Orang tua mengakali sistem PPDB Zonasi, bagaimana rencana pemerintah mengubah sistem penerimaan siswa baru?
Pemerintah akan mengubah sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam waktu dekat. Mengapa sistem zonasi dianggap bermasalah?
Mulai dikenalkan 2017 silam, salah satu metode PPDB adalah sistem zonasi yang bertujuan mempercepat pemerataan pendidikan dengan memastikan siswa memperoleh layanan pendidikan terdekat dari rumahnya.
Namun, dalam penerapannya menimbulkan pelbagai persoalan.
Ombudsman menemukan persoalan dari berbagai daerah mulai penambahan rombongan belajar, pengawasan internal kurang maksimal, permintaan siswa titipan, hingga tidak ada penanganan siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.
Selain itu, lembaga ini juga menemukan adanya penerimaan siswa di luar jalur resmi, sampai tidak ada tindak lanjut dari pemerintah daerah atas temuan Ombudsman.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Dalam surveinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan sebanyak 21,31% sekolah melakukan pungutan liar, dan 38,77% menerima titipan anak pejabat.
Bagaimana evaluasi sistem PPDB terdahulu, dan seperti apa sistem baru yang ditawarkan pemerintah?
Berikut hal-hal yang sejauh ini diketahui tentang rencana sistem PPDB terbaru.
Apa yang sejauh ini diketahui?
Pemerintah akan mengganti nama PPDB menjadi Sistem Penerimaan Siswa Baru (SPMB) pada tahun ajaran 2025/2026. Pergantian nama ini menandakan upaya perbaikan atas cara penerimaan peserta didik terdahulu.
Staf Ahli Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen, Biyanto mengatakan pemerintah bukan asal ganti nama, tapi ada kebijakan yang disiapkan agar persoalan PPDB tidak berulang.
“Maka kami akan segera selesaikan beberapa regulasi yang ada,” kata Biyanto seperti dilansir Detik.
Biyanto mengatakan perubahan ini berdasarkan masukan dari dinas pendidikan, ormas keagamaan, dan masyarakat.
Penamaan zonasi juga akan diubah menjadi domisili. Perubahan nama ini berdampak pada Kartu Keluarga (KK) yang tidak lagi menjadi syarat pendaftaran siswa. Yang akan berlaku adalah domisili siswa bersangkutan.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
“Selama ini temuannya kan manipulasi tempat tinggal ya, tiba-tiba ada masuk KK baru. Nah itu kita antisipasi juga,” tambah Biyanto.
Selain tempat tinggal yang menentukan syarat penerimaan siswa, pemerintah juga akan menambah persentase jalur afirmasi, khususnya siswa kurang mampu dan disabilitas.
Baca juga:
- Tak lolos jalur zonasi PPDB, siswa dari keluarga miskin terpaksa daftar ke sekolah swasta
- Katrol nilai rapor dan ragam modus kecurangan PPDB yang membuat sejumlah calon murid bisa masuk sekolah negeri
- PPDB dan aturan zonasi penerimaan peserta didik baru ‘setengah hati’: ‘Kalau ditolak karena kurang umur, terus anak saya tidak sekolah, menganggur, dan menunggu sampai umurnya cukup?’
Lalu kapan SPMB 2025 mulai diberlakukan?
Biyanto bilang aturan SPMB mungkin bisa selesai akhir bulan ini, dan kemudian diberlakukan pada Februari 2025.
Dalam kesempatan lain, Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengatakan belum ingin merinci SPMB ke publik karena khawatir menjadi “kontraproduktif”.
Pengumumannya nanti setelah sidang kabinet bersama Presiden Prabowo Subianto.
Kecurangan apa saja yang terjadi pada PPDB 2024?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kecurangan mencolok pada PPDB tahun ajaran 2024/2025 terjadi di Depok, Jawa Barat.
Sebanyak 51 calon peserta didik dianulir dalam PPDB karena dugaan katrol nilai rapor.
Temuan lain juga ditemukan seperti manipulasi kartu keluarga, hingga sertifikat kejuaraan palsu dalam jalur prestasi.
Di Jawa Tengah, sebanyak 69 calon peserta didik menggunakan piagam palsu agar bisa masuk sekolah yang mereka inginkan.
Dalam temuan sementara yang dirilis awal bulan Juli, Ombudsman RI melaporkan, penambahan rombongan belajar (rombel) dan penambahan jalur di luar prosedur masih mewarnai PPDB tahun 2024.
Ombudsman RI menerima sekitar 467 aduan masyarakat.
