Claudia juga menyarankan hal yang sama, bahkan dia menekankan anak-anak muda–yang usianya masih 20-an tahun–untuk rajin-rajin mengecek kondisi kesehatan sendiri.
“Dan kalau menemukan sesuatu, jangan takut untuk periksa. Karena kalau takut untuk periksa, misalnya nanti jadi parah dan itu benar-benar sesuatu yang buruk, akan lebih susah diobatinya,” kata dia.
Bagaimana cara deteksi dini?
Dokter spesialis onkologi Denni Joko Purwanto mengatakan cara yang paling mudah untuk mendeteksi apakah ada sel kanker pada payudara adalah dengan melakukan langkah “periksa payudara sendiri” (SADARI).
Untuk perempuan yang belum menopause, Denni menyarankan pemeriksaan dilakukan pada hari kelima sampai hari kesepuluh setelah menstruasi.
Saat menstruasi, tingkat hormon berfluktuasi dan payudara cenderung mengencang karena kenaikan hormon.
Maka dari itu, teknik SADARI akan lebih efektif jika dilakukan sekitar seminggu setelah menstruasi berakhir.
“Pada perempuan menopause, pilihlah satu hari yang mudah diingat,” Denni menambahkan.

Sumber gambar, Getty Images
Pertama, amati bentuk payudara. Apakah ada perubahan bentuk payudara atau tidak?
Kedua, cek benjolan dengan cara meraba. Denni menyarankan untuk berbaring dan bagian punggung diganjal bantal agar payudara lebih cembung ke atas.
Angkat salah satu tangan dan raba–dengan sedikit menekan–payudara dengan gerakan melingkar dan gerakan lurus dari arah tepi payudara ke puting. Cara ini juga bisa dilakukan sambil berdiri.
Ketiga, pijat puting payudara. Cek apakah keluar cairan atau tidak.
Keempat, raba juga bagian ketiak karena salah satu penyebaran kanker payudara adalah lewat kelenjar getah bening pada ketiak.
“Lebih baik benjolan itu kita perlakukan ganas sebelum dibuktikan jinak. Daripada kita merasa tidak apa-apa, ternyata itu kanker ganas,” kata Denni.
Bagaimana cara menghindari kanker payudara?
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menghindari kanker payudara–dan kanker-kanker lainnya–adalah dengan “mengenyahkan zat-zat berbahaya” atau zat karsinogen.
Rokok, makanan yang mengandung formalin, boraks, atau zat pengawet lainnya, harus dihindari, kata Denni. Dan konsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang
“Kemudian istirahat yang cukup. Istirahat cukup itu penting untuk imunitas kita,” dia menambahkan.
Olahraga juga penting agar tubuh bisa mendapatkan oksigenasi yang baik.
Yang terakhir, kendalikan stres.
Walaupun penyebab kanker pada seseorang tidak bisa selalu diketahui secara pasti, tapi Denni mengatakan cara-cara ini bisa “melindungi” kita dari kanker.
Ivan Batara dan Aga Dipa berkontribusi dalam liputan ini.