Thailand mengesahkan pernikahan LGBT – ‘Perjuangan panjang yang penuh dengan air mata’
- Penulis, Jonathan Head, Thanyarat Doksone, dan Panisa Aemocha
- Peranan,
- Melaporkan dari Bangkok
Thailand adalah negara pertama di ASEAN dan negara ketiga di Asia yang mengesahkan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan yang mengakui pernikahan LGBT, pada Kamis (23/01).
Istilah “suami-istri” akan diubah menjadi “pasangan hidup”, agar selaras dengan prinsip Konstitusi yang menyatakan bahwa semua individu setara di mata hukum.
Undang-undang tersebut memakan waktu lebih dari 20 tahun untuk disahkan dan mulai berlaku efektif pada 23 Januari tahun depan, atau 120 hari setelah dipublikasikan di lembaran negara kerajaan Thailand. UU Kesetaraan Pernikahan memungkinkan orang berusia 18 tahun ke atas dari jenis kelamin apa pun untuk menikah atau bercerai secara sah.
Pasangan LGBT yang menikah akan mempunyai hak untuk menerima berbagai tunjangan dari pemerintah seperti pasangan heteroseksual, termasuk hak menerima jaminan sosial, hak mendapatkan penggantian biaya pengobatan, hak mengambil keputusan medis, serta hak mengelola aset pasangan.
“Ini adalah perjuangan panjang yang penuh dengan air mata bagi kami.”
Begitulah Ann “Waaddao” Chumaporn menggambarkan tahun-tahun sebelum 23 Januari 2025, hari pemberlakuan UU Kesetaraan Pernikahan di Thailand.
Pada momen ini ratusan pasangan menikah di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Bangkok dengan perayaan penuh warna.
Thailand terkenal terbuka dan menerima kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kelompok tersebut telah lama berbaur dengan semua lapisan masyarakat.
Orang Thailand juga dinilai luwes dalam banyak hal.
“Mai pen rai” yang berarti “bukan masalah besar” adalah slogan nasional.
Agama Buddha, yang dianut oleh lebih dari 90% orang Thailand, tidak melarang jalan hidup kelompok LGBT.
Maka, asumsi khalayak awam adalah pernikahan sesama jenis di Thailand tidak sulit.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Namun, asumsi itu keliru.
“Itu tidak mudah,” kata Waaddao, penyelenggara Bangkok Pride March.
Pride March atau Pawai LGBT pertama di Thailand baru diadakan 25 tahun lalu. Saat itu, sulit untuk mendapatkan izin dari polisi, sementara penyelenggaraan pawai kacau dan tidak terarah.
Setelah tahun 2006, hanya ada dua pawai yang diadakan hingga tahun 2022. Pada 2009, satu pawai yang direncanakan di Chiang Mai dibatalkan karena ancaman kekerasan.
Jalan panjang mewujudkan beleid pernikahan LGBT
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Para aktivis fokus dan bersatu dalam upaya mereka untuk mewujudkan undang-undang yang mengakui pernikahan LGBT.
Berbagai kelompok LGBT bersatu dalam kampanye “Change 1448” di bawah Koalisi Pelangi untuk Kesetaraan Pernikahan. “1448” adalah klausul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Thailand yang mencakup definisi pernikahan.
Mereka bergabung dengan kelompok lain yang memperjuangkan hak dan kebebasan yang lebih besar di Thailand.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil juga mendekati partai politik dan membujuk mereka mengubah pendirian terhadap undang-undang tersebut.
Upaya meloloskan undang-undang pernikahan sesama jenis melalui parlemen juga terbantu situasi politik di Thailand.
Selama lima tahun sejak kudeta pada 2014, Thailand dipimpin pemerintahan militer konservatif, yang hanya bersedia mempertimbangkan aturan bagi pasangan LGBT untuk hidup bersama, tanpa hak penuh seperti warisan.
Namun dalam pemilihan umum 2019, sebuah partai reformis muda baru bernama Future Forward meraih kesuksesan. Partai ini sepenuhnya mendukung pernikahan sesama jenis.
