Prabowo berencana beri amnesti kepada kelompok pro-kemerdekaan Papua – Apa itu amnesti dan apa pengaruhnya bagi penyelesaian konflik di Papua?
Presiden Prabowo Subianto tengah mempertimbangkan untuk memberi amnesti kepada orang-orang atau kelompok pro-kemerdekaan Papua. Upaya ini disebut sebagai salah-satu penyelesaian konflik di wilayah tersebut. Mengapa pegiat HAM pesimistis?
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengutarakan ini dalam pertemuan dengan delegasi Parlemen Inggris pada Rabu (22/01).
“Pada dasarnya, Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM,” ujar Yusril seperti dilansir Kompas.com.
“Saya pikir ini akan menjadi harapan baru bagi kami untuk menemukan solusi bagi Papua.”
Apa langkah pemerintah dalam waktu dekat?
Yusril menambahkan Kementerian Hukum saat ini sedang melakukan pendataan tentang siapa saja narapidana yang bisa diberikan amnesti.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Atgas sempat mengatakan amnesti akan diberikan kepada narapidana terkait konflik Papua yang tidak terlibat dalam aksi bersenjata.
Dilansir kantor berita Antara, Supratman menyebut ada sebanyak 18 narapidana terkait kasus Papua yang akan menerima amnesti.
“Kasusnya rata-rata teman-teman aktivis […] dan ini bagian dari upaya kita melakukan upaya rekonsiliasi terhadap teman-teman di Papua,” tutur Supratman pada 13 Desember 2024.
Supratman menambahkan pihaknya dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sedang mengkaji pemberian amnesti ini. Usulan pemberian amnesti ini akan diajukan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan.
Seperti apa kebijakan pemberian grasi di Papua saat Jokowi berkuasa?
BBC News Indonesia pada tahun 2015 melaporkan pemberian grasi oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo kepada lima orang tahanan politik yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Jokowi saat itu mengatakan pemberian grasi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Lima orang yang diberikan grasi adalah para pelaku serangan ke gudang senjata di markas Kodim Wamena pada 2003.
Mereka adalah Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Henda (keduanya divonis 19 tahun 10 bulan), Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen (keduanya divonis seumur hidup), serta Apotnalogolik Lokobalm (vonis 20 tahun).
Namun, satu tahanan, Filep Karma (almarhum, meninggal dunia pada 2022) saat itu menolak mengajukan permohonan grasi.
Kepada BBC, Filep mengatakan dia tidak mau mengajukan grasi karena itu artinya dia mengaku bersalah dan meminta presiden mengampuninya. Filep menginginkan amnesti karena, menurutnya, dia tidak bersalah.
Apa perbedaan grasi, amnesti dan abolisi?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
UU Nomor 22 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) mengatakan “grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”
Seorang terpidana dapat mengajukan grasi kepada kepala negara. Keputusan pemberian grasi berada di tangan Presiden setelah melalui proses pertimbangan yang melibatkan Mahkamah Agung.
Apabila dikabulkan, maka hukuman pidana orang tersebut akan dihilangkan.
Grasi biasanya diberikan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, seperti usia lanjut, sakit keras, atau adanya kesalahan dalam proses peradilan.
Adapun amnesti adalah penghapusan hukuman secara umum oleh presiden terhadap sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu. Keputusan pemberian amnesti biasanya didasarkan pada pertimbangan politik atau sosial.
Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 menyatakan bahwa amnesti menghapus semua akibat hukum pidana terhadap orang yang menerimanya.
Berdasarkan Pasal 14 UUD 1945 dan Undang-Undang Darurat (UUDRT) Nomor 11 Tahun 1954, pemberian amnesti dan abolisi adalah wewenang presiden dengan mempertimbangkan Mahkamah Agung dan DPR.
Sementara abolisi diberikan presiden kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana ketika proses hukum sedang berjalan.
Abolisi bertujuan untuk menghentikan proses hukum seseorang yang sedang berjalan demi kepentingan negara yang lebih besar.
