Dua perempuan meninggal dalam pendakian Carstensz – Hantaman badai sampai kesaksian penyanyi Fiersa Besari

Sumber gambar, Humas Polda Papua
Dua perempuan pendaki meninggal dunia dalam pendakian puncak Carstensz di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Sabtu (01/03). Mereka adalah Lilie Wijayanti Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59).
Pada Senin (3/3), jenazah kedua perempuan tersebut diterbangkan dari Bandara Mozes Kilangin, Timika, menggunakan maskapai Lion Air. Pesawat menuju Jakarta, via Makassar, kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes Ignasius Benny Ady Prabowo.
Sebelumnya keduanya dievakuasi menggunakan helikopter dari base camp di Lembah Kuning, Carstensz, menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika.
Benny sempat menyatakan dugaan sementara penyebab meninggalnya dua pendaki tersebut adalah akibat hipotermia, seperti diberitakan Detik.com. Benny juga menyebut kedua pendaki juga diduga mengalami acute mountain sickness (AMS).
Rombongan pendaki sempat dihantam cuaca buruk, seperti hujan salju, angin kencang, juga hujan deras saat proses menuruni gunung.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Kombes Ignasius Benny Ady Prabowo, menjelaskan bahwa keduanya merupakan bagian dari tim pendakian yang terdiri dari 20 orang, termasuk penyanyi Fiersa Besari.

Sumber gambar, Humas Polda Papua
Melalui akun Instagram-nya, Senin (3/3), Fiersa menyatakan dirinya sudah sampai di Timika. Ia juga menyebut sempat tertahan di base camp Yellow Valley atau Lembah Kuning, yang disebabkan “cuaca buruk yang berdampak pada lalu lintas helikopter”.
Ia menyebut helikopter merupakan mode transportasi satu-satunya akses resmi ke Yellow Valley.
Berikut sejumlah hal yang diketahui mengenai pendakian di Carstensz.
Bagaimana kronologi kejadian?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Rombongan pendaki ini terdiri dari 20 orang.
Seorang pendaki dalam rombongan, Indira Alaika mengatakan kepada Tempo bahwa 20 orang tersebut mencakup tujuh pendaki, lima pemandu, enam pendaki asing, dan dua orang tim Taman Nasional Lorentz.
Pada 27 Februari, atau sehari sebelum kejadian, rombongan melakukan aklimatisasi serta latihan naik (ascending) dan turun menggunakan tali (descending).
Pada 28 Februari, rombongan bergerak ke puncak.
“Pukul 14.00 WIT pendaki terakhir mencapai puncak Carstensz. Karena HT (handy talky) low sehingga tidak ada komunikasi,” kata Ketua Umum Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) Rahman Mukhlis, seperti dikutip dari Tempo.
Indira bercerita bahwa saat kembali dari puncak, pada Jumat (28/02), rombongan menghadapi cuaca buruk
Mereka dihantam hujan salju, hujan deras, serta angin kencang.
Indira bersama pendaki lain yang terkena hiportemia bertahan di Area Summit Ridge dekat puncak.
Lalu, sekitar pukul 20.45 WIB salah satu guide bernama Nurhuda tiba di basecamp seorang diri dengan gejala hipotermia.
Nurhuda mengatakan kepada rombongan bahwa sejumlah pendaki lain terjebak. Ia kemudian meminta bantuan kepada tim basecamp.
Menurut Indira, seorang pemandu, Yustinus Sondegau berupaya menyelamatkan para pendaki yang terjebak. Yustinus membawa fly sheet, air panas, radio, dan sleeping bag.
“Tetapi upaya tersebut terhenti di Teras Besar karena cuaca semakin memburuk,” kata Indira.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Yustinus yang tak berhasil mencapai para pendaki yang terjebak, kembali ke base camp, dan bertemu dengan pendaki Luddy di perjalanan. Luddy pun dituntun Yustinus mencapai base camp.
Seorang pemandu asal Nepal, Dawa Gyalje, mencoba membantu penyelamatan.
Dalam perjalanan, Dawa sampai di Teras II, dan menemukan Elsa dan Lilie yang sudah tidak bernapas.
Rombongan berinisiatif membentuk dua tim regu. Satu tim regu berisi pemandu asing menyelamatkan tiga orang yang terjebak di Summit Ridge, yakni Indira, Alvin, Saroni.
Sementara tim kedua, yang berisi dokter Adnan dan Meidi pergi mengevakuasi Lilie dan Elsa di Teras II.
Rombongan pendaki dievakuasi ke Timika.
Apa penyebab kematian kedua pendaki?
Dua pendaki yang meninggal saat proses menuruni Carstensz adalah Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono.
Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Ignasius Benny Ady Prabowo, menyatakan sejauh ini penyebab meninggal kedua orang tersebut adalah hipotermia, seperti diberitakan Detik.com. Benny juga menyebut keduanya juga mengalami Acute Mountain Sickness (AMS).

