KUBET – Indonesia alami deflasi tahunan lagi setelah 25 tahun – Mengapa pakar menyebutnya ‘semu’ dan ‘daya beli masyarakat’ justru turun?

Indonesia alami deflasi tahunan lagi setelah 25 tahun – Mengapa pakar menyebutnya ‘semu’ dan ‘daya beli masyarakat’ justru turun?

Pedagang sayur melayani pelanggan di Pasar Tradisional

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pedagang sayur melayani pelanggan di Pasar Tradisional Oro Dowo di Malang, Indonesia, 30 Desember 2024.

Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Meski deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa, para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini “semu” dan “daya beli masyarakat” justru sedang turun.

Selain deflasi tahunan, BPS pada Senin (03/03) juga mengumumkan deflasi bulanan Februari 2025. Ini terjadi satu bulan jelang Ramadan, di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat.

Sebagai perbandingan pada Februari tahun lalu yang juga menjelang Ramadan, BPS mencatat terjadi inflasi jelang Ramadan.

Di lapangan, sejumlah warga mengaku menahan diri untuk berbelanja karena merasa kondisi ekonomi sedang tak baik-baik saja

Dwitya, 37 tahun, warga Jakarta, merasa bulan Ramadan tahun ini tidak seperti yang sudah-sudah.

“Jujur, enggak merasa Ramadan sama sekali,” ujarnya kepada BBC News Indonesia pada Selasa (04/03).

Perempuan yang bekerja di bidang komunikasi itu merujuk ke pengeluarannya pada bulan suci bagi orang-orang Muslim ini.

Berbeda dengan yang sebelumnya, Dwitya mengaku tahun ini dia lebih berhati-hati dan “mengurangi beli-beli apa pun”.

“Dengan perekonomian seperti sekarang ini, saya jadi sangat memperhatikan pengeluaran, pemasukan, tabungan, dan lain-lain,” ujarnya.

“Nanti Hari Lebaran pun, saya malah lebih memikirkan berapa uang yang bisa ditabung. Yang enggak perlu, enggak usah beli. Baju pakai yang ada saja.”

Dwitya tidak sendirian.

Di Medan, Sumatra Utara, Arinatama, 35 tahun, pedagang pakaian bekas terpaksa memperketat pengeluaran keluarga akibat dagangan sepi dan lowongan kerja langka.

Ibu dua anak ini mengatakan kondisi ini sudah berlangsung lama.

“Kalau yang tidak perlu-perlu harus di-blacklist, yang sangat perlu dulu diupayakan. Seperti kebutuhan makan, biaya anak sekolah, itulah yang didahulukan. Kalau selebihnya, waduh, harus pikir-pikir dulu,” ujar Arinatama kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/03).

Baca juga:

BPS mengatakan deflasi tahunan ini adalah yang pertama kali terjadi sejak Maret 2000. Sebelumnya, Indonesia sempat mengalami deflasi bulanan berturut-turut pada periode Mei-September 2024.

Di atas kertas, penurunan harga-harga barang seharusnya membuat orang-orang—seperti Dwitya dan Arinatama—justru bisa lebih banyak berbelanja, apalagi menjelang Ramadan.

Namun, mengapa para ekonom menilai deflasi tahunan ini sebetulnya “semu” dan daya beli masyarakat sebetulnya tengah menurun?

Apa penyebab deflasi tahunan terjadi untuk pertama kalinya dalam dua dekade?

Token listrik

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Seorang warga bersiap memasukkan nomor token listrik di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Pada Senin (03/03), Badan Pusat Statistik alias BPS mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya alias year-on-year.

Deflasi adalah penurunan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.

Selain deflasi tahunan yang pertama dalam sekitar dua dekade, deflasi bulanan alias month-to-month juga tercatat pada Februari 2025 sebesar 0,48%.

Padahal, 1 Maret 2025 adalah awal bulan Ramadan yang dimana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat.

Sebagai perbandingan, Ramadan tahun lalu dimulai pada tanggal 11 Maret 2024. Saat itu, BPS mencatat tingkat inflasi (kebalikan dari deflasi) month-to-month pada Februari 2024 sebesar 0,37%.

BPS mengatakan sejumlah komoditas pangan dan diskon tarif listrik menjadi penyumbang utama deflasi tahunan yang terakhir terjadi pada awal 2000.

“Terakhir, menurut catatan BPS, deflasi [year-on-year] pernah terjadi pada bulan Maret 2000, di mana pada saat itu deflasi sebesar 1,10% dimana deflasi itu disumbang didominasi oleh kelompok bahan makanan,” ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta seperti dilansir Antara.

Empat dari lima komoditas utama penyumbang deflasi tahunan ini, sambung Amalia, adalah pangan, yakni beras, tomat, cabai merah dan daging ayam ras.

Tarif listrik juga disebut BPS memberikan andil terhadap deflasi sebesar 2,16%.

