KUBET – Lini masa dugaan keracunan karena MBG, dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah – ‘Perlu evaluasi besar-besaran sebelum jatuh korban jiwa’

Lini masa dugaan keracunan karena MBG, dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah – ‘Perlu evaluasi besar-besaran sebelum jatuh korban jiwa’

Temuan daging mentah merah yang tampak masih berdarah di salah satu kotak makan MBG di sebuah SD di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2025.

Sumber gambar, Eliazar Robert

Keterangan gambar, Temuan daging mentah merah yang tampak masih berdarah di salah satu kotak makan MBG di sebuah SD di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2025.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diklaim telah menjangkau dua juta penerima manfaat di 38 provinsi di Indonesia. Sebelum memperluas cakupannya, pemerintah diminta melakukan “evaluasi besar-besaran”, apalagi mengingat lebih dari 100 anak sekolah diduga sempat keracunan setelah menyantap MBG. Bila tidak, pengamat khawatir bisa jatuh korban jiwa.

Senin pagi (24/2), guru-guru di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyusun kotak-kotak makan berwarna abu-abu di satu meja di luar kelas.

Sekitar 300 siswa di sana baru saja menyantap MBG yang disediakan pemerintah. Menu hari itu: nasi putih, ayam goreng, kentang goreng, perkedel tahu, sayur terung, dan sepotong tipis melon.

Audree, salah satu siswa, tampak berjalan keluar kelas sembari menenteng kotak makannya ke arah meja itu.

“Habis?” tanya Eliazar Robert, wartawan di Kupang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Tidak,” kata Audree sambil menggelengkan kepala.

Audree lalu menunjukkan kotak makannya. Hanya nasi dan kentang goreng yang ia lahap tuntas. Lauk lain, pun sayur dan buahnya masih lengkap.

“Dia pung terung bau. Dia pung ayam juga bau,” kata Audree.

“Trauma makan daging gara-gara baru-baru ini makan daging terus sakit.”

Garis.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Garis.

Beberapa guru lalu membuka kotak-kotak makan di meja. Dari sana terlihat, ada siswa yang hanya makan nasi, ayam goreng, dan perkedel, ada pula yang cuma melahap kentang goreng.

Mereka lalu memisahkan sisa makanan yang ada. Yang masih laik ditumpuk di satu kotak, yang sudah basi dikumpulkan di sebuah kantong plastik hitam.

Nasi, ayam goreng, terung, dan melon berdesakan di kantong plastik itu.

Deciana Koten, salah satu guru, memasukkan seporsi nasi lainnya ke kantong tersebut.

“Basi ini,” kata Deciana.

“Nasinya basah.”

Guru-guru di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengumpulkan nasi, lauk, dan sayur basi dari kotak makan MBG pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Eliazar Robert

Keterangan gambar, Guru-guru di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengumpulkan nasi, lauk, dan sayur basi dari kotak makan MBG pada 24 Februari 2025.

Program MBG telah berjalan seminggu di SD itu, tepatnya sejak Senin (17/02), dan menurut Deciana—juga beberapa guru lainnya—setiap hari ada saja makanan yang telah basi.

“Mungkin masak dari malam, lalu makanannya ditaruh di tempat itu saat masih panas,” ujar Deciana.

“Sehingga makanan itu uapnya tertutup di dalam tempat makan, jadi basi.”

Karena itu, imbuhnya, sejumlah anak sempat sakit perut dan muntah-muntah setelah menyantap MBG dalam seminggu pertama pelaksanaannya di sana.

“Ada anak dari beberapa kelas yang kasih kembali [makanannya] semua, tidak mau makan, trauma dengan makanan yang kemarin-kemarin basi,” kata Deciana, sebelum bilang ia telah melaporkan hal ini pada petugas yang mengantar makanan ke sekolah.

Menu MBG di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Eliazar Robert

Keterangan gambar, Menu MBG di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 24 Februari 2025.

Salah satu anak yang sempat mengalami sakit perut adalah Michelle. Itu terjadi pada Jumat (21/02) lalu.

“Makan seperti rasa hambar dan basi,” kata Michelle.

“Setiap hari tidak makan sampai habis.”

Vincent Soge, wakil kepala SD ini, mengakui memang sebagian lauk dan sayur dari program MBG basi, meski tidak semuanya. Selain itu, ada pula lauk yang sudah keras saat disajikan, sehingga anak-anak enggan memakannya.

Karena itu, sejumlah orang tua siswa disebut sengaja menyiapkan bekal untuk anak-anaknya pada Senin (24/02).

