Polisi gelar proyek tanam jagung 1,7 juta hektare – ‘Jagung yang ditanam di Jayapura menguning, petani tak kunjung dapat cangkul’

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
- Penulis, Abraham Utama
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Polri telah memulai proyek pertanian jagung dengan target lahan seluas 1,7 juta hektare di seluruh Indonesia sejak akhir Januari lalu. Proyek ini diklaim kepolisian dapat menggenjot hasil produksi jagung sehingga pemerintah tak perlu melakukan impor pada 2025.
Namun keterlibatan Polri dalam proyek pertanian jagung dianggap tak sesuai dengan tugas kepolisian yang diatur dalam undang-undang.
Peran kepolisian dalam bidang pertanian juga dipertanyakan, terutama karena kinerja Polri belakangan disorot publik, antara lain lewat sindiran “bayar, bayar, bayar” yang dipopulerkan band punk Sukatani serta “no viral, no justice” (jika tidak viral tak akan ada keadilan).
Kepolisian membuat klaim penanaman jagung yang mereka lakukan di sejumlah daerah telah berhasil dipanen. Namun temuan BBC News Indonesia di Kabupaten Jayapura menunjukkan hal sebaliknya—para petani tak terbiasa menanam jagung dan mereka tidak kunjung mendapat bantuan alat pertanian, pupuk, dan obat hama.
Lantas pertanyaannya, apakah proyek jagung kepolisian ini akan berhasil? Dan apa dampaknya bagi tugas utama mereka sebagai penegak hukum?
‘Jagung kuning-kuning, bantuan belum datang’
Para pejabat tinggi di Provinsi Papua berkumpul di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, pada 21 Januari lalu. Berdiri di atas bekas lahan alang-alang, mereka menggelar seremoni penanaman jagung.
Inspektur Pengawas Daerah Polda Papua, Komisaris Besar Jeremias Rontini, memimpin seremoni tersebut. Dia bercerita bagaimana institusinya memilih Kampung Aib menjadi salah satu lokasi proyek pertanian jagung kepolisian.
“Setelah saya lihat lokasinya, ternyata lahan alang-alang,” kata Jeremias.

Sumber gambar, Ikbal Asra
“Di sini masyarakat panggilnya sebagai kampung alang-alang karena di sepanjang kanan-kirinya alang-alang. Saya pikir kenapa tidak kita tentukan di sini,” ujarnya.
Jeremias berkata pula bahwa daerah di sekitar Lembah Grime, Kabupaten Jayapura, sejak era pemerintahan kolonial Belanda telah dibuka menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
“Dari dulu Belanda telah melakukan pemetaan lokasi pertanian, sayang kalau tidak kami teruskan,” kata Jeremias.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Selain sejumlah alasan itu, Jeremias bilang bahwa lahan jagung yang mereka buka di Kampung Aib dikelilingi aliran sungai alias “dekat sumber air”. Oleh karena itu, menurut dia, lahan tersebut strategis.
Pada akhir pidatonya, Jeremias menyebut bahwa seluruh petani yang mengikuti proyek jagung di Kampung Aib berstatus orang asli Papua. Seluruh pejabat tinggi yang duduk di bawah tenda bercorak bendera Merah Putih itu kemudian bertepuk tangan.
“Jagung adalah komoditas yang sangat menjanjikan untuk kesejahteraan masyarakat Papua,” kata Jeremias.