Laporan ini terkait dengan dugaan kecurangan masalah di hampir setiap jalur PPDB: prestasi, zonasi, dan afirmasi.
Dari aduan masyarakat yang diterima Ombudsman, dugaan maladministrasi didominasi penyimpangan prosedur (51%), tidak memberi layanan (13%), tidak kompeten (12%), diskriminasi (11%), penundaan berlarut (7%), permintaan imbalan uang, barang dan jasa (2%), tidak patut (2%) dan penyalahgunaan wewenang (2%).
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais mengatakan, pihaknya menemukan maladministrasi dalam pelaksanaan PPDB berupa penyimpangan prosedur, tidak kompeten dan tidak memberikan layanan.
Pada tahap Pra PPDB, Ombudsman RI menemukan tidak ditemukannya pemetaan pemerintah daerah terkait proyeksi daya tampung, pembagian zonasi dan pemetaan keluarga tidak mampu dan disabilitas.
Selanjutnya, tidak maksimalnya tahapan penyusunan aturan turunan PPDB pemerintah daerah.
Survei KPK 2023 menunjukkan, 43% guru di Indonesia mengetahui ada calon siswa yang tidak memenuhi syarat tetapi diterima sekolah.
Sebanyak 25% guru mengatakan calon siswa itu diterima karena sekolah memperoleh imbalan.
Dari survei yang sama disebutkan masih ada pemberian imbalan tertentu kepada pihak sekolah atau kampus dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru.
Praktik ini ditemukan sebanyak 21,31% di tingkat pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di perguruan tinggi sebesar 44,44%.
Baca juga:
- PPDB dan aturan zonasi penerimaan peserta didik baru ‘setengah hati’: ‘Kalau ditolak karena kurang umur, terus anak saya tidak sekolah, menganggur, dan menunggu sampai umurnya cukup?’
- PPDB sistem zonasi: Banyak problem di lapangan, Kemendikbud bentuk satgas
- Tanggapi arahan Presiden Jokowi, Kemendikbud ubah sistem zonasi
Pemerintah juga merinci temuan kecurangan di lapangan sebagaimana disampaikan Sekretaris Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (Paud Dikdasmen), Praptono pada 2024 silam:
- Jalur zonasi
Manipulasi dokumen kartu keluarga dengan modus pemalsuan, pindah sementara, pindah ke lokasi fiktif, atau menitip KK orang lain.
Lokasi: Jawa Barat, Yogyakarta, Pati-Jawa Tengah, Jakarta
- Jalur afirmasi
Peningkatan jumlah pendaftar jalur afirmasi dengan data siswa miskin yang tidak tepat sasaran, sehingga mengurangi jatah siswa miskin yang sebenarnya.
Lokasi: Jawa Tengah
- Perpindahan orang tua
Temuan diskriminasi “karena hanya mengkhususkan (anak-anak dari) ASN dan BUMN”.
Lokasi: Riau
- Jalur prestasi
– Manipulasi dokumen, seperti sertifikat kejuaraan palsu (Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Jawa Barat)
– Diskriminasi terhadap calon peserta didik dengan memasukkan nilai hafalan/tahfiz Al-Qur’an (Riau dan Nusa Tenggara Barat).
– Manipulasi nilai rapor (Depok, Jawa Barat)
- Temuan lainnya
– Kurangnya daya tampung sekolah (Banten)
– Praktik jual-beli kursi, penyuapan (Kota Palembang dan Kabupaten Lampung Utara)
– Aplikasi PPDB tidak bisa digunakan alias error (Jawa Barat dan Bali)
– Tidak transparan dalam pengumuman hasil PPDB (Aceh dan Riau)
– Menggunakan tes dalam PPDB (Yogyakarta)
– Ketidaksesuaian perda/juknis daerah dengan pedmoman PPDB (Aceh)
– Penambahan rombongan belajar (Maluku Utara)
– SDM posko pengaduan kurang kompeten (Banten)
Bagaimana orang tua mengakali PPDB Zonasi?
Salah satu tujuan sistem zonasi PPDB adalah menghilangkan kesan sekolah-sekolah favorit. Namun, kesan ini masih begitu melekat di kepala masyarakat.
Misalnya, Adi, warga Bandung, Jawa Barat. Pada 2024 lalu, ia mengaku berupaya “mengakali” agar anaknya bisa masuk di salah satu SMA negeri favorit dengan cara melobi pihak sekolah, termasuk membuat surat pindah kerja.
Tapi gagal, karena saat itu pengawasannya ketat.