Sumber gambar, Humas Polda Papua
AMS terjadi sebagai efek dari reaksi tubuh terhadap berkurangnya kondisi oksigen, utamanya di wilayah seperti di gunung. Gejala umum AMS adalah sakit kepala, mual, juga rasa letih berlebih.
Elsa Laksono dievakuasi terlebih dahulu pada Minggu (02/03) menggunakan helikopter untuk dibawa ke RSUD Mimika, seperti diberitakan kantor berita Antara.
Sementara, Lilie Wijayanti dievakuasi pada Senin pagi (03/03).
“Evakuasi kedua jenazah berjalan dengan lancar meski terkendala cuaca buruk,” kata Kapolres Mimika AKBP Billyandha Hildiario Budiman, seperti dikutip dari Antara.
Dua jenazah diterbangkan ke Jakarta dari Timika menggunakan maskapai Lion Air, Senin (3/3), dengan transit via Makassar.
Siapa Lilie dan Elsa?
Lilie dan Elsa adalah teman akrab sejak SMA di Malang, Jawa Timur, seperti diberitakan Kompas.com. Mereka dikenal kerap melakukan pendakian bersama.
Pada usia 18 tahun, mereka berdua mendaki Gunung Bromo.
Lilie, kelahiran 2 Oktober 1965 adalah seorang perancang busana. Ia dikenal di media sosial, yakni Instagram dengan akun @mamakpendaki.
Lilie mendirikan bisnis busana La Belle Femme (LBF).
Selain Carstensz, Lilie diketahui telah mendaki puluhan gunung, di antaranya Slamet, Manglayang, Burangrang, Kerinci, dan Latimojong.
Adapun Elsa adalah seorang dokter gigi, kelahiran 24 Juli 1965, yang juga dikenal dengan Mamak Gigi.
Elsa bersama Lilie pernah mendaki Gunung Everest, Nepal pada 2019.
Melalui sebuah unggahan di akun Instagram @mamakpendaki, 8 November 2024 lalu, Lilie menggambarkan betapa bermaknanya alam bagi dirinya dan Elsa.
“Alam adalah playground kami. Entah mengapa kalau di alam kami bisa bergembira seperti menari-nari di trek, lupa semua masalah,” tulis Lilie yang menampilkan video-video mereka mendaki Gunung Slamet, Jawa Tengah.
“Dan itulah kami, kami ga bisa menari, menarinya jelek karena bukan Dancing Queen tapi kami adalah Hiking Queen. Gunung adalah kerajaan kami……” tambahnya.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 1
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Kesaksian penyanyi Fiersa Besar di Carstensz
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 2
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Penyanyi Fiersa Besari menuliskan ceritanya di Carstensz melalui akun Instagramnya @fiersabesari, Senin (3/3).
Ia menyatakan sudah sampai di Timika dan “kondisi Alhamdulillah stabil”. Adapun penyelamatan sempat mengalami kendala disebabkan “cuaca buruk yang berdampak pada lalu lintas helikopter”.
Melalui unggahannya, Fiersa menyampaikan belasungkawa terhadap dua pendaki yang meninggal.
Ia juga menjelaskan, meski dalam rombongan yang sama dengan dua pendaki yang meninggal, namun rombongan sebenarnya terdiri atas sejumlah grup dengan operator pendakian berbeda.
Ia menyatakan tidak bersama grup yang terdiri atas Lilie dan Elsa, karena operator yang digunakan Fiersa berbeda.
“Kaget dan sedih, tapi bersama-sama orang-orang di YV [Yellow Valley], mengontak korban yang terjebak dengan menggunakan HT [handy talky] agar tetap merespons, sampai akhirnya mereka dijemput oleh para relawan—baik lokal maupun internasional—pada tanggal 1 Maret 2025″, kata Fiersa.
Lewat unggahannya itu, penyanyi yang pernah tergabung dalam Ekspedisi Atap Negeri—proyek dokumenter pendakian 33 gunung di 33 provinsi di Indonesia— menjelaskan mengenai karakteristik pendakian di Carstensz.
“Mungkin yang tidak diketahui kawan-kawan yang kurang familier dengan dunia pendakian, Carstensz Pyramid berbeda dengan gunung di Indonesia umumnya. Meda tebing curam dengan ketinggian 600-an meter [basecamp YV 4200-an MDPL – Puncak Jaya 4884 MDPL] mewajibkan kita lancar untuk menggunakan alat-alat tali untuk naik dan turun,” kata Fiersa.
MDPL dalah satuan ketinggian tempat, yakni meter di atas permukaan laut.
Fiersa juga meminta publik “menahan jempolnya untuk mengeluarkan asumsi, teori, apalagi komentar nirempati”.