“Takutnya anaknya tidak makan,” ujar Vincent.

Upaya menggenjot MBG

Senin sore (24/02), di hari yang sama setelah guru-guru SD di Kota Kupang menemukan setumpuk makanan basi dari MBG, pemerintah pusat membanggakan pencapaian program ini.

Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) yang merupakan koordinator MBG, mengatakan program tersebut telah menjangkau lebih dari dua juta orang di 38 provinsi di Indonesia sejak pertama dijalankan pada 6 Januari 2025.

“Hari ini alhamdulillah sudah lengkap di 38 provinsi, karena yang Papua Tengah baru berjalan hari ini,” kata Dadan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Total, katanya, ada 693 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG yang telah beroperasi di seluruh provinsi, yang 117 di antaranya mulai berjalan pada Senin (24/02).

Dadan bilang program MBG akan tetap berjalan sepanjang bulan Ramadan, yang jatuh pada Maret, dengan sejumlah penyesuaian dalam proses distribusi makanan.

“Kita akan berikan makan bergizi itu untuk dibawa pulang. Jadi untuk yang puasa bisa dimakan saat buka, untuk yang tidak puasa bisa dimakan sembunyi di sekolah atau di rumah,” ujarnya.

Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Keterangan gambar, Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Pemerintah sebelumnya mengalokasikan Rp71 triliun untuk pelaksanaan program MBG di 2025, dengan target penerima manfaat yang diharapkan meningkat bertahap.

Pada akhir Maret, MBG ditargetkan telah menjangkau tiga juta orang, termasuk balita, anak sekolah, serta ibu hamil dan menyusui.

Angka penerima manfaat diproyeksikan kembali naik hingga menyentuh enam juta di akhir Agustus serta antara 15 juta dan 17,5 juta di akhir Desember.

Setelahnya, pemerintah berharap MBG dapat disalurkan ke 82,9 juta orang pada 2029, di tahun pemilu presiden.

Namun, belakangan pemerintah mencanangkan target lebih ambisius untuk menjangkau 82,9 juta orang sejak paling cepat September 2025. Untuk itu, Dadan bilang program MBG butuh tambahan dana Rp25 triliun per bulan.

“Jadi, kalau percepatan [MBG] itu kita lakukan mulai September, maka kita akan butuh Rp100 triliun [hingga akhir tahun]. Kalau nanti ternyata bisa dilakukan mulai Oktober, maka tambahannya Rp75 triliun,” kata Dadan.

Ini menjelaskan mengapa Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya berniat menambah alokasi dana MBG sebesar Rp100 triliun di tahun ini.

Presiden Prabowo Subianto rapat bersama Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), serta sejumlah menteri membahas pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Keterangan gambar, Presiden Prabowo Subianto rapat bersama Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), serta sejumlah menteri membahas pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.

Menurut Dadan, ada tiga faktor penentu kesuksesan program MBG: anggaran, sumber daya manusia atau SDM, dan infrastruktur.

Soal anggaran, pemerintah telah menyiapkan dananya. Untuk infrastruktur, pemerintah bakal bermitra dengan berbagai pihak, termasuk penyedia katering swasta, UMKM, TNI, Polri, kementerian, dan pemerintah daerah.

Namun, untuk SDM, Dadan bilang baru ada sekitar 2.000 orang yang telah dididik dan siap bertugas di dapur MBG. Butuh kira-kira tambahan 30.000 orang lagi bila pemerintah ingin MBG menjangkau 82,9 juta orang.

“Dan, 30.000 yang akan dididik ini baru akan selesai pendidikannya di akhir Juli. Jadi baru akan siap di awal Agustus,” kata Dadan.

Di Agustus, imbuhnya, 30.000 tenaga kerja itu mesti menjalani orientasi lapangan serta berkoordinasi dengan berbagai pihak terlebih dahulu.

“Itu ya, kenapa kemudian [percepatannya] mulai September,” kata Dadan.

“Karena SDM-nya baru akan siap untuk turun lapangan itu Agustus dan melakukan pelayanan di September.”

Rentetan dugaan keracunan dan makanan basi

Trubus Rahardiansah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, heran dengan sikap pemerintah yang terkesan terburu-buru menjalankan MBG dengan berbagai target besar meski implementasi program saat ini saja belum meyakinkan.

Apalagi, telah muncul laporan soal dugaan keracunan yang dialami lebih dari 100 anak sekolah di berbagai daerah, yang kata Trubus seharusnya jadi “alarm” bagi pemerintah.