Sumber gambar, Ikbal Asra
Janji kesejahteraan itulah yang memikat Mariana. Dia bercerita, dua hari sebelum seremoni penanaman jagung, sejumlah pejabat dari Dinas Pertanian Jayapura datang ke Kampung Aib.
“Mereka bilang sudah ada pembelinya. Nanti pembeli akan datang langsung ke lokasi panen jagung,” ujar Mariana, pertengahan Februari lalu.
Namun sepanjang usianya, Mariana hanya sesekali menanam jagung—itu pun untuk konsumsi keluarganya, bukan dalam pertanian berskala besar berorientasi komersial.
Seperti kebanyakan warga Kampung Aib, Mariana hanya menanam sayur-mayur di kebun sekitar rumah mereka.
Walau begitu, harapan mendapatkan penghasilan mendorongnya bergabung ke kelompok tani yang dibentuk di Kampung Aib, jelang seremoni penanaman jagung oleh kepolisian.
Kami bertemu Mariana lebih dari tiga pekan sejak Kombes Jeremias Rontini memimpin seremoni penanaman jagung di Kampung Aib.
Mariana yang Januari lalu penuh harapan, kini dirundung kecemasan dan tanda tanya. Bibit jagung yang dia tanam telah tumbuh, tapi sebagian besar kering dan menguning.
Tak berpengalaman menanam jagung dalam lahan pertanian besar, Mariana dilanda kebingungan.
“Untuk alat-alat pertanian seperti pacul dan sekop, kami sudah usulkan ke Kapolda, tapi belum ada jawaban,” ujarnya.
“Jadi sementara ini kami jalan saja dengan apa yang mereka bantu. Kami siram-siram jagung yang lagi tumbuh itu, yang belum subur, yang daunnya kuning-kuning.
“Kami siram saja dengan obat yang mereka kasih. Cuma itu saja,” kata Mariana.

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
Satu bulan setelah penanaman jagung di Kampung Aib, jumlah kelompok tani yang dibentuk warga terus bertambah.
Saat artikel ini diterbitkan, setidaknya telah terbentuk 11 kelompok tani, kata Martinus Waring, warga Kampung Aib yang juga turut bertani jagung.
Martinus berkata, lahan alang-alang yang telah diubah menjadi lahan jagung telah meluas hingga 11 hektare. Namun dia heran karena setelah tiga pekan, pertumbuhan jagung tidak merata—yang dia tanam masih pendek dan menguning.
Martinus berkata, dia dan anggota kelompok tani lainnya telah mengadukan situasi itu kepada Bhabinkamtibmas alias personel polisi yang bertugas di kampung mereka.
“Belum ada solusi,” kata Martinus.
“Dia bilang sudah lapor ke kantornya, tapi obat tanamannya belum sampai ke sini,” ujarnya.

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
Martinus juga tak punya pengalaman menanam jagung berskala besar. Menurut dia, jagung di kebun mereka tak tumbuh tinggi dan menguning karena serangan hama.
Martinus berharap kepolisian dan dinas pertanian bisa mencarikan solusi untuk kelompok taninya.
“Obat apa yang bisa kasih mati hama itu, apa yang bisa membuat subur, mungkin kami harus pakai pupuk tertentu,” kata Martinus.
“Mungkin pupuknya kurang bagus, harus ada pupuk yang cocok,” tuturnya.
‘Tak semudah membalikkan telapak tangan’
Program pertanian membutuhkan perencanaan matang, apalagi jika skalanya besar.
Analisis ini dipaparkan Daniel Zadrak Wambrauw, dosen jurusan biologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Cenderawasih.
Daniel berkata, keberhasilan proyek pertanian juga bergantung pada proses pendampingan yang terus-menerus serta penyediaan modal kepada para petani.
Langkah krusial pertama yang perlu diambil dalam proyek pertanian, menurut Daniel, adalah pemilihan lahan.
“Yang menjadi nyawa dalam pertanian adalah tanah. Jadi kalau kita mengukur skala prioritas, alangkah baiknya melakukan observasi awal dengan meninjau lokasi,” ujar Daniel.

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
Daniel menyebut tahap awal ini penting untuk mengetahui kondisi tanah. Tujuannya, kata dia, menentukan perlakuan yang tepat terhadap tanah sebelum dan setelah penanaman bibit.
“Sebelum memulai dengan skala besar, alangkah baiknya membuat satu kebun percontohan kecil untuk memberikan contoh kepada kelompok tani yang diberikan tanggung jawab menanam jagung,” ucap Daniel.
Daniel berkata, pada tahap uji coba ini, tim pendamping bersama para petani juga dapat menentukan bibit serta mengukur dosis pupuk dan pestisida.
Setelah fase penanaman, Daniel menyebut para petani tetap harus mendapat pendampingan. Alasannya, kata dia, pakem perlakuan terhadap tanaman yang telah ditentukan dinas pertanian kerap tak sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi petani.
“Ketika ada masalah yang terjadi, di situlah pendamping membantu menyelesaikannya,” kata Daniel.
“Jadi bukan hanya sekedar membagikan pengetahuan, tapi petani butuh ‘teman’ yang punya keahlian dan bisa langsung memberikan mereka solusi nyata di lapangan,” ujar Daniel.