Pengalaman wartawan BBC News Indonesia mendaki Carstensz Pyramid – ‘Hujan tak henti, tebing berbatu, dan dingin menusuk tulang’

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Anindita Pradana, jurnalis BBC News Indonesia
Pada Oktober 2017, saya mendapat kesempatan untuk mendaki Carstensz Pyramid, Papua Tengah.
Bukan karena diselimuti ambisi ‘menaklukan’ satu dari tujuh puncak gunung tertinggi di dunia. Namun, saat itu saya bertugas sebagai jurnalis video yang meliput kegiatan pendakian.
Butuh waktu berhari-hari bagi saya dan rombongan untuk tiba di gunung yang memiliki ketinggian mencapai lebih dari 4.800 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu.
Pertama, saya tiba di Timika, Papua Tengah. Saya beristirahat selama dua malam sambil mempersiapkan segala kebutuhan logistik.
Kemudian saya menuju ke Tembagapura, tempat tambang emas Grasberg berada, yang menjadi salah satu terbesar di dunia.
Saya tinggal selama dua malam untuk cek kesehatan di Freeport, melakukan aklamasi tubuh atas udara dingin dan juga koordinasi.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Setelah semuanya dipersiapkan, saya dan rombongan menuju Zebra Wall, sebuah tebing cadas curam yang berada pada ketinggian 3.500 mdpl Carstensz. Ini adalah titik terakhir kami menggunakan kendaraan.
Dari sini, saya berjalan kaki sepanjang pagi hingga sore menuju lokasi bernama Lembah Danau-Danau. Hujan air dan es yang beberapa kali mengguyur membuat badan saya basah sehingga udara yang sudah dingin terasa menjadi semakin dingin. Kami pun beristirahat semalam di sini.
Saya mengenakan pakaian empat lapis. Pakaian dalam panjang (long john) dan pakaian berbahan polar yang menjaga suhu tubuh menjadi dua lapis pertama.
Kemudian, saya menggunakan jaket pelindung (hardshell) dan jas hujan untuk menahan suhu dingin dari luar masuk ke tubuh. Tidak lupa, saya mengenakan sepatu dan sarung tangan yang anti-air.
Keesokan harinya, saya dan rombongan kembali berjalan kaki beberapa jam menuju Lembah Kuning.

Sumber gambar, BBC News Indonesia

Sumber gambar, BBC News Indonesia

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Lembah Kuning adalah titik awal untuk memanjat tebing (jummaring) Carstensz Pyramid yang memiliki ketinggian sekitar 600 meter.
Hujan air yang turun sepanjang waktu, kerikil bebatuan yang kerap jatuh, badan yang lelah, dan dingin yang menusuk tulang membuat proses pemanjatan menjadi begitu berat untuk saya.
Ditambah lagi, saya harus mengoperasikan kamera untuk mengambil video dan gambar, sambil bersandar ke seutas tali panjat yang bergoyang.
Sedemikian beratnya proses ini, dari 10 orang dalam tim saya, tiga orang memutuskan mundur di tengah pemanjatan karena mengaku mengalami kedinginan. Mental saya sempat jatuh dan ingin rasa untuk mundur bersama mereka. Namun, saya menyadari bahwa tubuh saya masih kuat.
Melewati beberapa titik pemberhentian di tebing dan menyeberangi jurang dengan tali, saya menghabiskan sekitar 10 jam untuk dapat tiba di puncak.
Sesampai di puncak, kabut gelap menyelimuti. Saya tidak bisa lihat apa-apa. Sekitar setengah jam di puncak, saya pun turun dan tiba ke Lembah Danau-Danau pada malam hari.
Selang beberapa hari kemudian, setelah saya di Jakarta, saya membaca berita bahwa seorang pendaki meninggal dunia karena kekurangan oksigen saat mencoba mendaki Carstensz Pyramid.
Ini adalah salah satu pengalaman terberat dalam hidup saya yang mengajarkan bahwa persiapan—fisik yang prima, alat-alat yang lengkap, mental yang kuat, wawasan dan pengalaman pendakian, serta mengetahui batas diri—menjadi kunci penting seseorang untuk melakukan perjalanan di alam terbuka.