Pada 13 Januari 2025, sedikitnya 29 murid SD dan lebih dari 30 siswa SMA di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, diduga keracunan makanan dari program MBG.

Para murid SD dan SMA itu disebut mengalami mual dan diare setelah menyantap ayam kecap basi yang dimasak dapur yang sama.

“Kami, pihak sekolah, menduga menu pengantaran makan pagi yang tidak habis, dibagikan untuk menu pengantaran siang. Karena memang ada lauk yang basi, ada juga yang masih bagus,” kata Hairuddin, kepala SD terkait.

Yayasan Abi Al Ummi yang menyiapkan makanan untuk sekolah terkait mengakui ada kekhilafan dan berjanji akan lebih berhati-hati ke depan.

Ilustrasi anak-anak sekolah di sebuah SD di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, melahap MBG.

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar, Ilustrasi anak-anak sekolah di sebuah SD di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, melahap MBG.

Sehari setelah kejadian, sejumlah siswa SMA yang sama menemukan ulat-ulat kecil di ikan tongkol goreng yang disajikan untuk mereka.

“Kami menemukan ulat-ulat kecil di ikan tongkol. Kami bawa sampel tersebut ke dapur dan meminta hal tersebut menjadi perhatian khusus,” kata Burhan, staf bagian kesiswaan di SMA itu.

“Tidak semua lauknya berulat, sebagian saja. Tapi ini seharusnya tidak terjadi.”

Pada 16 Januari, setidaknya 40 siswa SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami pusing, mual, lalu muntah-muntah setelah melahap MBG dengan menu nasi, tumis wortel dan tahu, ayam goreng tepung, buah, dan susu.

Puskesmas Sukoharjo sempat menyatakan ayam goreng yang disajikan tidak dimasak dengan sempurna, sehingga hasilnya kurang matang. Beberapa orang tua siswa yang BBC News Indonesia ajak bicara juga menyampaikan hal serupa.

Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyebut insiden itu terjadi karena “murni kesalahan teknis”. Ayam goreng tepung yang dipermasalahkan katanya segera ditarik dan diganti telur rebus.

Tumpukan wadah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditarik dari sebuah SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, setelah puluhan siswa di sana diduga keracunan pada 16 Januari 2025.

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar, Tumpukan wadah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditarik dari sebuah SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, setelah puluhan siswa di sana diduga keracunan pada 16 Januari 2025.

Eny Windarti, salah satu orang tua siswa yang diduga keracunan di Sukoharjo, mengatakan anaknya sempat mual, tapi segera membaik setelah mendapat obat dari puskesmas.

Setelah kejadian, ia bilang program MBG tetap berjalan. Anaknya sehari-hari menyantap makanan yang diberikan dan hingga kini tidak mengalami hal serupa.

Namun, Eny mewanti-wanti agar anaknya memeriksa dulu makanan yang ada sebelum dilahap.

“Kalau mau makan diperiksa dulu, dicium dulu, dicoba dulu gitu. Setelah itu baru dimakan,” kata Eny pada wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pada 4 Februari, seorang siswa SMA di Semarang, Jawa Tengah, sempat pusing, muntah-muntah, dan demam setelah memakan “mendoan basi” yang disajikan di kotak makan MBG.

Diah, kakak dari siswa tersebut, mengatakan adiknya segera dibawa ke puskesmas terdekat dan dirawat di sana. Biaya pengobatannya ditanggung Pemerintah Kota Semarang.

Ilustrasi proses pengemasan makanan program MBG di salah satu daerah di Jawa Tengah pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar, Ilustrasi proses pengemasan makanan program MBG di salah satu daerah di Jawa Tengah pada 24 Februari 2025.

Karena hal ini, adik Diah kini memilih membawa bekal sendiri atau jajan di kantin sekolah. Bila ingin makan menu MBG, adiknya pun diminta sangat hati-hati.

“Daripada hal serupa terulang kembali,” kata Diah kepada BBC News Indonesia.

Diah pun mengatakan sekolah adiknya mewanti-wanti, segala kritik atau saran dapat disampaikan langsung ke pengelola program MBG dan “tidak boleh disebarluaskan untuk publik”.

Pada 18 Februari, delapan murid SD di Empat Lawang, Sumatra Selatan, mengalami pusing, sakit perut, lalu muntah-muntah usai memakan menu MBG yang diduga basi dan berulat.