Ini tidak lepas dari diskon sebesar 50% untuk pelanggan PLN dengan daya listrik maksimal 2.200 volt ampere (VA) untuk periode Januari dan Februari 2025.

Kategori tersebut adalah rumah tangga kecil atau kelas menengah dan menengah ke bawah.

Baca juga:

Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menyatakan, program diskon listrik yang berakhir Maret 2025 itu dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat.

Amalia menuturkan bahwa deflasi tahunan yang disumbangkan oleh komoditas pangan terjadi karena sejumlah daerah mengalami peningkatan produksi, seperti untuk cabai merah.

Di sisi lain, menurut BPS, daya beli masyarakat masih relatif terjaga, meski secara keseluruhan ekonomi Indonesia mengalami deflasi.

Amalia menyatakan ini dikarenakan komponen inti masih mengalami inflasi sebesar 2,48%. Dalam ekonomi, salah satu komponen inti di sini adalah konsumsi.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan pada dasarnya setiap negara, terutama negara yang masih berkembang, menginginkan tingkat inflasi positif tetapi rendah dan terkontrol.

“Bila nilai inflasinya lebih rendah dari target, maka hal tersebut mengindikasikan aktivitas ekonomi yang lemah dan perputaran uang yang rendah, terutama di tingkat mayoritas konsumen yang merupakan kelas pekerja,” ujarnya.

Apa bedanya deflasi tahunan dengan deflasi lima bulan berturut-turut tahun lalu?

Andri menambahkan deflasi tahunan ini sebenarnya masih mencakup deflasi lima bulan beruntun Mei pada September lalu itu juga.

“Kecuali perkembangan harga yang diatur pemerintah yang turun secara khusus untuk Januari dan Februari ini saja,” ujar Andri kepada BBC News Indonesia pada Selasa (04/03).

“Kalau tidak ada diskon listrik tersebut, secara nominal angka inflasi year-on-year kemungkinan akan positif.”

Meskipun begitu, Andri menekankan bahwa harga barang yang menggambarkan dampak dari tingkat permintaan adalah yang diatur pasar, bukan yang diatur pemerintah.

Dengan begitu, kondisi yang melatarbelakangi deflasi selama satu tahun terakhir ini sebenarnya tetap sama: daya beli masyarakat yang masih rendah karena pendapatan yang terbatas.

“Yang mengkhawatirkan adalah kondisi dasar atas lemahnya tingkat permintaan oleh daya beli masyarakat yang rendah tersebut terus berjalan sampai sekarang tanpa ada tanda perbaikan,” ujar Andri.

Andri mengatakan hal ini bisa terlihat dari lesunya pengeluaran masyarakat pada awal Ramadan.

Terpisah, Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan “deflasi tahunan lebih mengkhawatirkan” dibandingkan bulanan .

“[Deflasi tahunan] mencerminkan tekanan struktural, seperti permintaan agregat yang stagnan atau penurunan daya beli jangka panjang,” ujar Ariyo ketika dihubungi pada Selasa (04/03).

“Permintaan agregat yang stagnan” adalah situasi dimana total permintaan barang dan jasa tidak mengalami pertumbuhan atau bahkan cenderung menurun.

Sementara deflasi lima bulan berturut-turut yang terjadi pada Mei-September 2024 bersifat siklus jangka pendek.

Seberapa besar pengaruh diskon listrik terhadap deflasi?

Pekerja memeriksa meteran listrik

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Pekerja memeriksa meteran listrik di Rusun Benhil 2, Jakarta.

Seperti disebut BPS, diskon listrik menjadi salah satu pendorong deflasi. Meskipun begitu, pakar ekonomi berpendapat kenyataannya tidaklah sesederhana itu.

“Benar bahwa diskon tarif listrik berkontribusi pada deflasi karena harga listrik termasuk komponen inti Indeks Harga Konsumen [IHK]. Namun, efek diskon listrik seharusnya bersifat sementara,” ujar Ariyo dari Indef.

Meskipun BPS “benar secara statistik”, Ariyo menyebut penyebab mendasar deflasi tahunan adalah lemahnya permintaan agregat, mulai dari daya beli masyarakat rendah, konsumsi rumah tangga yang melambat, dan tertekannya sektor informal dan UMKM.

“Meski diskon listrik seharusnya meningkatkan disposable income [pendapatan siap pakai], jika kepercayaan konsumen rendah, masyarakat memilih menabung alih-alih belanja,” ujar Ariyo.

Di lapangan, analisa Ariyo ini terjadi pada Lu’luil Maknun, seorang warga Semarang, Jawa Tengah.

Lu’luil mengakui diskon listrik ini membuatnya pengeluaran normalnya untuk membayar listrik yaitu Rp100.000 sekali bayar bisa berkurang lebih sampai lebih dari setengahnya.

Namun, alih-alih belanja pada saat Ramadan, “jatah uang listrik” yang tersisa itu justru dijadikan tabungan oleh Lu’luil karena perekonomian lesu.