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
Dalam konteks proyek pertanian jagung yang dijalankan kepolisian di Kampung Aib, seluruh proses yang dipaparkan Daniel tadi tidak terjadi.
Sejak awal, warga tidak dijanjikan menerima bantuan modal maupun peralatan bertani, kata Orgenes Marafi, ketua salah satu kelompok tani yang baru saja dibentuk.
Orgenes, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkutan penumpang, bilang mereka juga tak mendapatkan bekal pengetahuan dan pendampingan dari kepolisian maupun dinas pertanian.
Padahal pengetahuan itulah yang diincar Orgenes. Dia berharap bisa bertani secara swadaya untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
“Saya mau dapat pengalaman dari proyek jagung ini,” ujarnya.
“Selama ini kami hanya membuat kebun-kebun kecil di belakang rumah. Siapa tahu ke depan kami bisa buka kebun sendiri,” kata Orgenes.

Sumber gambar, BBC Indonesia/Dwiki Marta
Walau kepolisian tak memiliki keahlian di bidang pertanian, Daniel menyebut Polri sebenarnya bisa menggandeng akademisi untuk menyusun proyek jagung yang efisien dan berkelanjutan.
“Ini kelihatannya kejar target sekali,” ucapnya.
“Libatkan akademisi atau praktisi di bidang ini sehingga kita bisa mencoba apakah proyek jagung ini cocok atau tidak, sehingga kita tidak seperti ‘memukul di dalam ruangan yang kosong’.”
“Tapi kita bisa punya cetak biru yang cocok, perencanaan yang matang sehingga masyarakat tidak menjadi korban,” kata Daniel.
‘Lembah Grime lahan kakao, bukan jagung’
Berbagai riset akademik hampir tidak pernah menyebut Distrik Kemtuk sebagai sentra pertanian di Kabupaten Jayapura, sebagaimana yang diklaim Kombes Jeremias Pontini dalam seremoni penanaman jagung di kecamatan itu.
Otoritas kolonial Belanda pada awal abad ke-20 memang membuka Lembah Grime menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Walau Kemtuk berada dalam wilayah yang disebut Lembah Grime, distrik itu tidak pernah menjadi episentrum dalam proyek-proyek tersebut.
Salah satu proyek pertanian besar pertama di Lembah Grime dibuka oleh pemerintah kolonial di Distrik Nimboran pada 1946.
Merujuk studi yang dilakukan Forest Watch Indonesia, Proyek Nimboran itu menandai masuknya orang-orang Lembah Grime ke ekonomi pasar—menukar hasil pertanian dengan uang, untuk membeli barang yang tak bisa mereka produksi.

Sumber gambar, Office for Information and Radio Broadcasting Netherlands New Guinea
Pertanian, selain penebangan kayu dan pertukangan, adalah bidang yang paling memungkinkan warga asli Papua di Nimboran untuk mendapatkan uang, menurut survei pemerintah kolonial Belanda.
Fakta ini dipaparkan W. J. H. Kouwenhoven, seorang eks pamong praja di Distrik Nimboran, dalam bukunya yang berjudul Nimboran: A Study of Social Change and Socio-Economic Development.
Merujuk kajian Wentholt, Kouwenhoven menulis bahwa “dataran Nimboran dan Lembah Grime menawarkan prospek yang sangat menguntungkan bagi pengembangan pertanian”.
Wentholt, kata Kouwenhoven, menyimpulkan bahwa setidaknya 3.500 hektare tanah di Nimboran merupakan dapat digunakan sebagai lahan pertanian, bahkan “tanpa sistem pengairan awal”.
Melalui serangkaian riset terhadap situasi tanah dan juga realitas sosial-budaya orang asli Papua di Nimboran, Kouwenhoven menyebut otoritas kolonial mengambil keputusan usaha agrikultur yang cocok untuk distrik itu adalah perkebunan kakao.
Beragam siasat, kata Kouwenhoven, disusun oleh kantornya, termasuk uji coba penanaman di lahan kecil dan pembentukan Koperasi Jawa Datum untuk para petani pada Desember 1952.