Imbasnya, delapan siswa itu sempat dirawat di IGD puskesmas setempat. Polres Empat Lawang pun menghentikan sementara pelaksanaan program MBG, sembari meminta penanggung jawab program melakukan evaluasi menyeluruh.

“Hasil evaluasi itu juga harus disampaikan kepada masyarakat. Tujuannya untuk memberikan ketenangan kepada masyarakat. Jangan sampai, nantinya masyarakat justru trauma dengan menu MBG,” kata Kapolres Empat Lawang Abdul Aziz Septiadi.

Polisi menjenguk salah satu murid SD di Empat Lawang, Sumatra Selatan, yang diduga keracunan setelah memakan menu MBG pada 18 Februari 2025.

Sumber gambar, POLRES EMPAT LAWANG

Keterangan gambar, Polisi menjenguk salah satu murid SD di Empat Lawang, Sumatra Selatan, yang diduga keracunan setelah memakan menu MBG pada 18 Februari 2025.

Yayasan Vieki Indira, yang berada di bawah koordinasi Perkumpulan Penyelenggara Jasaboga Indonesia (PPJI) Sumatra Selatan, bertugas menyiapkan menu MBG untuk Empat Lawang.

Evie Hadenli, Ketua DPD PPJI Sumatra Selatan, membantah pihaknya bertanggung jawab atas kejadian ini.

Ia bilang menu yang dibagikan pada 18 Februari, yaitu ikan patin fillet crispy, bihun goreng, tahu goreng, dan pepaya, masih segar dan tidak mungkin berulat.

“Ikan fillet yang tipis dan garing seperti kerupuk, sangat mustahil ada belatungnya. Kecuali ikannya utuh atau kurang matang, baru masuk akal. Tentunya ini menimbulkan tanda tanya,” kata Evie.

Program MBG lantas kembali dilanjutkan di SD ini pada 21 Februari.

Juga pada 18 Februari, setidaknya 15 anak SD di Kota Waingapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, diduga keracunan setelah menyantap menu MBG yang terdiri dari nasi, mi goreng, tahu, tempe goreng, telur, serta pisang.

Mereka disebut mengalami sejumlah gejala, dari pusing hingga sakit perut, mual, dan muntah-muntah. Salah satu siswa bahkan disebut memerlukan bantuan oksigen karena sesak napas.

“Karena mereka pusing, mual, sama merasakan sakit perut yang katanya sama kayak menikam di perut itu, sehingga dokter memang sampai melakukan tindakan,” kata Fransiskus Xaverius Geroda, kepala SD di Kelurahan Matawai di Waingapu itu pada wartawan Eliazar Robert yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Beberapa anak, imbuhnya, tidak sarapan atau bahkan makan malam di rumahnya sebelum memakan menu MBG tersebut, yang diduga memengaruhi kondisi tubuh mereka.

Anak-anak yang sakit adalah siswa kelas 3-6 SD yang tercatat makan menu MBG sekitar pukul 11 WITA.

Ilustrasi menu MBG di salah satu SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar, Ilustrasi menu MBG di salah satu SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Menurut Yusuf Wilianto Umbu Tay, orang tua dari dua siswa di SD tersebut yang diduga keracunan, anak-anaknya mengatakan sejumlah lauk terasa basi saat dimakan, utamanya telur, tempe, dan mi goreng.

Yusuf mengatakan program MBG sebenarnya baik, tapi tampaknya pengelolaannya belum optimal sehingga bisa terjadi insiden semacam ini.

Apalagi, berdasarkan informasi yang diterimanya dari sekolah, hanya ada 40an orang yang bertugas menyiapkan MBG untuk sembilan sekolah—termasuk SD anaknya—di daerahnya dengan jumlah total siswa sekitar 3.000.

Ia dan para orang tua lainnya waswas bila hal serupa terjadi lagi di masa depan, sehingga, menurutnya, bila MBG belum siap lebih baik tidak usah dijalankan sekalian.

“Kalau misalnya anak-anak kami berangkat dengan sehat, tiba-tiba karena program pemerintah mereka makan di sekolah, tiba-tiba mereka pulang, sakit, ya hati orang tua manalah yang menurut saya tidak sakit kalau dia seperti itu?” kata Yusuf.

“Pasti kecewa.”

Baca juga:

Jesica Sodakain, pengelola dapur MBG setempat, bilang anak-anak muntah karena tidak terbiasa memakan telur oseng yang dimasak dengan keju dan susu.

“Makanya mereka muntah. Itu karena tidak terbiasa saja,” kata Jesica.