Mereka memenangkan kursi ketiga terbesar, yang menunjukkan meningkatnya keinginan untuk perubahan di Thailand.
Setahun kemudian Future Forward dibubarkan putusan pengadilan yang kontroversial. Hal itu memicu protes yang dipimpin mahasiswa selama berbulan-bulan. Mereka menuntut reformasi besar-besaran, termasuk pembatasan kekuasaan monarki.
Pegiat LGBT menonjol dalam protes tersebut dan pamor mereka meningkat pada taraf nasional. Protes tersebut mereda seiring banyak pemimpin ditangkap lantaran sikap kritis terhadap kekuasaan monarki.
Dalam pemilihan umum 2023, penerus Future Forward, yang menamakan dirinya Move Forward, tampil lebih baik daripada tahun 2019.
Mereka memenangkan lebih banyak kursi daripada partai lainnya. Momen itu dinilai sebagai bentuk keinginan warga akan perubahan.
Namun, kelompok konservatif menjegal Move Forward membentuk pemerintahan yang bakal melakukan reformasi politik besar-besaran.
Meski demikian, saat itu pernikahan sesama jenis tidak lagi kontroversial. Hanya sedikit yang menentangnya.
Pemerintahan koalisi tanpa Move Forward lantas mencapai solusi yang memuaskan banyak pihak.
Thailand di tengah arus penolakan pernikahan LGBT di Asia
Thailand merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menerima pernikahan sesama jenis.
Di Indonesia, Malaysia, dan Brunei komunitas LGBT menghadapi diskriminasi dan tuntutan hukum. Bahkan di Brunei, hubungan seks antar pria dapat dijatuhi hukuman mati.
Di Filipina, penerimaan terhadap pasangan LGBT yang hidup bersama semakin meningkat. Namun, Gereja Katolik Roma menentang keras pernikahan sesama jenis.
Di Vietnam, seperti Thailand, tidak ada hambatan agama atau ideologis. Namun upaya untuk mengubah hukum, seperti yang terjadi di Thailand, sulit dilakukan di bawah rezim yang represif.
Hal yang sama juga berlaku di Tiongkok. Pernikahan sesama jenis hanya dimungkinkan jika partai komunis yang berkuasa memberikan restu, yang sampai saat ini belum ada tanda-tanda minat mereka untuk membicarakannya.
Bahkan di negara-negara demokrasi seperti Jepang dan Korea Selatan – di mana partai politik sebagian besar konservatif dan didominasi oleh pria tua – prospeknya tampak suram.
“Sebagian besar umat Kristen konservatif yang menghalanginya,” kata Chae-yoon Han, direktur eksekutif Beyond the Rainbow Foundation di Korea Selatan.
“Sebagian besar, jika tidak semua, politisi partai konservatif adalah penganut Kristen yang taat.Mereka telah membingkai kesetaraan pernikahan sebagai ‘agenda kiri’, yang berpotensi membuka masyarakat terhadap ‘pengambilalihan komunis kiri’.”
India hampir melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2023. Mahkamah Agung India menolak dengan mengatakan bahwa legalisasi tergantung pada parlemen.
Sebagai pelopor pernikahan sesama jenis di Asia, Thailand berharap mendapat keuntungan. Pariwisata adalah salah satu dari sedikit sector ekonomi Thailand yang berjalan baik dalam pemulihan pascapandemi. Negara tersebut juga dipandang sebagai tujuan yang aman dan ramah bagi para wisatawan LGBT.
Karena itu, semakin banyak pasangan LGBT dari negara Asia lainnya memilih tinggal di Thailand.
Mengapa Thailand ramah terhadap komunitas LGBT?
BBC Thai menelusuri tiga faktor utama yang membuat Thailand relatif ramah dan terbuka terhadap kaum LGBT dibandingkan dengan banyak negara lain di Asia.