Sumber gambar, Office for Information and Radio Broadcasting Netherlands New Guinea
Pada dua tahun pertama, para petani asli Papua di Nimboran bukan cuma menanam kakao, tapi juga komoditas lainnya, seperti kacang tanah, jagung dan padi gogo.
Khusus padi, Kouwenhoven menyebut harga untuk komoditas itu relatif murah tapi saat itu “tak ada permintaan pasar” untuk padi gogo tersebut.
Pada 1968, produksi kakao di kawasan perairan utara Papua, termasuk Sentani dan Lembah Grime, mencapai 41 ton, merujuk studi Ross Garnaut dan Chris Manning, berjudul The Transformation of a Melanesian Economy.
Namun Nimboran, bersama Distrik Sentani, kini menjadi penghasil 80% produksi padi di Kabupaten Jayapura, menurut data yang dihimpun pengajar ilmu ekonomi di Universitas Cenderawasih, Hans Kaiwa, dalam disertasi doktoralnya.
Berbeda dengan Nimboran dan Sentani yang sekarang menjadi sentra pertanian padi, kebanyakan area hutan di Kemtuk dibuka untuk usaha perkebunan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, misalnya, komoditas yang paling banyak dihasilkan di Kemtuk pada tahun 2017 adalah kakao, sebesar 291 ton. Angka itu yang tertinggi kedua sekabupaten Jayapura, setelah Distrik Yapsi.
Ketika Habel Mekias Suwae menjabat Bupati Jayapura, dia mewajibkan warganya menanam kakao, termasuk penduduk Kemtuk.
Meski meningkatkan angka produksi kakao di tabel hasil perkebunan, Surat Keputusan Bupati Nomor 1 Tahun 2006 yang diteken Habel secara kontradiktif memicu deforestasi di Lembah Grime, menurut kajian Forest Watch Indonesia.

Sumber gambar, Office for Information and Radio Broadcasting Netherlands New Guinea
Lahan seluas 11 hektare yang kini ditanami jagung di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, seperti diutarakan Kombes Jeremias Rontini, adalah lahan alang-alang.
Alang-alang merupakan salah satu gulma terburuk dan kerap memicu masalah serius pada pertanaman, antara lain mengakibatkan kematian tanaman muda dan merebut unsur hara dan air yang semestinya dimanfaatkan tanaman utama.
Dalam riset tahun 1996, Balai Penelitian Sembawa bersama lembaga studi pangan berbasis di Inggris, Natural Resource Institute, menganjurkan agar para petani di Indonesia bersiasat mengandalikan alang-alang.
Salah satu rekomendasi riset itu adalah agar penyuluh pertanian “memiliki berbagai pilihan teknologi pengendalian alang-alang yang dapat dianjurkan ke petani”.
Di Kemtuk, kelompok tani yang dibentuk untuk proyek kepolisian tak memahami cara menyiasati alang-alang. Mereka juga tak didampingi penyuluh pertanian.
Apakah Polri secara hukum dapat berperan di sektor pertanian?
Di luar urusan teknis pertanian jagung di Kampung Aib yang memicu para petani asli Papua gelisah, keterlibatan Polri dalam proyek pertanian ini sejak awal janggal, menurut Fadhli Alfatan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Merujuk Pasal 13 pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Fadhli menyebut Polri hanya memiliki tiga tugas pokok, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan, pengayoman, dan perlindungan terhadap masyarakat.
Pasal 14 pada beleid yang sama merinci secara detail 12 tugas Polri—tak ada satu pun yang berkaitan dengan pertanian.
“Menanam jagung atau berurusan dengan urusan urusan pangan dan pertanian itu jauh sekali dari koridor tugas-tugas Polri yang diatur dalam undang-undang,” kata Fadhli.
“Tidak ada sama sekali mengatur atau bahkan membuka ruang bagi Polri untuk mengurus hal lain di luar tugas pokok mereka,” tuturnya.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Fadhli juga melontarkan kritik karena proyek jagung kepolisian ini bergulir ketika Polri “belum bisa menyelesaikan” tiga persoalan utama mereka.
Polri, kata dia, terjerat masalah institusional berupa pelanggaran hak asasi manusia dan penyelewenangan kewenangan. Menurut Fadhli, permasalahan ini terjadi akibat mekanisme pengawasan dan akuntablitas Polri yang minim.
Persoalan kedua, kata Fadhli, mencakup isu instrumental. “Berbagai tindak-tanduk buruk Polri ternyata ada celah hukumnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tidak mengatur ketat akuntabilitas polisi sebagai penyidik,” ujar Fadhli.
Akibatnya, Fadhli menyebut selama ini pengadilan tidak menguji potensi pelanggaran dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Baca juga:
- Sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir
- Eks Kapolres Ngada resmi dipecat dengan tidak hormat dari Polri, diduga cabuli tiga anak dan unggah video di situs porno Australia
- Dua remaja Papua ditangkap usai penembakan pesawat di Yahukimo, tindakan aparat disebut ‘merendahkan derajat manusia’
Dan persoalan ketiga yang masih merundung Polri, kata Fadhli, berkaitan dengan aspek kultural.
“Persoalan itu terwujud dalam kultur kekerasan yang sepertinya diutamakan dalam kerja-kerja kepolisian, mereka masih mengandalkan kekuatan fisik atau kekuatan dalam bentuk senjata yang mematikan,” kata Fadhli.
“Padahal dalam iklim yang demokratis, Polri seharusnya adalah polisi sipil yang menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi,” tuturnya.
Apa jawaban kepolisian?
Kombes Jeremias Rontini berkata, proyek jagung yang dilakukan kepolisian berkaitan dengan tugas Polri.
Dia membuat klaim, proyek pertanian ini tidak akan berdampak pada kinerja mereka di bidang hukum.
“Kami melayani masyarakat, membantu masyarakat untuk menggerakkan mereka dalam hal penanaman jagung,” ujarnya.
“Kami hanya memfasilitasi saja. Arealnya masyarakat yang siapkan, tenaga tanamnya mereka, bibitnya dari dinas pertanian.
“Prinsipnya kami hanya melayani sebagai fasilitator, jadi menurut saya tidak akan mengganggu tugas pokok kami,” kata Rontini.