Mengapa pemberian grasi dipertanyakan pegiat HAM?
Pegiat Human Rights Watch, Andreas Harsono, pada tahun 2015 mengatakan mengatakan pemberian grasi adalah “langkah bagus, tapi tidak ada sesuatu yang baru”.
Dilaporkan BBC, Andreas menyebut pemberian grasi adalah wujud pencitraan. Dia pun menyerukan kepada presiden saat itu untuk mengupayakan amnesti bagi para tapol.
Mengomentari kemungkinan pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Theo Hasegem, mengatakan hal ini tidak menjamin penyelesaian konflik di Papua.
“Saya pikir soal Papua itu harus bicara menyeluruh, secara utuh. Dari sisi politiknya, dari sisi ekonominya, dan juga dari sisi pelanggaran hak asasi manusianya,” ujar kepada BBC News Indonesia pada Kamis (23/1).
“[Pemberian amnesti] hanya […] kampanye supaya [sesuai] standar internasional […] bahwa ada terjadi pembebasan,” imbuhnya.
Theo menyebut pembebasan lima orang tahanan politik pada pemerintahan Jokowi pun tidak membuat Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) bergeming.
Bahkan, menurut Theo, isu “penentuan nasib diri” di antara orang-orang Papua semakin marak terlebih dengan adanya isu pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.
Dia menilai pemerintah pusat “terlalu ragu” untuk berdialog demi menyelesaikan konflik Papua dan hanya “meraba kulitnya” saja.
Theo mencontohkan pemekaran provinsi di Papua yang disebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian sekaligus menyelesaikan kekerasan di wilayah itu.
“Tapi, kan, kekerasan masih terus terjadi. Tapi masih kirim pasukan terus. Kalau kirim pasukan terus, bagaimana mau selesaikan [konflik] Papua?” ujarnya.
Terpisah, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Socratez Yoman, menilai pengaruh pemberian amnesti “sama sekali tidak ada” bagi penyelesaian konflik di Papua.
“Akar konflik Papua itu sudah dirumuskan secara jelas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang sekarang BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional],” ujar Socratez ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Kamis (23/1).
Anggota Dewan Gereja Papua itu merujuk ke empat akar konflik Papua yang dirumuskan LIPI yakni terkait sejarah dan status politik, pelanggaran HAM dan kekerasan negara, kegagalan pembangunan, dan diskriminasi dan rasisme.
“Ditambah lagi satu akar persoalan yaitu kepentingan sumber daya [yang menyebabkan] orang Papua dikorbankan sampai hari ini. Jadi [sekarang] bagaimana Presiden melihat ini?”
Socratez adalah salah pendeta Papua yang paling keras mengkritik pemerintah Indonesia dalam konflik Papua. Dia menulis sejumlah buku tentang hal ini yang penerbitannya sempat dilarang pemerintah.
“Kami tidak terlalu kaget [dengan rencana pemberian amnesti Prabowo]. Jokowi juga pernah lakukan itu tetapi substansi masalahnya belum pernah disentuh.”
Meski Socratez menyebut rencana pemberian amnesti ini sebagai “niat baik Prabowo”, dia berharap “jembatan” ini ditindaklanjuti dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik Papua.
“Sebagian besar rakyat Papua sudah tidak percaya Indonesia [atau] penguasa. Mereka janji tapi tidak pernah dipenuhi. Kepercayaan mesti dibangun kembali,” tegasnya..
Bagaimana penyelesaian konflik di Papua di mata peneliti?
Peneliti Jaringan Damai Papua (JDP), Adriana Elizabeth, mengatakan konflik kekerasan di Papua merupakan salah satu yang terpanjang di Asia setelah Moro di Filipina.
Adriana menyebut ada “keluhan-keluhan tentang proses politik yang tidak transparan pada masa lalu” yang, menurut kelompok-kelompok politik di Papua, tidak direspons secara layak.
Kondisi ini, menurut dia, berujung pada “gerakan-gerakan separatisme”.