“Nah, akhirnya setelah tidak bisa mengakali itu. Ya sudahlah. Dengan berat hati menerima sekolah yang ada di dekat rumah,” katanya kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Menurutnya sistem zonasi PPDB juga harus memberi kesempatan anak yang ingin duduk di sekolah-sekolah tertentu, misalnya dengan syarat nilai akademik.
Ada pula Iman yang beberapa tahun lalu gagal menyekolahkan anaknya di SMA negeri karena kalah saing dengan calon siswa lain. Penyebabnya jarak rumahnya terlalu jauh dari sekolah tersebut.
Karena terbentur biaya, Iman kemudian mencari cara agar anaknya tetap bisa sekolah di SMA negeri dengan “jalur belakang”.
“Ya betul, membayar sejumlah uang untuk bisa anak kita diterima di negeri,” katanya.
Iman juga mengeklaim cara ini terpaksa dilakukan lantaran “SMA negeri gratis”.
“Saya ini enggak banyak duit,” katanya sambil menambahkan lebih baik “bayar” di awal.
“Kalau buat saya, kan kalau mau menyekolahkan anak ke swasta agak berat ya, swasta sekarang kan sekolahnya mahal-mahal,” kata Iman.
Tahun ini, anak Iman yang lainnya akan masuk ke sekolah tingkat menengah atas. Ia pun sudah menyiapkan biaya untuk menggunakan “jalur belakang” agar anaknya itu bisa masuk SMA negeri.
“Untuk yang kedua bukan siasatnya ya, tapi strateginya saya mengeluarkan anak saya dari keluarga, terus saya pindahkan ke alamat yang lebih dekat dengan sekolah,” kata Iman.
Iman mengeklaim menggunakan siasat ini lantaran jumlah sekolah negeri di daerahnya tidak merata.
“Sebenarnya saya juga enggak mau mengakal-akali ya, tapi itu kan kayaknya keadaan yang memaksa saya jadi begini,” tandasnya.
Di Sulawesi Selatan, Daeng Ambe mengaku anaknya lulus secara murni ke sebuah SMA negeri melalui jalur zonasi. Tapi, dia juga membantu teman-temannya agar anak mereka bisa masuk ke sekolah yang sama, meski sebelumnya gagal masuk.
Daeng Ambe mengatakan bisa meloloskan melalui orang dalam dengan istilah “lewat jendela”.
“Pada saat itu dua orang, sama sepupunya anaknya teman saya, jadi Rp5 juta untuk satu kepala. Pada saat itu dua kepala jadi diminta Rp10 juta. Tapi teman saya tidak mampu makanya dia kasih masuk di swasta,” katanya.
Modus sekolah saat itu meminta “uang pembangunan” dan “bayar uang bangku”. “Katanya sekolah mau dibangun juga,” kata Daeng Ambe kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bagaimana respons sekolah menghadapi sistem SPMB?
Guru di sebuah SMA negeri di Bandung, Muhamad Henrick Cahyanto mengaku pihaknya menunggu edaran resmi terkait perubahan sistem PPDB–sekarang namanya SPMB.
Henrick mengeklaim sekolahnya sudah menyiapkan tim “orang muda” yang bertugas sebagai verifikator, validator dan operator penerimaan siswa baru. Ia berharap sosialisasi sistem anyar penerimaan siswa baru bisa disosialisasikan “dengan tepat”.
Menurutnya, sistem zonasi PPDB yang diterapkan hampir satu dekade terakhir sudah “bagus”. Namun, ia meminta agar pihak sekolah membuat pakta integritas yang menyatakan siap diproses hukum jika melakukan kecurangan penerimaan siswa baru.
“Jadi kita ada ketakutan kalau kita bertindak tidak sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kita,” kata Henrick.
Kepala SMPN 5 Makassar, Firman mengaku khawatir dengan sistem domisili yang akan ditetapkan pemerintah–meskipun ia menyadari masih belum jelas rinciannya. Kekhawatirannya terkait dengan sekolah-sekolah yang berada di perbatasan kecamatan atau kelurahan.
“Contoh, saya punya rumah di Kecamatan Panakkukang, kebetulan sekolah tidak ada yang dekat dari rumah saya, yang ada itu di Kecamatan Manggala. Ketika mengatakan domisili, berarti saya tidak dapat di situ karena beda kecamatan, itu yang akan menjadi masalah,” katanya.
Sejauh ini, Firman mengatakan sistem zonasi PPDB “sudah bagus sekali” karena memberikan kesempatan yang sama pada semua siswa. Kata dia, sistem ini lebih baik dari sistem tes masuk yang diterapkan sebelum sistem zonasi.