Sumber gambar, Getty Images
Lebih dari itu, Rontini juga membuat klaim bahwa proyek jagung yang mereka jalankan tidak melanggar satupun ketentuan hukum.
“Di dalam undang-undang kepolisian, salah satu tugas kami adalah melayani. Bahasa melayani itu luas,” ujarnya.
Dalam proyek jagung, Polri membentuk Gugus Tugas Ketahanan Pangan. Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo mengepalai organisasi ini.
Pada rapat dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, 13 Januari lalu, Dedi menyebut Polri akan berperan sebagai “penggerak” kelompok tani.
Selain itu, Dedi bilang kepolisian akan menjadi jembatan antara petani dan Kementerian Pertanian.

Sumber gambar, Detikcom
Itu pula yang dikatakan Dedi kepada BBC News Indonesia terkait peralatan dan bantuan pestisida yang dinantikan para petani di Kemtuk, Jayapura.
Dia berkata, peralatan dan perlengkapan pertanian jagung itu “akan disediakan oleh Kementerian Pertanian”.
Melalui proyek ini, Polri menargetkan produksi 4 juta ton jagung pada 2025. Jumlah itu mereka canangkan muncul dari penanaman yang menyasar lahan kering dan lahan perkebunan di berbagai wilayah Indonesia.
Selama menggelar program ketahanan pangan, Polri akan merekrut polisi yang secara khusus memiliki keahlian di bidang pertanian, peternakan, perikanan, gizi, dan kesehatan masyarakat.
Namun rencana rekrutmen itu mengundang tanda tanya baru bagi Fadhli Alfathan dari LBH Jakarta.
“Polri dari awal didesain untuk mendidik dan mengembangkan kapasitas personelnya untuk fokus di tiga tugas pokok mereka. Jadi bagi saya ini tidak masuk akal dan punya potensi dampak buruk, khususnya terhadap masyarakat,” ujarnya.
Ikbal Asra, wartawan di Jayapura, berkontribusi untuk liputan ini