“Disimpan buat tambahan bulan depan,” terangnya.

“Ramadan ini lebih lesu, tapi enggak tahu karena apa penyebabnya. Kalau [soal] konsumsi, ya, [saya] lebih meminimalisir.”

Situasi di sebuah pasar Medan

Sumber gambar, NANDA FAHRIZA BATUBARA

Keterangan gambar, Arinatama (kanan), warga Medan, Sumatra Utara, menyebut Ramadan kali ini lesu dari sisi perekonomian.

Terpisah, Andri dari Bright Institute mengatakan pendapatan masyarakat saat ini masih tetap rendah karena terbatasnya lapangan pekerjaan dan tingginya tingkat PHK.

Selain itu, deflasi yang terjadi lebih disebabkan penurunan komponen harga yang diatur pemerintah, dalam hal ini diskon listrik.

“Maka penurunan harga tersebut pada dasarnya berdampak semu bagi daya beli masyarakat dalam jangka panjang,” ujarnya.

Di lapangan, analisa Andri ini terjadi pada Arinatama, yang menyebut angka PHK dan pengangguran di Medan cukup tinggi.

Arinatama bahkan mengatakan suaminya mesti ke luar kota untuk mencari pekerjaan.

Apakah deflasi tahunan ini bisa terlihat dari lesunya perekonomian ketika Ramadan?

Andri menilai lesunya ekonomi Ramadan disebabkan tingkat pendapatan masyarakat masih lemah akibat sedikitnya pertumbuhan lapangan pekerjaan yang berkualitas dan tingginya tingkat PHK.

“Tingkat permintaan barang pangan sebenarnya terhitung sudah naik, tetapi jika dibandingkan dengan awal Ramadan tahun lalu, nilainya terhitung lebih rendah,” ujar Andri.

“Justru dari angka deflasi pangan di bulan Februari inilah kita bisa melihat daya beli masyarakat masih rendah bahkan lebih dari tahun lalu.”

Andri mengatakan pada umumnya inflasi pangan pada bulan Ramadan nilainya terbilang tinggi dibandingkan bulan-bulan lain.

Hal ini, sambung dia, menunjukkan tingkat pendapatan di masyarakat saat ini tidak bisa mendongkrak tingkat permintaan jelang Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sementara Ariyo mengatakan meski Ramadan biasanya meningkatkan konsumsi, tetapi tahun ini cenderung lesu karena perbandingan dari periode sebelumnya.

Pedagang Semarang

Sumber gambar, KAMAL

Keterangan gambar, Seorang pedagang di satu pasar di Tembalang, Semarang, mempersiapkan kiosnya.

“Ramadan 2023 terjadi saat ekonomi masih bangkit kembali pasca pandemi Covid-19, sedangkan 2024 menghadapi stagnasi,” ujar Ariyo.

“Inflasi 2023 yang tinggi, rata-rata 5%, mengurangi kemampuan beli, terutama untuk kelompok menengah-bawah.”

Ariyo menilai lesunya Ramadan kali ini tidak lepas dari ketidakpastian politik dan ekonomi.

“Agenda efisiensi yang belum jelas membuat konsumen menunda pengeluaran non-esensial,” ujarnya.

Bagaimana kondisinya nanti menjelang Lebaran?

Kepala Riset Makroekonomi Bank Mandiri Dian Ayu Yustina mengatakan konsumen pada umumnya akan banyak melakukan pengeluaran pada Ramadan dan Lebaran.

“Mungkin [sekarang] dampak masih belum terlihat, karena masih awal masa puasa,” ujar Dian kepada BBC News Indonesia pada Selasa (04/03).

Dian menyebut tujuan penerapan diskon listrik dari pemerintah memang untuk meningkatkan daya beli. Namun, dia mengakui dampaknya tidak akan serta merta terjadi.

“Butuh waktu. Deflasi ini kemungkinan hanya sementara. Nanti jelang Lebaran konsumsi pasti naik. Harga pangan juga akan naik,” ujar Dian.

Baca juga:

Senada, Andri dari Bright Institute mengakui tingkat permintaan umumnya naik menjelang Lebaran, apalagi karena para pekerja mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR).

“Namun, kalau kita bandingkan dengan tahun lalu, tingkat permintaan bisa kemungkinan tidak lebih baik dari Lebaran tahun sebelumnya, dan cenderung bisa lebih rendah,” ujar Andri.

Apalagi, dia mengingatkan program diskon listrik berakhir pada bulan Maret 2025.

“Angka inflasi bulanan setelah Ramadan kemungkinan akan meningkat tajam karena faktor kembalinya harga listrik dan kenaikan permintaan pasca THR, namun secara pertumbuhan permintaan barang dibandingkan tahun lalu bisa jadi lebih rendah,” pungkasnya.

Wartawan Kamal di Semarang, Jawa Tengah dan Nanda Fahriza Batubara di Medan, Sumatra Utara, berkontribusi untuk artikel ini.

Tinggalkan Balasan