Kata dia, sejauh ini yang masih perlu diperbaiki dari sistem zonasi PPDB adalah penambahan kuota dari jalur prestasi. “Karena yang (kuota) prestasi hanya 5%. Artinya harus kuota prestasi harus ditambah begitu,” katanya.
Apa persiapan dinas pendidikan?
Penjabat Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Tatan Syurya Santana menolak diwawancara terkait hal ini. Katanya, “Masih menunggu regulasi dari Kemendikdasmen. Infonya awal Februari”.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Nielma Palamba mengatakan pihaknya akan “mengikuti uji publik terkait dengan adanya aturan yang baru”.
“Berarti baru akan berlaku, baru wacana, baru akan diseminarkan melalui uji publik minggu depan. Jadi baru mau didiskusikan, belum fix,” katanya.
Nielma Palamba menambahkan, sistem zonasi PPDB yang berlangsung sejak 2016 “sebenarnya sudah bagus”. Tapi ia masih melihat belum adanya pemerataan sarana, prasarana dan kualitas di sekolah-sekolah.
Baca juga:
- PPDB: Berebut sekolah di tengah pandemi, orang tua siswa khawatir ‘kendala gaptek’ hingga persaingan kuota jalur masuk
- Mengapa banyak orang tiba-tiba ‘miskin’ demi masuk sekolah negeri favorit?
- Kurikulum darurat Covid-19 dan ‘membuka sekolah’ di zona kuning, kebijakan terbaru Kemendikbud di tengah pandemi
“Dengan adanya zonasi ini tantangan kita pemerintah untuk menyamaratakan kualitas dan sarana pendidikan, misalnya gedungnya, kualitas gurunya, dan semua sarana prasarana itu sama supaya tidak ada lagi orang pilih-pilih sekolah,” jelas Nielma.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat mengevaluasi sistem PPDB selama ini “pengawasannya sangat lemah”. Oleh karena itu, percuma mengubah nama kebijakan tanpa diikuti penguatan pengawasan.
“Selama itu akar masalahnya di situ… banyak yang kecolongan,” kata Rakhmat, sambil menambahkan, “Saya melihatnya ini gembar-gembornya hanya ganti nama dari zonasi ke domisili, kemudian fokus ke jarak”.
Selain itu, anggota Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga mendorong pemerintah melakukan “bersih-bersih” di institusinya sampai ke tingkat sekolah. Musababnya, ratusan kasus yang dilaporkan terkait sekolah memanipulasi penerimaan siswa baru tidak ada tindak lanjutnya.
“Jadi mau sistem kebijakan mau direvisi secanggih ya apapun, tapi kalau itu tidak bisa dievaluasi secara total, secara menyeluruh, menurut saya ini akan di lingkaran setan, terus berulang,” tambahnya.
Di penghujung 2024, Ombudsman RI memberi tujuh saran perbaikan kepada pemerintah terkait polemik PPDB.
Pertama, menyusun Peta Jalan Pengembangan Satuan Pendidikan. Tujuannya, mempercepat pemerataan sebaran akses dan kualitas satuan pendidikan dengan cara berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan infrastruktur dan pembangunan.
Kedua, melakukan evaluasi dan pembaharuan regulasi Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dengan optimalisasi proses verifikasi dan validasi pada setiap jalur tahapan PPDB.
“Selanjutnya, mengoptimalkan peran Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) dan/atau Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) selaku perpanjangan tangan Kemendikdasmen untuk memberi pendampingan penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan PPDB di daerah,” kata anggota Ombudsman, Indraza.
Keempat, optimalisasi koordinasi yang telah terjalin dengan berbagai instansi baik pusat maupun daerah, serta melibatkan instansi lainnya seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kepolisian dan komunitas perkumpulan sekolah swasta.
Kelima, melakukan upaya untuk meminimalisir favoritisme sekolah dengan memastikan pemenuhan standar pelayanan publik di setiap satuan pendidikan.
Keenam, berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk pembaharuan Surat Edaran Bersama Nomor 1 Tahun 2019 dan Nomor 420/2973/SJ Tentang Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru kepada kepala daerah dan kadin pendidikan.
Terakhir, optimalisasi peran pengawasan internal dan eksternal dengan melibatkan secara aktif pihak pengawas eksternal lainnya seperti DPR/DPRD, aparat penegak hukum dan pengawas eksternal terkait lainnya sesuai kewenangannya.