Saat dikonfirmasi, pihak sekolah mengatakan tidak ada menu makanan yang dimasak dengan susu.

Pada 19 Februari, insiden juga terjadi di SD lain di Waingapu, tepatnya di Kelurahan Kambajawa.

Hari itu, saat jam istirahat pertama kira-kira pukul 9.15 WITA, seharusnya anak-anak sekolah mulai menyantap MBG.

Namun, karena makanan terlambat datang, beberapa siswa kelas 6 memilih membeli nasi kuning dengan lauk mi goreng dan telur di kantin, kata Hamuli Ngguna Manggil, kepala SD tersebut.

Setelah anak-anak jajan, barulah datang kotak-kotak MBG, yang segera dibagikan guru kelas 6. Si guru lalu pergi ke kamar kecil dan, setelah selesai buang air, mendapati sejumlah siswa berlarian ke arahnya.

“Anak-anak ini berlari-lari, bilang, ‘Ibu, Ibu, ini tadi ada dua kotak nasi itu tapi dagingnya belum matang, masih berdarah,'” kata Hamuli pada wartawan Eliazar Robert yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Temuan daging mentah merah yang tampak masih berdarah di salah satu kotak makan MBG di sebuah SD di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2025.

Sumber gambar, Eliazar Robert

Keterangan gambar, Temuan daging mentah merah yang tampak masih berdarah di salah satu kotak makan MBG di sebuah SD di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2025.

Di salah satu kotak nasi, memang kemudian ditemukan daging mentah merah yang tampak masih berdarah. Di kotak lainnya juga terdapat daging yang belum matang, tapi tidak separah itu.

Guru kelas 6 mengambil foto dan video daging mentah itu, dan mengunggahnya di media sosial. Unggahan ini viral tak lama kemudian.

Berbagai pihak lantas datang ke SD ini untuk mengecek sendiri, termasuk pihak keamanan dan Jesica Sodakain selaku pengelola dapur MBG setempat.

Menurut Hamuli, Jesica bersikeras daging mentah itu tidak berasal dari dapur yang dikelolanya. Apalagi, di kotak makan itu nasi putihnya telah tercampur dengan nasi kuning dan sebuah cabai merah.

Hamuli bilang nasi kuning memang berasal dari kantin dan cabai itu dibawa sendiri oleh seorang siswa. Namun, katanya, temuan daging mentah di kotak MBG benar adanya.

“Jadi seolah-olah kami, sekolah, merekayasa dan sekolah itu yang memberi bahan pewarna lagi ke makanan. Itu ketidakpuasan mereka, sampai mereka melaporkan ke polisi,” kata Hamuli.

Saat dihubungi BBC News Indonesia, Jesica menyampaikan bantahannya.

“Itu sudah menyalahi aturan karena makanan yang dia foto dan posting itu adalah makanan yang sudah terkontaminasi dengan makanan dari luar,” kata Jesica.

Ilustrasi murid-murid di salah satu SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyantap menu MBG.

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar, Ilustrasi murid-murid di salah satu SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyantap menu MBG.

Sehari berselang, pada 20 Februari, Hamuli mengatakan ditemukan pula rambut di kotak MBG yang diterima sekolahnya.

Hamuli sempat menunjukkan kotak makan dengan selipan rambut itu kepada wartawan yang datang ke sekolah, yang kemudian membuat Jesica semakin meradang.

Menurut Jesica, hal ini “tidak pantas”.

Karena dua kejadian ini, dapur MBG yang dikelola Jesica sempat menghentikan pasokan makanan ke SD di Kambajawa, Waingapu, itu sebelum menjalankannya kembali pada 25 Februari.

Pada 24 Februari, guru-guru di sebuah SD di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, juga menemukan lauk dan sayur basi di sejumlah kotak makan MBG.

Program MBG telah berjalan seminggu di SD itu dan setiap hari ada saja makanan yang telah basi, kata Deciana Koten, salah satu guru di sana.

Karena itu, imbuhnya, sejumlah anak sempat sakit perut dan muntah-muntah setelah menyantap MBG dalam seminggu pertama pelaksanaannya di sana.

“Ada anak dari beberapa kelas yang kasih kembali [makanannya] semua, tidak mau makan, trauma dengan makanan yang kemarin-kemarin basi,” kata Deciana.

Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.

Sumber gambar, Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Keterangan gambar, Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Februari 2025.