Agama
Dr. Naruphon Duangwiset dari Pusat Antropologi Putri Maha Chakri Sirindhorn adalah seorang pakar sejarah, budaya, dan keberagaman komunitas LGBTQ Thailand. Dia telah meneliti LGBTQ lebih dari 10 tahun.
Menurutnya, agama Buddha tidak memiliki larangan atau hukuman bagi orang-orang LGBTQ. Agama tersebut hanya melarang “bandhaka”, yang berarti melarang individu biseksual atau kasim untuk menjadi biksu.
“Dalam komunitas Buddha, orang-orang ini tidak ditangkap, dipenjara, atau dipukuli, seperti yang kadang-kadang ditemukan dalam masyarakat Muslim atau Kristen.”
Dia berkata, “Menurut cara hidup umat Buddha Theravada, jika seseorang tidak menyebabkan masalah bagi orang lain, orang tersebut dapat hidup sebagai setengah perempuan, setengah pria, atau transgender.”
Karena alasan ini, dia melihat bahwa masyarakat Thailand, yang relatif multikultural, adalah masyarakat yang fleksibel.
Thailand juga dipengaruhi oleh agama Hindu, yang memiliki banyak dewa yang dapat dianggap bukan laki-laki atau perempuan. Jadi kepercayaan akan keberagaman gender tertanam dalam agama yang dianut sebagian besar masyarakat Thailand.
Kolonialisme
Fakta bahwa Thailand tidak dijajah negara Barat turut berperan.
Negara-negara Barat yang membawa agama Kristen, menerapkan hukum yang melarang perilaku homoseksual karena dianggap sebagai dosa terhadap aturan Tuhan.
Sejarah Myanmar menguatkan alasan ini. Myanmar dulunya merupakan terbuka bagi kaum LGBTQ seperti Thailand. Kaum transgender di Myanmar dapat mengekspresikan diri mereka dalam ritual keagamaan, menjadi dukun atau melakukan ritual penting di pesta pernikahan, dan lain-lain.
Namun, sekitar tahun 1820-an, penjajah Inggris datang untuk memerintah Myanmar dan memberlakukan aturan yang dipengaruhi oleh agama Kristen.
Melalui aturan itu, warga negara Burma (sebelum bergantui menjadi Myanmar) dihukum jika terlibat dalam perilaku homoseksual karena dianggap sebagai dosa terhadap aturan Tuhan.
Negara-negara tetangga Thailand seperti Malaysia dan Singapura juga berada di bawah pengaruh Inggris ini.
Sejarah
Laos, Vietnam, dan Kamboja, yang dijajah Prancis pada tahun 1880-an, dipengaruhi oleh aturan kolonial yang mirip dengan hukum pidana Inggris. Tiga negara itu tidak mengakui pasangan sesama jenis.
Konsep Konfusianisme dari Tiongkok, yang secara jelas mendefinisikan peran pria dan peremouan dan mengharapkan anggota keluarga laki-laki untuk menikah dan memiliki ahli waris, juga berpengaruh di Vietnam. Akibatnya, negara-negara ini tidak terlalu terbuka terhadap keberagaman seksual.
Dr. Naruphon juga menjelaskan tentang pengaruh Islam di negara Asia Tenggara lainnya terkait penerimaan pasangan sesama jenis.
“Aturan Islam dengan jelas menyatakan bahwa pria tidak boleh berpakaian seperti perempuan dan tidak diperbolehkan memiliki hubungan romantis dengan pria lain.”
Ada alasan historis juga mengapa masyarakat Thailand lebih ramah terhadap komunitas LGBTQ. Di beberapa bagian Thailand di masa lalu, ketika pria Thailand menikah, dia harus meninggalkan keluarganya guna menetap bersama istrinya.Hal ini membuat pihak keluarga laki-laki kehilangan tenaga
Dengan demikian, menurut Dr. Naruphon Duangwiset, anak laki-laki yang homoseksual lebih diterima dan tidak didiskriminasi dalam masyarakat Thailand kuno.