“Pemberian grasi, amnesti, atau abolisi… apa pun itu, kalau sifatnya sepihak dari pemerintah, maka tidak akan menyelesaikan persoalan Papua,” ujar mantan koordinator tim kajian Papua di LIPI itu kepada BBC News Indonesia pada Kamis (23/1).
“Penyelesaian konflik harus dua pihak. Kalau hanya wacana dari pemerintah dan tidak direspons kelompok Papua, ya, enggak bisa selesai juga.”
Adriana mendorong pemerintah Indonesia agar berinisiatif benar-benar memetakan kelompok-kelompok di Papua ini karena “hanya mereka yang bisa menghentikan konflik.”
“Faksi-faksi politik di Papua itu banyak. Jadi masing-masing harus didekati sendiri-sendiri,” ujarnya.
Selain itu, Adriana juga mempertanyakan apa definisi “penyelesaian konflik di Papua”.
“Apa yang mau diselesaikan? Konflik bernuansa kekerasannya? Atau kelompok-kelompok politik di Papua harus menyatakan kesetiaan kepada NKRI?” ujar Adriana.
Adriana mencontohkan penunjukan eks komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang orang Papua, sebagai Menteri HAM.
Sama seperti wacana amnesti, Adriana menyebut ini hanya semacam “simbolik” dari pemerintah dan “tidak bermartabat”.
“Boleh saja pemerintah berinisiatif, tapi tetap harus melibatkan kelompok yang berkonflik di sana. Mendengarkan pihak di sana. Mereka maunya apa?”
Selain rencana pemberian amnesti, Menteri Yusril Ihza Mahendra, juga sempat menyinggung wacana penunjukan mediator dalam penyelesaian konflik Papua.
Dilansir Kompas.com, Yusril mengeklaim Juha Christensen, aktivis perdamaian asal Finlandia yang pernah terlibat dalam proses perdamaian di Aceh, menawarkan diri sebagai mediator konflik Papua.
Dalam hal ini, Adriana mengatakan pemerintah Indonesia harus benar-benar memeriksa latar belakang siapa pun yang menjadi calon mediator di Papua.
“Orang yang [benar-benar] paham tidak akan langsung mau [jadi mediator]. Mereka akan benar-benar berpikir dulu. Apalagi yang tahu isu Papua,” ujarnya.
Pemerintah, sambung Adriana, harus berhati-hati karena, menurutnya, banyak orang yang menawarkan diri menjadi menjadi konflik Papua sekadar untuk “mencari kerja”.
“Maaf, saya agak keras ngomong seperti ini. Karena isu di Papua ini menjadi ladang orang cari uang juga. Cari kerja juga,” ujarnya.
Adriana juga mengingatkan penyelesaian konflik di Aceh tidak bisa serta merta disamakan dengan Papua. Ada faktor-faktor lain dalam kasus Aceh, misalnya bencana tsunami yang menghabisi daerah itu pada 2004.
Terakhir, Adriana juga mengkritisi pernyataan Yusril di Kompas.com yang mengatakan pemerintah tidak melihat ada kasus-kasus di Papua yang perlu diselesaikan melalui Pengadilan HAM.
“Sejak 2008-2009, LIPI mengusulkan bahwa pengadilan HAM dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus HAM dan kekerasan di Papua,” ujarnya.
“Dalam sebuah proses penyelesaian konflik, memang harus ada cara-cara seperti itu. Merancang sesuatu yang bermartabat untuk bangsa ini ke depan. Bukan sekedar untuk pemerintah hari ini.”
Ada berapa tahanan politik Papua di Indonesia saat ini?
Papua Behind Bars, sumber daring tentang tahanan politik Papua Barat, menyebut ada 1.354 orang yang saat ini dipenjara terkait konflik Papua.
Yang paling banyak terafiliasi dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan jumlah 349 orang.
Selain itu, 11 tahanan terafiliasi dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan 13 terkait Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua – ULMWP).