Menanggapi segala kasus dugaan keracunan karena MBG ini, Dadan dari BGN mengatakan dapur-dapur MBG belum terbiasa memberikan pelayanan dalam jumlah besar.

“Perlu pembiasaan terlebih dahulu untuk melayani dalam jumlah banyak,” kata Dadan kepada BBC News Indonesia.

“Dari pengalaman yang pintar masak untuk empat orang, butuh waktu sampai tiga bulan sampai terbiasa memasak untuk jumlah besar, baik dalam kematangan maupun rasa.”

“Untuk yang baru-baru, diingatkan berkali-kali agar memulai dengan jumlah sedikit, setelah terbiasa bisa menambah jumlah secara bertahap.”

Dadan bilang pihaknya terus melakukan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan MBG ke depannya.

Bila ada siswa yang sakit karena keracunan, katanya, ada biaya operasional di masing-masing SPPG atau dapur MBG untuk menanganinya, meski ia tidak menjelaskan secara mendetail mekanisme pengurusan biaya pengobatan tersebut.

Bobby Hamzar Rafinus, Wakil Ketua Ombudsman, menyebut pihaknya telah mengawasi pelaksanaan MBG setelah mendapati banyaknya insiden terkait program ini, termasuk dugaan keracunan.

“Ombudsman mengharapkan penyelenggara pelayanan MBG setempat yang bertanggung jawab terhadap kejadian yang berdampak negatif seperti keracunan,” kata Bobby.

‘Perlu evaluasi besar-besaran’

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menegaskan mesti ada “evaluasi besar-besaran” dalam pelaksanaan program MBG, yang menurutnya selama ini dijalankan secara “terburu-buru demi mengejar janji politik”.

Kasus dugaan keracunan yang selama ini diangkat media massa, katanya, bisa jadi hanya sebagian kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

“Yang saya takutkan nanti ada korban jiwa,” kata Agus.

Daripada memaksakan agar MBG berjalan dengan skala nasional, pemerintah disebut lebih baik menjalankan MBG dengan skala kecil terlebih dahulu, sebelum pelan-pelan memperbesar cakupannya.

Trubus Rahardiansah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, sepakat dengan Agus.

Menurut Trubus, seharusnya pemerintah fokus menjalankan MBG untuk masyarakat miskin terlebih dahulu, utamanya yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Setelahnya, barulah pemerintah bisa menyasar kelompok masyarakat lain.

Kini, setelah MBG telanjur berjalan, pemerintah disebut mesti melakukan evaluasi dan memperbaiki tata kelola programnya.

“Sekarang menurut saya, dipindah saja pengelolaannya itu ke sekolah-sekolah, kantin-kantin di sekolah. Jangan lagi pakai jasa katering,” kata Trubus.

Murid SMP di Semarang, Jawa Tengah, menyantap menu MBG pada 7 Januari 2025.

Sumber gambar, Kamal

Keterangan gambar, Murid SMP di Semarang, Jawa Tengah, menyantap menu MBG pada 7 Januari 2025.

Ah Maftuchan, direktur eksekutif lembaga riset The Prakarsa, mengatakan memang lebih baik bila pemerintah pusat melakukan “desentralisasi program MBG” dengan memberikan kewenangan lebih pada pemerintah daerah ataupun sekolah terkait.

Apalagi, dapur MBG yang ada sekarang disebut kerap terletak jauh dari sekolah-sekolah yang jadi sasarannya, terutama di wilayah-wilayah luar Pulau Jawa.

Dengan desentralisasi, diharapkan kualitas makanan dapat tetap terjaga karena jarak distribusi yang lebih singkat.

Bahan makanan pun bisa bersumber dari wilayah sekitar, dan dimasak menjadi menu yang sesuai dengan “selera lokal”, meski tetap dengan acuan standar gizi nasional.

“Saya melihat daerah ini tampak tidak turut memiliki program ini. Jadi ini dianggap program pemerintah pusat, dan memang pemerintah pusat terkesan belum melibatkan pemerintah daerah secara optimal,” kata Maftuchan.

“Akhirnya ya ada keterbatasan yang mengakibatkan kasus-kasus keracunan.”

“Seharusnya program ini benar-benar bisa dimiliki oleh semua, termasuk para pemangku kepentingan lokal.”

Garis.

Liputan ini dikerjakan wartawan Viriya Singgih dan Silvano Hajid di Jakarta, Eliazar Robert di Nusa Tenggara Timur, Fajar Sodiq di Jawa Tengah, dan Nefri Inge di Sumatra Selatan.

Tinggalkan Balasan