Apa yang membedakan pendakian Carstensz Pyramid dengan puncak lainnya?
Pegiat alam bebas, Galih Donikara, telah dua kali mendaki Carstensz Pyramid. Berdasarkan pengalamannya, dia memandang bahwa pendakian ke puncak Carstensz memiliki tingkat kesulitan dan keunikan yang khusus.
“Di samping tujuh summit yang lain, Carstensz menjadi catatan sendiri, bahkan bagi pendaki kaliber dunia, karena medan dan cuacanya yang basah serta dingin,” kata Galih.
Pertama, katanya, dibutuhkan kemampuan teknik yang memadai, yaitu pengetahuan tentang teknis pemanjatan (naik-turun) dan alat-alat panjat tebing.
Selanjutnya adalah kondisi cuaca di Carstensz yang merupakan kombinasi antara hujan air tropis dan salju.
“Kadang kita fokus mengandalkan alat-alat kehangatannya, tapi lupa untuk perlengkapan kehujanannya… Hujan basah itu menyebabkan kelembaban yang mempersulit melakukan pernapasan di area tinggi yang minim oksigen,” kata Galih.
Udara dingin dan hujan basah menjadi pengaruh penting dalam meningkatkan potensi terjadinya hipotermia, yaitu kondisi ketika suhu tubuh turun drastis.
“Jika pakaian basah, dan dingin sampai ke kulit badan kita, itu akan mempercepat proses kehilangan panas tubuh [hipotermia]. Lalu bisa menyebabkan halusinasi hingga pingsan. Pingsan yang tak tertangani bisa menyebabkan kematian,” katanya.
Pengabaian di tingkat regulator

Sumber gambar, KOMPAS.com/RENI SUSANTI
Hal selanjutnya, kata Galih, adalah dibutuhkannya analisis cuaca sebelum pendakian karena wilayah Carstensz memiliki cuaca yang kerap berubah-ubah.
“Kadang kita juga suka mengabaikan cuaca buruk karena alasan waktu yang tinggal sedikit lagi, tanggung lah. Harus ada yang bisa berkata stop sampai sini, kita turun. Lanjut besok bila cuaca bagus. Jika ini diabaikan akan ada risiko-risiko tambahan,” katanya yang merupakan anggota senior Wanadri, organisasi kegiatan alam bebas.
Galih menyoroti pengabaian cuaca ini kerap terjadi di tingkat regulator, yaitu pihak yang memiliki otoritas di kawasan. Menurutnya, regulator harus “berani untuk mengeluarkan instruksi stop pendakian” di tengah cuaca ekstem saat ini.
“Jangan dilanjutkan apabila cuaca ekstrem. Kadang-kadang si pemangku kawasan itu juga belum pernah ke sana [puncak] dan tidak tahu kondisi di sana, tapi mengeluarkan izin di saat orang lain belum mengeluarkan izin, masih memberi kesempatan recovery kawasannya.”
Galih menambahkan “biasanya Januari sampai Maret itu [pendakian] tutup, baru buka lagi April. Ini sekarang sudah dibuka kawasannya. Kan kita tahu sendiri di Carstensz itu sudah lama ditutup sejak Covid,” kata Galih.
Untuk itu, kata Galih, pemangku kawasan harus mengetahui kondisi gunungnya apakah aman atau membahayakan.
Ditambah, ujarnya, mereka juga harus melakukan seleksi ketat bagi para pendaki yang ingin naik gunung, mulai dari pemeriksaan medis, alat-alat, jumlah porter dan skenario operasi penyelamatan jika hal buruk terjadi.
Apa itu hipotermia?
Hipotermia adalah kondisi yang terjadi ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat dari kemampuannya memproduksi panas yang menyebabkan rendahnya temperatur tubuh. Kondisi ini menyebabkan suhu tubuh menurun drastis di bawah 35 derajat celsius (suhu normal tubuh adalah 37 derajat celcius).
Tanda pertama ketika seseorang mengalami hipotermia adalah tubuh yang bergetar, sebagai respons tubuh untuk menghangatkan diri melawan penurunan suhu.
Gejala lainnya adalah sulit berbicara, pernapasan yang melambat, denyut jantung melambat, pergerakan tubuh berkurang, rasa kantuk, hingga kehilangan kesadaran.
Beberapa penyebab terjadi hipotermia adalah berada di tempat dingin terlalu lama, tercebur ke dalam air yang dingin, dan menggunakan pakaian yang basah di cuaca atau tempat yang dingin